Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Pov Arbi.
Aku bergegas pulang malam itu setelah sepanjang sore menghabiskan waktu bersama, Gladys. Gladys menelponku sore itu supaya menemaninya belanja di mall. Aku yang seharian di rumah karena tidak masuk kantor, berhubung karena Bastian sakit mengiyakan saja ajakannya itu.
Akan tetapi aku memastikan lebih dulu apa Bastian tidak apa-apa bila kutinggal pergi. Bastian bilang demamnya sudah mendingan dan tidak apa-apa bila ditinggal. Dengan sedikit berbohong karena ada urusan mendadak, kutinggalkan Bastian seorang diri di rumah.
Disaat aku sedang menikmati makan malam di sebuah kafe. Rania meneleponku. Menanyakan keberadaan ku saat itu. Nada suaranya agak kesal dan mungkin dia marah karena aku tidak ada di rumah saat dia pulang kerja.
Saat itu aku juga sedikit emosi karena Rania menggangguku. Seharusnya dia tidak mencampuri urusanku. Bukankah kami sudah sepakat tidak akan saling menggangu urusan pribadi masing-masing. Terlebih lagi Rania sempat berkata tidak sopan tentang, Gladys. Untuk pertama kalinya dia membantahku serta mematikan telepon secara sepihak.
Sesampainya di rumah, aku melihat Bastian di ruang tamu tengah menonton televisi. Aku masuk ke kamar dan melihat Rania di atas tempat tidur, tengah sibuk dengan ponselnya.
Aku diam saja, malas hanya untuk sekedar menyapanya. Sebaliknya sikapnya juga sama. Dia mengabaikan kehadiranku. Rania hanya melirik sekilas, selanjutnya fokus pada ponselnya.
Aku yang berharap dia minta maaf atas ucapannya tadi ditelepon, sedikit heran dengan sikapnya yang acuh.
Kubaringkan tubuhku di sofa. Berharap dia mau menegur atau marah sekalian. Tapi beberapa menit kutunggu dia masih diam saja. Aku keluar kamar karena kesal. Ku temui Bastian yang masih di ruang tamu.
Kami ngobrol sebentar dan Bastian bilang tadi ada tamu datang ke rumah mencariku. Ternyata adikku Mery. Kenapa Rania tidak bilang kalau Mery datang kerumah.
Aku balik lagi ke kamar, menjumpai Rania. Untuk apa Mery datang mencariku.
"Mery melihatmu bersama Gladys." sahutnya datar. Tapi membuatku kaget setengah mati. Jika dia sampai bercerita ke mama bisa mampus aku.
"Apa katanya." ucapku serius. Aku duduk di ujung tempat tidur menatapnya tanpa kedip. Sikap Rania yang tenang sungguh membuatku tersiksa.
"Dia mau lapor ke mama, kalau kamu masih berhubungan dengan Gladys."
"Trus, apa lagi katanya." kejarku tak sabar. Rania mendelik melihat reaksiku yang berlebihan. Jelas aku panik. Jika Mery sampai melapor ke mama aku takut penyakit jantung mama kumat.
"Makanya hati-hati. Jangan seenaknya bertingkah." sindirnya sarkas. "Tadi Inang juga mengirim pesan samaku, hari minggu kita ke rumah, Inang."
"Mau ngapain lagi itu?" Aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. Rania mengendikkan kedua bahunya pertanda tidak tau. Lalu meninggalkanku begitu saja di kamar dengan pikiran yang kalut.
Tidak berapa lama Rania balik lagi ke kamar mengajakku makan malam tapi kutolak. Rania sempat protes karena tidak enak makan berdua bersama Bastian. Tapi aku tidak peduli. Menurutku tidak apa-apa mereka berdua makan bersama.
Aku malah berharap mereka berdua bisa saling kenal satu sama lain. Karena aku cukup mengenal Bastian dengan baik. Siapa tau mereka cocok karena aku dan Rania hanya sebatas suami istri di atas kertas.
Sebenarnya saat bertemu Bastian di resepsi pernikahan sepupuku kemarin itu. Aku sempat merasakan tatapan Bastian yang penuh makna pada Rania. Beberapa kali aku memergokinya saat melihat ke arah Rania.
Sepertinya dia menyukai Rania. Terlebih saat aku melihat adegan Rania hampir jatuh saat menabrak Bastian. Pandangan mata mereka yang bertaut sepersekian detik. Sudah cukup bagiku menilai bahasa tubuh Bastian. Aku menyaksikan semua itu dari tempat ku berdiri yang terhalang tembok.
Saat itu aku hendak keluar dari persembunyianku. Aku menahan diri, karena tidak ingin Rania curiga melihat kehadiranku yang tiba-tiba.
Gladys mengirim pesan padaku waktu itu, karena cemburu melihat kemesraanku dengan Rania. Dia ngambek dan cemburu. Karena itu aku mencoba meredam kemarahannya di toilet.
Aku bahkan sempat merekam vidio saat Bastian memeluk Rania saat mau jatuh. Tujuanku adalah suatu saat vidio itu akan sangat berguna untukku. Tapi niat jahatku itu langsung terbayar tunai, saat mendengar sindiran Rania tentang sepasang kekasih di dalam toilet.
Aku langsung mati kutu saat itu.
Saat sekarang juga posisiku sama. Karena adikku sendiri telah melihatku bersama Gladys. Mama telah berkali-kali memperingatkan aku untuk melupakan Gladys. Bahkan sempat mengancamku tidak diakui lagi sebagai anak bila masih berhubungan dengan Gladys.
Namun, semakin dilarang rasa cintaku pada Gladys makin membara.
Cinta buta kata mama.
Entah mengapa mama begitu benci pada Gladys. Kata mama dia gadis matre. Hanya menginginkan uangku. Apa bedanya dengan Rania. Dia mau kunikahi pastinya karena uangku juga 'kan? Buktinya dia mau saja dijodohkan denganku.
Kata mama karena dia adalah paribanku. Ah, sial kali nasibku zaman begini masih di jodoh-jodohkan. Saat itu aku berharap Rania menolak perjodohan ini. Memang dia sempat menolak dan entah kenapa tiba-tiba menerimanya.
Akhirnya aku mengajukan perjanjian pra nikah. Kalau pernikahan kami hanya bertahan enam bulan saja. Kami hanya pasangan suami istri di atas kertas. Konyolnya lagi, Rania mau menandatangani begitu saja tanpa membaca semua isi surat itu.
Sekarang, satu tahun telah berlalu. Ternyata aku tidak punya alasan juga untuk menceraikannya.
Tanpa terasa kami sudah tiba di rumah mama. Disepanjang jalan kami hanya saling diam.
Aku memarkir mobil dihalaman rumah orang tuaku. Aku berdiam sejenak sebelum keluar. Kulirik Rania yang menghela napas panjang sebelum tangannya membuka pintu.
"Ra ...."
"Iya, aku tau." jawabnya sebelum mendengar keseluruhan ucapanku. Mungkin dia kira aku mengingatkan untuk bersandiwara. Padahal aku mau ngomong soal hal lain.
"Bukan itu maksudku. Aku mau minta maaf." ucapku tulus.
"Telat!" sahutnya tandas lantas keluar dari mobil. Aku menghempas nafasku kasar dan menyusul langkah Rania.
"Eh, menantu Mama sudah datang." sambut Mama dengan senyum cerianya. Hatiku yang tegang sedikit lega karena sambutan mama. Apakah Mery tidak mengadu sama mama?
"Apa khabarmu sayang." Mama memeluk Rania erat lalu giliranku. Kami bertiga beriringan masuk ke dalam rumah. Menjumpai bapak yang duduk lesehan di depan televisi.
Rania meletakkan jeruk, buah kesukaan bapak di hadapan beliau. Bapak mengambil satu langsung mengupasnya.
"Jeruknya manis sekali."
Mama juga duduk di dekat Bapak menikmati jeruk. Oleh-oleh yang kami bawa.
"Ra, bagaimana. Kamu sudah isi gak?" bisik Mama pada Rania. Tapi cukup jelas kudengar. Rania terbatuk saat mendengar ucapan mama. Pasti karena kaget.
"Ada teman Mama, menantunya sudah lima tahun menikah belum dapat momongan. Setelah berobat ke dokter itu, menantunya sudah lahiran. Jadi gak ada salahnya 'kan kalian coba periksa ke sana. Siapa tau cocok." ucap mama dengan mimik penuh binar.
Giliran ku yang tiba-tiba terbatuk. Aku dan Rania spontan saling pandang.***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor