Syena Almira, gadis yang tanpa sengaja dinikahkan dengan seorang pria bernama Fian Aznand yang tidak dia ketahui sama sekali. Berawal dari sebuah fitnah keji yang meruntuhkan harga dirinya dan berakhir dengan pernikahan tak terduga hingga dirinya resmi di talak oleh sang suami dengan usia pernikahan yang kurang dari 24 jam.
"Aku tak akan bertanya pada-Mu Ya Allah mengenai semua ini, karena aku yakin kalau takdir-Mu adalah yang terbaik. Demi Engkau tuhan yang Maha pemberi cinta, tolong berikanlah ketabahan serta keikhlasan dalam hatiku untuk menjalani semua takdir dari-Mu." _ Syena Almira.
"Kenapa harus seperti ini jalan cintaku tuhan? Aku harus menjalani kehidupan dimana dua wanita harus tersakiti dengan kehadiranku? Aku ingin meratukan istriku, tapi kenapa ketidakberdayaan ku malah membuat istriku menderita?" _ Fian Aznand.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah
"Papa, coba lihat, mainan baru milikku, bagus kan." Rayyan memamerkan mainan baru miliknya yang dia beli di mall tadi bersama dengan Naima.
"Waw, sangat bagus, apa kamu meminta banyak hal dari ummi tadi?"
"Tidak pa, ini dibelikan oleh uncle Ayyas dia sangat baik, dia menemani kami jalan-jalan dan bermain, dia juga membelikan aku mainan ini pa." Rayyan cerita dengan bahagia pada Fian.
"Uncle Ayyas? Ummi mana?"
"Ummi di dapur, sedang masak." Fian menyusul istrinya ke dapur, dia melihat Naima tengah sibuk dengan masakannya.
"Ayyas siapa?" Tanya Fian pada Naima, istrinya itu langsung menatap suaminya yang baru saja pulang.
"Sayang, kenapa kamu telat pulangnya?" Tanya Naima.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku Naima, Ayyas siapa?"
"Ayyas itu teman lamaku, tadi kami sempat bertemu di mall dan dia menemani kami bermain."
"Keterlaluan kamu Naima, saat aku tidak ada, kamu malah pergi dengan pria lain, parahnya lagi, kamu malah mendekatkan anakku dengan temanmu itu." Fian terlihat begitu marah pada istrinya, Naima mengecilkan api kompor lalu mendekati Fian.
"Maafkan aku Fian, aku juga tidak menyangka akan bertemu dengan Ayyas tadi, demi Allah aku tidak janjian dengannya, setelah sekian lama, ini baru kami bertemu."
"Dia temanmu atau mantan kekasihmu?" Selama ini memang Naima tidak pernah membahas atau menceritakan Ayyas pada Fian.
"Jawab Naima." Bentak Fian, baru kali ini selama mereka menikah, Fian membentak Naima.
"Aku dan Ayyas dulu pernah menjalin hubungan, lalu hubungan kami kandas karena kedua orang tuanya tidak merestui." Fian mengepalkan tangannya.
"Lalu tadi, kalian malah jalan-jalan bersama seperti keluarga bahagia, begitu?" Naima hanya menunduk, dia tahu kalau saat ini dia salah.
"Keterlaluan kamu Naima." Fian beranjak dari dapur, dia langsung pergi ke kamarnya untuk menenangkan diri, Fian sangat cemburu ketika ada pria lain yang mendekati istrinya, apalagi pria itu pernah menjalin hubungan dengan istrinya.
Naima menyelesaikan masakannya lalu menyusul Fian, dia melihat suaminya itu sudah rapi dan santai. Naima duduk di samping Fian lalu menggenggam tangan Fian.
"Maafkan aku Fian, aku benar-benar bersalah, tolong maafkan aku."
"Harusnya tadi ketika dia mengajak kalian jalan-jalan bersama, kamu menolaknya Naima."
"Iya aku tau, tapi Rayyan memaksa agar Ayyas ikut dengan kami, Rayyan sangat ingin dirimu yang menemaninya tapi karena kamu sibuk, jadi dia meminta Ayyas." Fian seketika terdiam, dia mengusap lembut wajah Naima.
"Untuk kali ini tidak masalah, tapi lain kali, tolong jangan pernah pergi lagi dengan pria lain, aku tidak suka." Naima mengangguk dan tersenyum, Fian memeluk istrinya itu.
***
[Naima, apa bisa kita bertemu nanti sore di cafe kemarin? Aku ingin bicara denganmu. Ayyas]
Fian yang sedang membaca pesan whatsapp dari Ayyas pada Naima langsung emosi, dia tidak terima jika istrinya dekat dengan pria manapun selain dirinya.
Fian yang sedang mengenakan pakaian kerja, langsung terduduk di atas kasur, dia membalas pesan itu dengan penuh amarah, lalu Naima masuk sambil menggendong Sofi.
"Apa kamu sudah selesai? Sarapan sudah aku siapkan." Kata Naima, Fian menatap Naima dengan tatapan tajam.
"Ada apa Fian? Kenapa menatap aku begitu?"
"Ada hubungan apa kamu dengan Ayyas?"
"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya."
"Baca ini." Fian melemparkan ponsel itu pada Naima hingga ponsel itu tepat mengenai sudut bibir Naima, Sofi menangis karena gerakan tiba-tiba Naima saat menghindar dari lemparan Fian tadi.
"Lama-lama aku akan bunuh si Ayyas itu." Fian mengambil Sofi dari gendongan Naima, dia keluar dari kamar itu dengan perasaan marah luar biasa.
Naima membaca pesan yang dikirim oleh Ayyas, dia bingung, kenapa Ayyas bisa tahu nomornya? Padahal saat bertemu waktu itu, Naima sama sekali tidak memberikan nomornya.
[Aku tidak mau bertemu denganmu, tolong jangan hubungi aku lagi.]
Naima mengirimkan balasan pada Ayyas, berharap agar Ayyas tidak mengganggunya lagi, lalu memblokir nomor Ayyas.
Naima menghapus air matanya, dia melihat ke cermin kalau sudut bibirnya luka akibat lemparan ponsel tadi.
Naima segera turun menyusul Fian dan anak-anaknya.
"Sayang, tolong maafkan aku, aku sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengannya." Ujar Naima membela diri.
"Tidak ada bagaimana? Kalian bahkan sudah sampai bertukar nomor, jangan-jangan kalian memang sudah berselingkuh dariku sejak dulu ya?" Tuduh Fian pada Naima.
"Astaghfirullah Fian, aku tidak begitu, wallahi aku tidak pernah selingkuh dengan dia atau siapapun, hanya kamu pria yang aku cintai Fian."
"Halah, aku muak sama kamu Naima." Bentak Fian, dia pergi begitu saja meninggalkan anak dan istrinya, Naima menangis, Rayyan yang menyaksikan hal tersebut langsung memeluk ibunya.
"Ummi, kenapa papa marah seperti itu? Kenapa papa jadi jahat sama ummi?" Naima tidak menjawab pertanyaan Rayyan, dia hanya bisa merangkul Rayyan ke dalam pelukannya dan menggendong Sofi.
"Jangan dipikirin ya, semua ini salah ummi, papa nggak jahat kok, ummi yang salah, sekarang Rayyan sarapan dulu ya nak." Naima berusaha untuk tersenyum dan menghapus air matanya, dia menyuapi kedua anaknya itu sambil menahan air mata yang akan meluncur keluar.
Fian memukul stir mobil penuh emosi, dia tidak terima saat Ayyas mengirimkan pesan pada Naima. Bukannya ke kantor, Fian memilih untuk pergi ke rumah Syena, dia ingin menenangkan dirinya di sana terlebih dahulu.
Syena terlihat akan pergi bekerja, Fian datang tepat saat Syena akan berangkat. Syena melihat guratan amarah di wajah Fian ketika keluar dari mobil, Syena menghampiri Fian.
"Kamu kenapa?" Fian langsung memeluk erat Syena hingga Syena merasa sesak di perutnya.
"Fian, kamu terlalu kuat memelukku, perutku bisa meletus kalau begini." Ujar Syena yang membuat Fian tertawa, dia gemas dengan ekspresi lucu istrinya.
"Maafin abi ya sayang, abi sangat merindukan umma kamu." Fian mencium perut Syena, wanita itu hanya tersenyum lalu mengusap kepala Fian.
"Kamu mau berangkat?"
"Iya, aku ada jadwal pagi ini, ya hanya sampai sore."
"Azad mana?"
"Ada di dalam dengan Lucy."
"Aku antar ya, nanti pas pulang aku akan jemput kamu."
"Loh, kamu nggak ke kantor?"
"Suasana hatiku sedang buruk, aku ingin di sini dulu."
"Baiklah, ayo, aku sudah telat ini."
Fian membukakan pintu mobil untuk Syena dan memastikan kalau istrinya sudah duduk dengan nyaman, baru dia memasuki mobil dan mengendarai mobil dengan hati-hati.
"Apa aku boleh tau kamu ini kenapa?" Tanya Syena karena tadi dia melihat Fian seperti menahan amarah.
"Aku sedang ada masalah dengan Naima, ya masalah rumah tangga, aku butuh ketenangan."
"Apa kalian sudah bicara baik-baik?"
"Untuk saat ini aku tidak ingin bicara dengannya dulu, tolong jangan paksa aku untuk pulang ya, aku ingin bersama denganmu." Syena mengangguk, dia tidak bertanya lebih dalam lagi karena dia merasa tidak berhak mencampuri urusan Fian dengan Naima.
***
Naima menanti kepulangan Fian, dia sedari tadi menghubungi suaminya namun tidak ada jawaban, panggilan itu masuk tapi Fian seperti enggan untuk menjawabnya, ratusan pesan juga sudah Naima kirimkan, tapi tetap saja tak satupun dibalas oleh Fian.
"Ya Allah, ampuni aku, aku tidak bermaksud untuk membuat suamiku murka Ya Allah, tolong lembutkan kembali hatinya padaku." Lirih Naima dalam tangisnya, Rayyan dan Sofi untungnya tidak rewel, mereka saat ini sedang anteng saja, jadi Naima sedikit terobati.
Sekarang sudah menunjukkan pukul 10 malam, Fian tak kunjung pulang, Naima sudah menidurkan kedua buah hatinya lalu menunggu Fian di ruang tamu, dia sangat cemas dengan suaminya itu.
Naima tertidur di sofa hingga pagi menjelang, dia bahkan kesiangan untuk shalat subuh, Naima berlari menuju halaman dan tidak melihat mobil Fian datang.
"Ya Allah, Fian kemana? Apa dia semarah itu padaku sampai tidak pulang ke rumah ini?" Pikir Naima, dia kembali menghubungi suaminya itu, namun kali ini Fian mengangkatnya.
"Ada apa lagi?" Tanya Fian dengan ketus.
"Syukurlah kamu menjawab panggilanku, kamu dimana sekarang? Aku menunggumu dari semalam Fian, kenapa kamu tidak pulang?"
"Aku tidak ingin berdebat denganmu untuk sekarang, untuk tiga hari ke depan mungkin aku tidak akan pulang, kamu renungi saja kesalahanmu itu, aku ingin tenang di sini."
"Ya Allah Fian, jangan seperti ini, aku minta maaf jika sudah melukai hatimu, tapi tolong pulanglah, anak-anak merindukanmu, aku juga Fian."
"Jangan pernah membawa anak-anak Naima, oh iya, kenapa kamu tidak minta saja Ayyas untuk menemani mereka, seperti yang kamu lakukan tempo hari."
"Aku minta maaf Fian, tolong maafkan aku, aku akan melakukan apapun asal kamu memaafkan aku."
"Aku hanya ingin menenangkan pikiranku Naima, tolong jangan hubungi aku sampai tiga hari ke depan." Fian memutuskan panggilannya. Naima menangis terisak, dia tidak menyangka kalau hal ini akan membuat Fian semarah ini padanya, Naima begitu menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi antara dirinya dan Fian.
"Ummi." Naima dengan cepat menghapus air matanya, lalu tersenyum pada Rayyan.
"Anak ummi sudah bangun ternyata, kamu mau mandi."
"Ummi kenapa? Apa papa marah lagi sama ummi?"
"Tidak nak, ummi menangis karena tadi kaki ummi kesandung meja, jadi kaki ummi sekarang sakit." Rayyan menatap lekat wajah ibunya dan mengusap air mata Naima yang masih tersisa.
"Tadi Rayyan dengar ummi telfonan dengan papa, apa sekarang ummi sudah bisa berbohong?" Naima berusaha tersenyum pada Rayyan.
"Sayang, ummi tadi itu hanya bertanya papa dimana? Ternyata papa ada urusan kantor, ummi khawatir saja terus kaki ummi malah ke sandung, makanya ummi nangis." Alasan Naima pada Rayyan.
"Ayo sini ummi." Rayyan membawa Naima duduk di atas sofa, dia memijat lembut kaki Naima yang katanya tersandung meja itu. Rayyan sebenarnya merasa kasihan pada ibunya, dia tahu kalau Naima sedang dimarahi oleh Fian.
"Ummi, kalau papa tidak pulang nanti, aku akan sangat membenci papa sampai kapanpun."
"Kamu nggak boleh begitu, kamu anak yang sholeh, jangan begitu ya." Rayyan lalu mencium telapak kaki Naima dan menitikkan air matanya, membuat Naima ikut larut dalam kesedihannya kembali.
***