"Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela.
"Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra.
Instagram : @wp.definasyafa
@haikal.mhdr
TikTok : @wp.definasyafa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon definasyafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋆˚𝜗 Angel heart 𝜚˚⋆
Kringg
Kringg
Kringg
Bunyi nyaring dari jam weker berbentuk persegi panjang berwarna hitam itu memenuhi kamar tidur sederhana yang ada di salah satu unit apartemen lantai 6 nomor 106. Kedua mata hitam legam itu terbuka secara perlahan, cahaya yang masuk melalui celah gorden sontak sedikit menganggu penglihatan seseorang yang ingin membuka matanya lebar-lebar. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah seorang bocah laki-laki yang tertidur pulas sambil memeluknya erat.
Seulas senyuman tipis terbit di bibir lelaki itu, satu tangannya terangkat untuk mengelus surai rambut bocah itu lembut. Kemudian dia meraih jam weker yang ada di atas nakas dekat tempat tidurnya, mematikan benda persegi panjang itu agar tidak menimbulkan kebisingan lagi.
Jam weker ini Haikal punya sejak dia masih duduk di sekolah dasar kelas 3. Hadiah pertama yang Haikal dapat dari Nenek-nya di hari ulangtahunnya yang ke 9 tahun. Sudah sangat lama memang, sangking lamanya hingga jam itu sudah retak di bagian kacanya, warna hitamnya pun sudah mulai memudar, begitupun dengan kaca nya yang sudah berwarna kekuningan, bahkan Haikal juga sudah memperbaiki jam itu berkali-kali.
Haikal bisa saja membeli lagi jam yang sama, tapi jelas tidak akan sama seperti jam yang dia miliki saat ini, sebab jam itu spesial pemberian dari Nenek-nya. Jadi Haikal berjanji pada dirinya sendiri akan merawat jam itu sebaik mungkin, tidak ada yang akan dapat menggantikannya.
Haikal berusaha melepas pelukan Devan dengan sangat pelan, takut membangunkan bocah itu. Kasihan, Haikal dapat melihat bahwa Devan begitu nyenyak dalam tidurnya. Maklum, mungkin dia kelelahan sebab kejadian semalam di tambah lagi bocah itu baru bisa tidur pukul satu dini hari. Setelah cukup lama Haikal berusaha melepas pelukan itu, kini pelukan itu terlepas juga.
Lelaki yang hanya berbalut boxer tanpa atasan itu turun dari ranjangnya, melangkah mengambil kaos oblong semalam dan memakainya. Kaki itu kembali mengayun membawanya menuju kamar mandi berada. Haikal akan membasuh wajah dan menggosok gigi nya sebentar sebelum sibuk memasak sarapan untuknya dan juga Devan. Pagi ini rasanya sangat berbeda dari pagi-pagi biasanya, mungkin karena kehadiran bocah menggemaskan di apartemen-nya, rasanya Haikal tidak lagi sendirian sekarang.
Lelaki dengan tinggi 174 cm itu sudah sibuk berkutat di dapurnya, badan atletis itu terbalut apron layaknya chef yang sudah sangat profesional. Kedua tangan itu bergerak lincah memotong sosis hingga beberapa bagian kemudian Haikal berjalan ke arah lemari es berada, mengambil dua butir telur dan mulai mencampur nya dengan sosis yang sudah dia potong kecil-kecil. Rencananya pagi ini Haikal akan membuat sosis gulung telur untuk sarapan sederhana memang, tapi Haikal yakin Devan akan menyukainya.
“Bang Haikal lagi apa?”
Pertanyaan itu sontak sedikit mengejutkan Haikal yang tengah fokus menggoreng sosis gulung telur buatannya. Haikal menoleh ke belakang di mana seorang bocah yang tingginya hanya sebatas pahanya itu sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan bocah itu bangun. Haikal berjongkok tepat di depan Devan, tangannya terulur untuk merapikan rambut bocah itu yang sedikit berantakan sebab dia baru bangun dari tidurnya.
“Kenapa udah bangun bochil, kan abang belum bangunin.”
Devan menatap Haikal dengan kedua mata yang mengerjap lucu. Haikal yang melihatnya ingin sekali menelan bocah itu hidup-hidup. Dia sangat menyukai anak kecil, apalagi anak kecilnya menggemaskan Devan, bisa-bisa dia khilaf dan menelan bocah itu pagi ini juga.
“Tadi Devan mau peluk bang Haikal tapi abang nggak ada, jadi Devan cariin abang.”
Haikal terkekeh pelan, dia mengangkat badan kecil itu untuk dia bawa ke depan TV mendudukkan Devan di sofa itu dengan nyaman. “tunggu sini ya abang siapin sarapan dulu, oke chil.” Tak lupa Haikal juga menyempatkan untuk menepuk pucuk kepala Devan pelan.
Devan mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelahnya Haikal kembali menuju dapur mengambil dua piring nasi beserta lauknya tak lupa dia juga mengambil satu botol air untuk dirinya dan juga Devan.
“nih sosis gulung telur spesial, cobain deh abang jamin rasanya bakal kayak di restoran-restoran mahal.” Haikal meletakkan satu piring di depan Devan sebelum dia membantu bocah itu untuk turun dari atas sofa agar bisa duduk di bawah tempat di tengah-tengah antara sofa dan meja berada.
Devan menatap antusias piring yang ada di depannya, kemudian segera menyendok nasi beserta sosis gulung telur itu hendak langsung melahapnya tapi Haikal dengan cepat menahan tangannya.
“Eitsss, nggak sabaran amat chil. Baca doa dulu, inget nggak doa makan yang abang ajarin semalem.”
Devan menoleh ke samping dimana Haikal berada dengan cengiran khasnya, “iya bang maaf, Devan inget kok.”
Haikal mengangguk seraya tersenyum tipis, “nggak papa, tapi ingat lain kali kalau mau makan harus baca doa dulu, oke bochil.”
Devan mengangguk mantap, kemudian dia mengadakan kedua tangannya mengucap doa sebelum makan yang semalam Haikal ajarkan padanya, baru setelah itu dia menyantap makanannya dengan sangat lahap. Haikal yang melihat itu pun tersenyum tipis lalu dia juga ikut menikmati sarapannya.
Belum ada sehari hidup bersama Haikal, namun Devan sudah belajar banyak hal, hal-hal yang tidak pernah dia dapatkan dari kedua orang tuanya. Malam itu dan pagi ini dia dapatkan dari sosok lelaki asing di sampingnya, mulai dari belajar doa sebelum dan sesudah makan, doa tidur, hingga pelukan serta kasih sayang yang tidak pernah dia dapatkan dari Mama Papa-nya, kini dia dapatkan dari Haikal. Mulai malam itu sampai seumur hidup Devan menganggap bahwa Haikal adalah abangnya.
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
Seperti apa yang semalam anggota Peaceable rencanakan kini mereka sudah berkumpul di mansion milik keluarga Cakra. Minggu ini seluruh anggota Peaceable akan melaksanakan bakti sosial aksi bersih-bersih taman kota sudah menjadi hal wajar bagi mereka melakukan kegiatan semacam ini. Karena tujuan berdirinya Peaceable adalah untuk semua orang yang ada di sekitar mereka termasuk tempat-tempat yang membutuhkan sedikit tenaga mereka.
Hampir semua anggota sudah berada di sana terkecuali Haikal, entah masih berada di mana lelaki itu sekarang. Hingga suara deru motor terdengar memasuki gerbang mansion besar itu. Mereka yang awalnya tengah sibuk menyiapkan alat-alat yang diperlukan, seketika teralihkan menyorot Haikal dengan anak kecil di boncengannya. Dahi mereka menyerngit mempertanyakan sosok bocah yang bersama Haikal, pasalnya mereka tau betul bahwa Haikal adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya yang sudah berpisah.
Haikal memarkirkan motornya tempat di samping motor Nando, melepas helm full face-nya sebelum turun dari motornya dan mengangkat badan kecil Devan yang saat ini tengah bersamanya. Menggendong nya menuju teman-temannya berada, sepertinya Devan takut bertemu orang baru dilihat dari bocah itu yang memeluk erat leher Haikal sambil membenamkan kepalanya disana.
“Hallo epribadeh, sorry telat dikit hehehe.”
“Dikit upil lo, lo hampir telat setengah jam nyet.” Seperti biasa Rey pemilik kesabaran setipis tissu itu akan selalu ngegas bila berbicara.
Bukannya takut, Haikal justru gencar ingin membuat Rey itu emosi, “baru juga setengah jam rencananya mau sejam aja sih tadi, sekalian.”
Rey yang kebetulan tengah membawa sapu lidi sontak memukul pantat Haikal mengunakan kayu sapu lidi itu dengan begitu kencang, “nggak usah ikut sekalian lo, sana pulang!”
Haikal terkekeh sambil mengelus pantatnya yang sedikit panas.
Bedanya dengan Haikal dan Rey yang sibuk beradu mulut, sedangkan Cakra sedari tadi menatap bocah yang ada di gendongan Haikal.
“Kal, lo bawa siapa?” Tanya Cakra mewakili pertanyaan yang ada di benak anggota Peaceable lainnya.
Haikal menatap Devan yang ada di gendongan nya itu sebentar, sebelum kembali menatap Cakra sahabatnya. “ini Devan, adek baru gue.”
Sapu tangan Haikal mengelus belakang surai rambut Devan, menyuruh bocah itu untuk mengangkat kepalanya dan menatap ke arah teman-temannya. “Devan kenalan dulu sama temen-temen abang.”
Devan mendongak secara perlahan, dia menolehkan kepalanya ke arah gerombolan lelaki seusia abangnya.
“Kal, lo nyulik anak siapa nyet.” Nando menatap was-was temannya itu, bisa-bisanya dia menculik anak orang, segabut itu kah hidup Haikal.
“Jangan sembarangan nyet, gue nemuin nih bochil di jalan deket apartemen gue.” Haidar menurunkan Devan dari gendongannya dengan bocah itu yang tetap menggenggam erat tangan kirinya.
“Terus?” Cakra menatap Haikal lama menunggu penjelasan sahabatnya.
“Ya gitu, dia tersesat dan nggak tau alamat rumahnya, jadi gue bawa dia semalem buat nginep di apartemen gue.” Jelas Haikal.
Cakra menghembuskan nafas beratnya, entahlah dia tidak habis pikir dengan kebaikan sahabatnya. Dia terlalu baik, bahkan di saat hidupnya yang saat ini masih berantakan. Tapi dia justru mau menampung bocah yang tidak dia kenal, apalagi bocah itu masih sangat kecil pasti akan sangat merepotkan Haikal nanti.
“Terus dia bakal tinggal sama lo sampai kapan?”
Haikal yang semula membenarkan tali sepatu Devan pun seketika mendongak menatap Cakra sekilas, “sampek dia bisa balik ke tempat dia yang semula, bochil ini bilang dia di tinggal sama orang tuanya di tempat yang banyak anak kecilnya, menurut kalian tempat apa yang banyak anak kecilnya?”
“Posyandu, posyandu kalo lagi ada imunisasi kan banyak anak kecilnya tuh.” Nando menjawab dengan semangat seakan jawabnya itu sudah paling benar.
Rey menonyor kepala Nando kasar, “bangsat, nggak gitu konsepnya.”
Nando meringis pelan sambil mengelus tengkuknya yang sedikit nyut-nyutan, “yakan siapa tau Emak Bapak-nya Devan lupa kalo anaknya ketinggalan di tempat imunisasi.”
Cakra menggeleng pelan, mana mungkin orang tua lupa saat membawa anaknya beda halnya jika memang dia sengaja meninggalkannya. “nggak mungkin mana ada nyet orang tua yang lupa kalo lagi bawa anaknya, apalagi anaknya sekecil Devan, beda lagi kalo di sengaja.”
Nando mangut-mangut ada benarnya juga apa yang Cakra bilang, “kalau emang sengaja brengsek bener itu orang tuanya, bayangin anak sekecil ini nyet di tinggal gitu aja.”
Eza yang dari tadi dia pun mengangguk menyetujui, “iya kasihan Devan.”
Kaki jenjangnya melangkah mendekat di depan Devan, dia sedikit berjongkok untuk menjajarkan tingginya dengan tinggi Devan. “hai kenalin nama abang Eza, Devan mau yupi ini, enak loh.” Eza menyodorkan satu kardus kecil yupi berwarna-warni di hadapan Devan, namun bocah itu hanya diam.
Devan mendongak menatap Haikal meminta persetujuan.
Haikal mengangguk sambil tersenyum tipis, “ambil aja chil, rejeki nggak boleh di tolak.”
Setelah mendapat persetujuan dari Haikal, Devan dengan perlahan mengambil yupi itu dan memeluknya erat. “terimakasih.”
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
Kegiatan aksi bersih-bersih taman kota selesai juga, tak butuh waktu lama memang untuk menyelesaikan semua itu sebab seluruh anggota Peaceable sama-sama bekerja keras, tidak ada salah satu dari mereka bermalas-malasan sebab takut Arkan keluarkan dari geng motor secara tidak hormat. Saat ini mereka tengah duduk di kursi taman sambil meminum sebotol air mineral, begitupun Haikal yang duduk dengan Devan di pangkuannya yang tengah asik memakan yupi pemberian Eza.
“Devan ya Allah nak, ibu cariin kamu dari semalam, kamu kemana aja nak?” Seorang wanita berhijab tiba-tiba datang hendak mengambil Devan dari pangkuan Haikal.
Sontak Haikal segera menyentak kasar kedua tangan wanita itu begitu juga dengan Devan yang semakin memeluk erat leher Haikal.
“Eitsss anda siapa buk, sembarangan mau pegang-pegang adik saya.” Haikal berdiri mengendong Devan erat dengan mata yang menatap tajam wanita setengah baya itu.
Sama halnya dengan Haikal, anggota Peaceable yang lainnya juga seketika berdiri di samping kanan kiri Haikal berusaha melindungi Devan dari orang asing di depannya.
“Saya pengurus panti asuhan Kasih Bunda yang ada di sebrang sana, dan anak ini Devan. Kemarin siang kedua orang tuanya menitipkan Devan di panti asuhan kami, lalu tanpa sepengetahuan kami malamnya Devan kabur, semalam saya dan pengurus panti lainnya mencari nak Devan.”
Haikal diam, dia masih menatap wanita setengah baya itu tajam engan melepas Devan yang ada di gendongan nya.
“Ada buktinya buk?” Tanya Sarga yang sedari tadi hanya menyimak.
Ibu panti itu mengangguk cepat, kemudian menyerahkan satu buah map di hadapan Sarga. “ini buktinya mas.”
Sarga menerima map itu, membukanya seraya mengecek satu persatu lembaran kertas itu. Nando, Rey, Arkan dan Cakra juga ikut melihat isi map tersebut.
“Iya kal bener, Devan emang di titipin di panti ini.” Ujar Cakra membenarkan.
Haikal diam, raut kesedihan terpancar jelas di wajahnya. Dia tidak siap jika harus berpisah dengan Devan secepat ini, tapi mau bagaimana lagi bukankah niat awalnya memang ingin mengantar Devan ke tempat asalnya.
Setelah lama terdiam akhirnya Haikal menurunkan Devan dari gendongan nya, “Devan harus pulang ya, ikut sama ibu panti itu.”
Devan menggeleng keras dia bahkan enggan untuk melepas pelukannya dari leher Haikal, “nggak mau, Devan mau ikut abang aja.”
Haikal mengelus punggung Devan berusaha menenangkan, lelaki itu mendongak menatap ibu panti itu lekat. “buk boleh ya kalau Devan tinggal sama saya aja.”
“Nggak bisa mas, syarat mengadopsi anak di panti asuhan harus sudah menikah. Lagi pula mas juga masih pelajar, jadi tidak bisa.” Ibu panti itu berusaha memberi peringatan.
Haikal menghembuskan nafas beratnya, “Devan dengerin abang, untuk sementara Devan harus ikut sama bu panti. Abang janji kok setelah abang lulus sekolah nanti abang akan bawa Devan untuk tinggal bareng abang.”
Devan diam menatap Haikal lekat kedua matanya berkaca-kaca, kenapa dia harus berpisah dengan orang baik seperti Haikal. “abang janji?” jari kelingkingnya dia sodorkan di hadapan Haikal.
Haikal tersenyum tipis sambil menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking kecil Devan, “iya abang janji, sekarang Devan ikut ibu panti dulu yaa.”
Devan mengangguk samar kemudian secara perlahan melepas pelukannya dari leher Haikal berjalan pelan mendekat ke ibu panti.
“Titip Devan ya bu, saya akan sering-sering nemuin Devan nanti, oh iya kalau ada apa-apa ibu bisa hubungi Cakra teman saya karena saya belum ada ponsel.”
Cakra mengangguk singkat, “Cakrawala Diningrat putra tunggal keluarga Diningrat.”
Ibu panti itu mengangguk keluarga Diningrat, jelas dia tau sebab Diningrat adalah salah satu donatur terbesar di panti asuhannya. “iya, terimakasih karena sudah merawat Devan, kami permisi.”
Devan berjalan di dengan gandengan wanita setengah baya itu menuju panti asuhan Kasih Bunda, namun pandangan bocah itu masih setia menatap kearah Haikal, begitupun dengan Haikal yang masih setia menatapnya. Haikal tersenyum tipis sambil melambaikan tangannya ke arah Devan. Semua itu tidak luput dari pandangan anggota Peaceable lainnya, mereka tidak menyangka bahwa pelawak nya memiliki hati sebaik itu.