"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 | Mampir ke Rumahmu, ya?
“Aku mampir ke rumahmu sebentar, ya?” tanyanya.
Matanya bertemu dengan mataku, menunggu jawaban yang kuucapkan dengan bibir yang hampir bergetar. Pandangannya lembut, seperti biasa, namun ada sedikit kilatan semangat di sana yang membuatku semakin penasaran.
“Boleh. Mau ngapain emang?” tanyaku, mencoba terdengar biasa saja meski jantungku mulai berpacu lagi.
“Aku mau kasih makanan kucing,” kata Ryan sambil mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi makanan kering kucing dari dalam tas ranselnya.
Aku menatapnya dengan tak percaya, senyuman perlahan muncul di bibirku.
“Beneran?” tanyaku, kali ini dengan nada yang lebih bersemangat. “Wah, kucing-kucing itu pasti senang sekali.”
Ryan tertawa kecil, suaranya terdengar hangat di antara gemuruh lembut kendaraan yang lewat.
“Iya, aku terlanjur membeli banyak makanan kucing. Tapi, saat kamu membawa mereka untuk dipelihara, aku lupa memberikan ini padamu,” jelasnya sambil menggoyangkan kantong itu pelan.
Suara makanan kering yang berbunyi di dalamnya membuatku tidak sabar untuk pulang ke rumah lalu melihat kucing-kucing peliharaanku melahapnya.
Kami terus berjalan menyusuri trotoar yang mulai gelap diterangi lampu-lampu jalanan, suara langkah kaki kami bersahutan dengan bunyi dedaunan kering yang tertiup angin. Udara senja itu terasa sejuk, membawa aroma khas embun dan aspal basah.
Kami berbicara ringan, kadang tertawa kecil, meski percakapan terhenti sejenak ketika kami mendekati rumahku. Aku mengeluarkan kunci dari saku. Dengan satu putaran, pintu kayu tua itu terbuka, mengeluarkan bunyi derit pelan.
Belum sempat aku melangkah masuk, anak-anak kucing kecil itu sudah menyambutku dengan riuh. Mereka berlarian, mengeong nyaring, mengitari kaki kami berdua. Seekor kucing belang coklat langsung memanjat sepatuku, cakarnya yang mungil mencengkeram kuat namun lembut. Aku tertawa, refleks mengusap kepala si kecil yang lucu itu.
“Kalau nggak salah, anaknya ada lima, mana yang satu lagi?” tanya Ryan, suaranya terdengar hangat di antara suara kucing-kucing yang ribut.
Mataku menelusuri ruangan yang diterangi cahaya kuning keemasan dari lampu gantung. Ada tumpukan majalah di meja kecil, bantal sofa yang sedikit miring, dan jejak-jejak kucing yang menciptakan pola tak beraturan di karpet. Aku akhirnya melihat ekor kucing kecil berwarna hitam menjulur dari bawah sofa, bergerak pelan seakan bermain petak umpet.
“Itu dia, di bawah sofa,” kataku sambil menunjuknya.
Si kucing kecil mendengar suaraku dan mengeong pelan, ragu-ragu melangkah keluar dengan mata bulatnya yang menggemaskan. Aku menjulurkan tangan, setelah sedikit ragu, si kecil itu maju, mendekatiku dengan penuh percaya diri.
“Masuk saja, Ryan. Anggap seperti rumah sendiri,” kataku.
“Iya, terima kasih,” jawab Ryan, senyum tipis menghiasi bibirnya.
Dia menatap ke sekeliling, seakan ingin merekam setiap detail ruangan yang menjadi latar kehidupan sehari-hariku. Ryan berjongkok di dekat sudut ruangan, membuka kantong makanan kering untuk kucing yang tadi dibawanya. Aroma makanan kucing segera mengisi udara, seketika anak-anak kucing itu mengerumuni mangkuk, saling berdesakan dengan semangat yang menggemaskan.
Aku tertawa lagi, kali ini lebih lepas, terpesona oleh bagaimana Ryan menyiapkan makan mereka dengan telaten, satu per satu memastikan tak ada yang terlewat.
“Kenapa kamu tidak merawat mereka di rumahmu, Ryan?” tanyaku, mencoba menghapus kecanggungan dengan sebuah pertanyaan.
Aku melangkah mendekatinya, aroma wangi makanan kucing itu terasa renyah. Ryan berhenti sejenak, tangannya menggantung di atas kepala kucing yang sedang sibuk mengunyah.
“Ibuku alergi terhadap bulu kucing. Meski begitu, aku tetap memberi mereka makan di luar pagar rumahku,” ucapnya, suaranya dipenuhi kehangatan yang sama.
“Kamu benar-benar perhatian sama mereka, ya?” kataku, suaraku berubah pelan, lebih lembut.
Tawaku yang tadi riang kini memudar, tergantikan oleh senyum kecil yang mungkin hanya terlihat seperti bayangan di sudut bibir. Ryan mengangkat wajahnya, menatapku langsung. Mata cokelatnya menyala lembut di bawah cahaya lampu.
Tatapan itu, tatapan yang membuatku merasa seolah waktu berhenti dan hanya ada kami berdua di ruangan itu. Kucing-kucing yang terus mengeong kini hanya menjadi latar, seolah mereka tahu saat itu bukan tentang mereka lagi.
“Aku bukan hanya perhatian pada mereka, tapi juga padamu,” katanya dengan nada serius yang membuat dadaku berdebar.
Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa nyata, masuk perlahan ke hatiku, mengendap bersama rasa hangat yang mulai menjalar. Aku mengalihkan pandanganku, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai merambat di pipiku.
Tanganku yang refleks mengaruk-garuk leher malah membuat Ryan tersenyum simpul. Aku melangkah menuju dapur, menahan diri agar tidak memeluk Teflon, seolah-olah ia bisa menetralkan perasaanku. Aku mencuri pandang lewat pantulan Teflon yang sedikit buram dan benar saja, wajahku merah seperti kepiting rebus. Aku mendesah dalam hati, apa ini yang disebut salting?
“Oh, iya … Apa kamu mau makan malam di sini, Ryan?” tanyaku dengan nada yang dibuat-buat santai, tapi sejujurnya gemetar.
Aku tersenyum menyiapkan panci dan bahan-bahan seadanya. Tanganku sibuk dengan bawang putih dan tomat, sementara pikiranku terus mengulang-ulang kalimat Ryan tadi, seakan terperangkap dalam lingkaran kecil yang manis.
Ryan berdiri, menyilangkan lengannya dengan gerakan lembut dan memasang senyum tipis.
“Sejujurnya, aku sangat ingin, tapi aku baru ingat kalau ibu meminta aku pulang lebih awal malam ini,” ujarnya, dengan nada yang terdengar tulus namun sedikit menyesal.
“Oh, begitu?” tanyaku, mencoba menutupi kekecewaan di balik senyumku.
Jantungku yang tadinya berdetak kencang kini mulai melambat, seperti seorang pelari yang kehabisan napas setelah mencapai garis akhir.
“Iya,” lanjutnya sambil mengusap lehernya seolah merasa bersalah. “Tapi terima kasih banyak sudah menawarkannya padaku. Lain kali, aku pasti tidak akan menolak.”
Aku tertawa kecil, berusaha menjaga suasana tetap ringan.
“Tidak masalah. Terima kasih karena tadi sudah mengajariku fisika dan juga untuk makanan kucingnya,” kataku, berusaha meyakinkan diri sendiri lebih dari meyakinkan Ryan.
Ryan tersenyum hangat, lalu melangkah ke arah pintu. “Sama-sama,” ucapnya pelan.
“Hati-hati saat pulang ke rumah.,” balasku, mengantarnya ke depan pintu, mengiringi kucing-kucing yang masih sibuk bermain.
Dia mengusap kepala si kucing belang coklat sekali lagi, lalu melangkah mundur ke arah pintu.
“Sampai jumpa, ya,” katanya sambil melambaikan tangan sebelum membuka pintu dan keluar, meninggalkan kehangatan yang membekas.
Pintu menutup perlahan, menyisakan aku dan ruangan yang tiba-tiba terasa lebih sunyi. Aku berdiri memandangi pintu itu beberapa detik, merasakan hampa kecil yang aneh.
Lalu, suara anak kucing yang mengeong pelan membawaku kembali ke kenyataan. Aku tersenyum pada mereka, lalu kembali ke dapur, berpikir bahwa mungkin perasaan ini adalah sebuah kenyataan yang menghangatkan tubuhku.
...»»——⍟——««...