"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily berdiri di sudut ruangan, ia menyaksikan para pekerja melaksanakan tugas mereka dengan efisiensi tanpa cela. Mereka membawa masuk furnitur mewah, karpet mahal, lampu kristal yang berkilauan, serta peralatan elektronik canggih.
Setiap sudut gudang disulap menjadi ruang pribadi Zhen yang begitu megah, dengan interior yang memancarkan kemewahan.
Dinding-dindingnya dilapisi dengan panel kayu mahoni yang mengilap, sementara lantainya dipasangi marmer putih berurat emas. Sebuah sofa kulit besar berwarna hitam ditempatkan di tengah ruangan, menghadap ke layar televisi besar yang menempel di dinding.
Di satu sisi terdapat meja kerja besar yang tampak mengintimidasi, lengkap dengan kursi kulit berdesain klasik. Di sisi lain, sebuah minibar kecil dengan deretan botol minuman mahal berdiri dengan elegan.
Lily memegang clipboard, berpura-pura sibuk memeriksa daftar pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun, hatinya terus berdebar keras. Pikirannya dipenuhi oleh ketakutan yang menghantui sejak semalam ia mendengar percakapan Zhen tengah menelepon seseorang.
Setiap kali salah satu pekerja melintas di dekatnya, ia merasa seperti sedang diawasi. Padahal tidak ada yang benar-benar peduli padanya. Semua orang sibuk menyelesaikan tugas mereka demi menyenangkan Zhen.
Lily terus mencari cara agar tidak perlu bertemu langsung dengan pria itu. Bayangan Zhen dengan tatapannya yang dingin dan kata-kata penuh dendam yang masih terngiang di telinganya, membuat tubuhnya bergetar setiap kali ia memikirkannya.
Saat itu percakapan dua pekerja yang berjalan melewatinya menghentikan langkahnya.
"Tuan Zhen hari ini dinas di luar kota," ucap salah satu dari mereka dengan suara santai namun terdengar jelas di telinga Lily.
"Berapa lama dia pergi?" tanya temannya sambil membawa kotak alat.
"Enggak tau, tapi katanya lebih dari sehari."
Mendengar itu, Lily merasa lega untuk pertama kalinya. Zhen tidak ada di sana. Pikirannya mulai berputar, mencoba mencari cara untuk memanfaatkan momen ini.
Ia tahu ini adalah kesempatan langka untuk melakukan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia berani lakukan jika Zhen ada di dekatnya.
Lily melirik jam tangan kecil di pergelangan tangannya. Jarum pendek menunjukkan pukul lima sore, waktu kerja hampir usai.
Napasnya mulai tidak teratur saat memikirkan rencana yang mendadak muncul di benaknya. Ia menggenggam ponselnya dengan erat, memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Elyza, yang baru saja pulang dari luar kota.
Setelah menyelesaikan tugas terakhirnya di gudang, Lily menuju ke ruang istirahat untuk mendapatkan sedikit privasi. Jarinya bergerak cepat di layar ponsel, mengetik pesan singkat kepada Elyza.
"Aku ingin kerumahmu."
Tidak butuh waktu lama ponsel Lily bergetar dengan balasan dari sahabatnya.
"Oke, aku tunggu. Kebetulan aku membawakan oleh-oleh untukmu. Aku yakin kau akan menyukainya."
Lily menghela napas panjang dengan ia mengirim gambar kelinci yang menebarkan reaksi penuh terimakasih. Lily juga tidak ingin memberi tahu terlalu banyak detail dalam pesan.
Ketika waktu kerja selesai, Lily mengambil tasnya dan bergegas keluar dari gedung. Ia berjalan dengan cepat menuju halte bus, memastikan dirinya tidak terlihat mencurigakan.
Rasa lega karena Zhen tidak ada di kantor memberinya keberanian untuk mengambil langkah ini.
Di dalam bus pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan dan rasa cemas. Ia tidak tahu harus mulai dari mana jika bertemu dengan Elyza nanti.
Semua yang terjadi sejak ia bertemu dengan Zhen terasa seperti teka-teki besar yang semakin sulit untuk dipecahkan.
......................
Lily duduk di sofa mewah milik Elyza, memeluk kaleng minuman dingin yang sudah hampir habis isinya. Pandangannya kosong, terarah ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di bawah langit senja.
Cahaya oranye menyapu ruangan apartemen Elyza yang luas dan elegan, mencerminkan gaya hidup sahabatnya sebagai seorang desainer sukses.
Namun, Lily tidak bisa menikmati keindahan itu. Pikirannya terlalu penuh dengan ketakutan, rasa bersalah, dan kenangan pahit yang terus menghantuinya.
"Aku tidak bisa terus begini," suaranya terdengar serak hampir seperti bisikan. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu membuangnya dengan berat. "Aku tidak tau harus bagaimana lagi. Rasanya setiap langkahku diawasi. Setiap sudut ada bayangan tuan Zhen dan Hugo."
Elyza duduk di kursi berhadapan dengannya, menyilangkan kaki dengan raut wajah yang sulit digambarkan. Antara cemas, frustrasi, dan bingung harus berkata apa.
Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan pusing yang menyerang setelah mendengar cerita panjang Lily tentang Hugo berselingkuh dengan Daisy yang membuat Elyza memang sedari awal, tidak menyukai tunangan sahabatnya setelah ketahuan selingkuh untuk pertama kali, dan masalah baru tentang Zhen.
"Kau sadar tidak, hidupmu sudah tidak sehat lagi? Hidupmu seperti bom waktu. Kau terus bertahan di situasi yang jelas-jelas menghancurkanmu," ucap Elyza akhirnya membuka suara, nadanya tegas meski sedikit gemetar.
"Aku tidak punya pilihan, El." Lily memotong dengan nada nyaris putus asa. Ia menunduk, memeluk lututnya. "Aku tidak bisa lari. Tuan Zhen terlalu berkuasa, Hugo selalu memantau ku. Mereka berdua bisa menemukanku di mana saja."
Elyza mendengus keras, melipat tangan di dada. "Kau mau terus jadi boneka untuk kedua pria itu? Apa kau mau hidupmu berakhir seperti ini selamanya?!" suaranya meninggi, emosinya jelas terpancar.
Lily menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin pergi, El. Aku benar-benar ingin. Kalau bisa, aku ingin bawa nenekku juga. Aku tidak peduli ke mana, asalkan aku tidak perlu melihat wajah tuan Zhen atau Hugo lagi."
Elyza menggeleng frustrasi, bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan mondar-mandir. "Tapi kau tidak pernah benar-benar mencobanya! Kau selalu bilang ingin lari, tapi kau tetap di sana, membiarkan dirimu dikuasai mereka!"
"Apa kau pikir aku tidak takut?!" Lily akhirnya berdiri, suaranya pecah. Air mata mengalir di pipinya, tangannya terkepal. "Tuan Zhen itu bukan orang biasa! Dia tau segalanya tentang aku! Dia bisa menghancurkanku kapan saja! Sedangkan Hugo, dia bagaikan ular yang terus melilitku tiada henti."
Elyza berhenti di depan Lily, menatap Lily tajam. "Kalau begitu biarkan aku yang bantu. Berhenti bekerja untuk tuan Zhen. Tinggalkan semua ini. Aku punya cara agar mereka tidak bisa menemukanmu."
Lily terdiam, tubuhnya gemetar. "Bagaimana caranya?" tanyanya lirih.
Elyza menarik napas dalam, mencoba menenangkan emosinya. Ia kembali duduk kali ini dengan nada suara lebih lembut tapi tetap tegas. "Aku akan membawamu keluar negeri. Kau akan bekerja untukku sebagai asisten pribadi. Dengan identitas baru. Aku akan urus semuanya. Paspor, visa, semuanya. Kau hanya perlu setuju dan pergi dari sini."
Lily tertegun dengan hatinya berdebar hebat mendengar rencana itu. "Identitas baru? Kau yakin itu bisa berhasil?"
"Aku yakin," Elyza menatap Lily lekat-lekat, matanya dipenuhi keyakinan. "Aku tidak akan membiarkan kau terus disiksa seperti ini. Tuan Zhen itu orang berbahaya. Desas-desus tentang dia bukan sekadar ancaman biasa. Dia bisa menghancurkanmu. Bahkan mungkin membunuhmu kalau dia merasa kau ancaman. Apalagi Hugo, dia hanya menguras harta warisan orang tuamu jika kalian menikah."
Kata-kata Elyza membuat Lily merinding. Kenyataan yang ia coba abaikan selama ini menyeruak ke permukaan. "Bagaimana kalau mereka menemukanku? Bagaimana kalau mereka—"
"Berhenti berpikir seperti itu!" Elyza memotong, menggenggam tangan Lily erat. "Kau harus mempercayai aku. Kalau kau tetap tinggal di sini, kau akan terus dihantui ketakutan. Apa kau ingin hidup seperti ini selamanya?"
Lily menggigit bibirnya dengan hatinya bergolak. Ia tahu Elyza benar. Tapi bayangan Zhen dan ancaman tersembunyinya terlalu besar untuk diabaikan.
Akhirnya, setelah hening beberapa saat, Lily mengangguk pelan. "Baiklah, aku akan pergi. Tapi aku ingin nenekku ikut."
Elyza tersenyum kecil, lega mendengar keputusan itu. "Kita akan urus semuanya. Tapi kau harus berani, Lily. Jangan sampai ragu lagi."
Lily menatap sahabatnya, mencoba menyerap keyakinan yang terpancar dari mata Elyza. "Aku tidak tau apakah mereka akan mencariku lagi. Tapi aku akan mencoba."
"Percayalah, aku akan membantumu," Elyza berjanji. "Mulai sekarang, kita akan pastikan kau aman."
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lily merasa ada secercah harapan di tengah kegelapan hidupnya. Tapi ia tahu, jalan di depannya masih penuh tantangan dan ancaman yang belum ia pahami sepenuhnya.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰