Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14~ INGAT MAS, KARMA TIDAK PERNAH SALAH ALAMAT!
"Makan yang banyak ya," ucap Fahmi sembari menyuapi istrinya. Ia baru menyudahi ketika terdengar dering ponselnya.
"Pak Vano yang telepon," ucapnya seraya menunjukkan layar ponselnya pada Windi, sebab tidak ingin membuat istrinya itu berpikiran negatif yang bisa berpengaruh terhadap kandungannya. Sebegitu pedulinya ia terhadap Windi.
"Oh, ya udah Mas, buruan angkat teleponnya." Ucap Windi.
"Aku keluar sebentar ya, disini agak berisik," Fahmi pun bergegas keluar.
Windi tersenyum penuh arti begitu Fahmi tak terlihat lagi. Ia lalu memanggil pelayan yang kebetulan lewat tak jauh dari mejanya.
"Mbak, saya mau pesan Matcha Latte, tapi saya mau Jihan yang mengantarkan ke sini. Cepat ya, Mbak!"
"Baik, Mbak. Mohon menunggu sebentar ya." Pelayanan itupun bergegas pergi.
Tak berapa lama kemudian Jihan menghampiri dengan membawa minuman pesanan Windi. Awalnya ia menolak mengantarkan pesanan meja nomor 11, namun temannya mengancam akan melaporkannya pada atasannya jika ia menolak permintaan pelanggan.
Jihan meletakkan secangkir Matcha Latte tersebut di atas meja. Ia mati-matian berusaha menahan rasa yang berkecamuk di dada berhadapan Windi , terlebih setelah penghinaan Fahmi beberapa saat lalu. Tapi, setidaknya ia bisa sedikit bernafas lega karena tidak terlihat keberadaan Fahmi.
"Mbak, kami sedang mencari jasa asisten rumah tangga, loh. Siapa tahu aja Mbak berminat menawarkan diri untuk kerja sampingan. Kan lumayan Mbak, bisa untuk tambah-tambah biaya hidup Mbak dan Dafa." Ucap Windi.
Jihan tak menanggapi, ia memilih diam meski ucapan Windi baru saja terkesan merendahkannya. Ia tidak ingin membuat keributan yang akan merugikan dirinya sendiri.
"Silahkan dinikmati, saya permisi." Ucap Jihan lalu hendak pergi.
Windi bergerak cepat menumpahkan matcha latte itu mengenai pakaiannya, lalu berteriak lantang, "Hei, dasar pelayan gak ada sopan santunnya! Mau pergi gitu aja setelah mengotori pakaian saya!"
Jihan menoleh, kedua matanya seketika terbelalak melihat pakaian Windi sebagain basah terkena minuman yang baru saja ia antarkan.
"Sa-ya gak melakukan itu," ucap Jihan sembari menatap satu persatu para pengunjung yang tampak berbisik-bisik menatapnya.
"Pake gak ngaku lagi, jelas-jelas kamu yang menumpahkan minuman itu. Mau langsung kabur aja gak ada tanggung jawabnya. Saya gak terima pelayanan di restoran ini, panggil manager kamu sekarang!" Tukas Windi.
Keributan itu tentu mengundang perhatian banyak orang, terlebih para pelayan di restoran itu. Salah satunya langsung menuju ruangan manager untuk melaporkan kegaduhan yang terjadi.
"Maaf, ada keributan apa ini?" Tanya seorang pria paruh baya yang baru saja datang.
Windi menatap penampilan pria itu dengan intens, "Apa Bapak Manager di Restoran ini?"
"Benar, kalau boleh tahu apa yang telah terjadi sebenarnya?"
"Bapak lihat pakaian saya," Windi menunjuk bagian pakaiannya yang terkena matcha latte. "Ini semua ulah karyawan Bapak satu ini. Saya gak terima dia main pergi aja tanpa ada tanggung jawabnya!" Ucapnya lantang sembari menunjuk Jihan.
Pria paruh baya itupun lantas menoleh sebentar menatap Jihan dengan ekspresi kesal, "Saya mewakili karyawan kami meminta maaf yang sebesar-besarnya. Jihan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia akan membantu membersihkan pakaian Anda." Ucapnya pada Windi.
"Udah, Pak. Saya gak butuh itu, saya sudah sangat tersinggung dengan ulah dia." Ujar Windi.
"Lalu Anda ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara seperti apa?"
"Pecat dia. Bisa-bisanya Restoran berkelas seperti ini mempekerjakan pelayan yang tidak ber attitude seperti dia!" Sarkas Windi seraya menunjuk tepat ke wajah Jihan.
"Maaf, saya tidak bisa memecat karyawan seenaknya saja. Saya rasa masalah ini bisa diselesaikan dengan cara baik-baik." Ucap manager restoran tersebut, berusaha bersikap profesional meski sebenarnya kesal atas apa yang sudah dilakukan Jihan terhadap pengunjung restoran.
"Ada apa ini?" Tanya Fahmi yang baru saja tiba usai menerima telepon dari atasannya.
Manager restoran tersebut pun langsung menunduk hormat begitu melihat Fahmi, siapa yang tidak kenal. Fahmi adalah manager di sebuah perusahaan besar dan sudah sering datang ke restoran tersebut bersama para rekannya.
"Lihat Mas, pakaianku jadi kotor begini gara-gara ulah pelayan itu. Udah gitu tadi dia main langsung pergi aja, aku gak terima Mas!" Ujar Windi mengadu pada suaminya.
Fahmi pun menatap Jihan dengan tajam, "Apa maksud kamu melakukan kamu melakukan ini pada istri saya, huh?"
Jihan hanya mampu menggelengkan kepalanya, sungguh seluruh tubuhnya terasa bergetar atas kejadian itu. Dituduh tanpa sebab dan dipermalukan di depan orang banyak, membuatnya tidak bisa berkata-kata.
"Pak Fahmi, kami mohon maaf atas keteledoran karyawan kami. Nanti saya akan memberinya peringatan. Mohon untuk jalan damainya, Pak." Pinta sang manager restoran.
"Enak aja damai, harusnya dia itu dipecat biar kapok!" Pungkas Windi.
"Pak Rinto, laksanakan sesuai seperti keinginan istri saya, atau kalau tidak saya akan melakukan sesuatu yang bisa merugikan Bapak maupun Restoran ini!" Ujar Fahmi memberi peringatan.
Pasrah, manager restoran itupun mau tak mau menurutinya. "Baik, Pak. Jihan akan saya pecat sekarang juga."
"Bagus!" Ucap Fahmi, ia melayangkan tatapan tajam pada Jihan yang seolah mengatakan dia tidak akan bisa apa-apa tanpanya.
Jihan menundukkan pandangannya, ia pun pasrah jika benar harus dipecat. Melakukan pembelaan diri pun tidak akan ada gunanya. Sebab Fahmi tidak akan percaya bahwa Windi lah yang telah berbohong dan menuduhnya.
"Jihan, mulai sekarang kamu saya pecat. Dan silahkan tinggalkan Restoran ini."
"Baik, Pak. Terima kasih sebelumnya telah menerima saya bekerja di sini. Saya pamit, permisi." Jihan pun lekas menuju ruang ganti. Setelah mengganti seragamnya ia menemui teman-temannya untuk berpamitan.
"Mbak Jihan yang sabar ya, semoga setelah ini Mbak dapat kerjaan yang lebih baik." Ucap Dini, satu-satunya teman sesama pelayan yang memperlakukan dengan baik. Sedang yang lainnya terlihat acuh dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
"Amiiin, terima kasih atas empatinya, Din. Aku pamit ya,"
"Iya, Mbak, salam untuk anaknya. Kalau aku ada informasi lowongan kerja, aku akan langsung hubungi Mbak Jihan."
"Iya nanti aku sampaikan pada Dafa, sekali lagi terima kasih ya, Din."
"Sama-sama, Mbak. Hati-hati di jalan."
Jihan mengangguk sambil tersenyum, ia pun bergegas pergi setelahnya.
Ia sedang berdiri di pinggir jalan menunggu ojek yang lewat saat tiba-tiba seseorang datang menghampirinya. Ia langsung bergeser memberi jarak begitu melihat ternyata Fahmi yang berdiri tepat disampingnya dan nyaris menyenggol lengannya.
"Kamu lihat, kan? Aku bisa melakukan apapun termasuk membuat kamu di pecat. Setelah ini kemana lagi kamu akan cari pekerjaan? Bagaimana kamu bisa memenuhi semua kebutuhan Dafa kalau kamu tidak punya pekerjaan? Aku yakin, sebentar lagi kamu akan datang padaku meminta belas kasih karena tidak sanggup memenuhi semua kebutuhan Dafa."
Jihan memejamkan mata sembari menghela nafas panjang, kemudian memberanikan diri menatap mantan suaminya itu.
"Jika untuk nafkah anak saja harus mengemis itu tidak akan pernah kulakukan, Mas. Karena anakmu bukan fakir miskin yang harus menunggu belas kasih dari orang sepertimu, tapi nafkah anakmu adalah kewajiban mu. Terlalu pengecut disebut sebagai seorang ayah, dan jangan Mas lupa, sehebat apapun dirimu jika kau lupa akan kewajiban pada anakmu, maka Allah akan mencabut semua rezeki mu. Ingat, Mas, karma tidak akan pernah salah alamat!" Pungkas Jihan.
Fahmi mengepalkan tangannya, sorot matanya tajam menatap Jihan. "Lihat saja nanti, siapa yang akan menjilat ludahnya sendiri. Aku pastikan kamu pasti akan datang mengemis padaku! Dan aku tunggu kamu di persidangan nanti, jangan harap kamu akan mendapatkan sepeserpun dariku!"
Jihan tak mempedulikannya, ia lekas pergi dengan langkah cepat meninggalkan mantan suaminya itu.
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭