Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kotak Foto
Kini Rain ada di rumah Bu Halidah. Ia duduk menunggu kehadiran wanita itu. Hingga beberapa saat kemudian wanita itu datang dengan segelas jus di tangannya.
"Minum dulu."
"Eh... Gak usah repot-repot, Bu," kata Rain tak enak.
"Minum aja. Sudah ibu buatkan." Bu Halidah tersenyum. "Jadi, kenapa nak Rain mau ketemu saya? Apa ada gangguan? Tidak nyaman? Nanti saya bisa urus itu, nak. Atau kalau perlu saya panggil ustad buat mengusir setan, kalau memang ada," cerocos bu Halidah.
Rain mengerjap. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Bukan, Bu. Saya gak bahas itu. Eh- sebenarnya itu juga, sih, Bu."
Bu Halidah menyela. "Kita bicarakan baik-baik. Jangan langsung ambil keputusan, nak Rain. Kontrakan sudah semurah itu, lho. Dimana lagi dapat kontrakan bagus tapi murah?" katanya.
Rain tersenyum masam sambil menggaruk kepalanya. Siapa juga yang mau pindah?
"Maksud saya bukan itu, Bu. Saya gak mau pindah. Saya suka, kok, sama kontrakannya."
"Lho? Terus?"
Rain mulai greget juga melihat paru baya itu. "Saya datang ke sini mau bahas sesuatu yang sangaaattt penting..." kata Rain panjang.
"Sepenting itu? Bahas apa?" tanya Bu Halidah penasaran.
Rain mendekat ke arah Bu Halidah. "Ibu tahu gak anak yang pernah tinggal di kontrakan ibu?"
Bu Halidah tampak mengingat.
"Yang kecelakaan."
Mata Bu Halidah melebar. "Lho? Nak Rain tahu dari mana?"
"Dari orang, Bu. Jadi ibu ingat?"
Bu Halidah mengangguk. "Kenapa nak Rain bertanya soal dia?"
"Itu dia, Bu. Ini sangat penting. Ibu tahu gak dimana keluarga korban? Atau ibu kenal keluarga korban?" tanya Rain hati-hati.
"Kalau itu saya kurang tahu, nak Rain," jawab Bu Halidah.
Dahi Rain berkerut samar. "Tapi... " Rain diam. Bagaimana mungkin wanita itu tak mengenal salah satu keluarga Ghio? Memangnya, dimana wanita itu saat kejadian? Maksud Rain, apakah wanita itu tak menjenguk atau semacamnya? Lalu, bagaimana ia mengurus masalah kontrakan Ghio?
Melihat raut wajah Rain, Bu Halidah kembali bicara. "Saya kenal satu perempuan. Saya rasa itu ibunya, karena wajah mereka mirip."
Mata Rain langsung berbinar. "Ibu kenal? Ibu tahu dia tinggal dimana?"
Bu Halidah menggeleng. "Ibu mana tahu. Ibu cuma lihat sekali. Itu pun saat beliau mengambil barang-barang penting dari kontrakan," kata Bu Halidah.
Bahu Rain melorot. Ia menghela napas.
"Kenapa kamu bertanya soal itu?" tanya Bu Halidah tiba-tiba. "Muka kamu kelihatan suram gitu. Kamu kenal sama dia? Maksud ibu pria itu," lanjutnya.
Rain menggaruk tengkuknya. "Eh... Dulu, dia teman saya, Bu."
"Tapi, kamu nampak lebih muda. Sekitar dua tahunan lah."
Rain menatap serius. "Kok, ibu tahu?"
Bu Halidah tertawa. "Tahu lah. Umur kamu pasti 20 atau 21-an, kan?"
"20, Bu."
"Nah itu. Cowok itu dulu ngontrak pas umur 21, ibu masih ingat. Mungkin sekarang umurnya sudah 22 tahun-an lah atau lebih, mungkin."
Rain mengangguk. "Kalau boleh tahu, dia tinggal di sana berapa lama, Bu?"
Bu Halidah tampak berpikir. "Hm... Hanya beberapa bulan. setelah itu dia kecelakaan. Sekarang, ibu gak tahu lagi dia dimana? Entah sudah berpulang atau bagaimana ibu kurang tahu. Tapi, menurut ibu, dia memang sudah meninggal, mengingat kontrakan ibu kata orang jadi seram gitu," ujar Bu Halidah.
Lalu Bu Halidah memandang Rain dengan mata menyipit. "Kamu memang betah tinggal di kontrakan ibu?"
Rain mengangguk.
"Kamu gak di.... Ganggu? Karena sudah beberapa orang yang keluar karena di ganggu."
Rain menggaruk kepalanya. Bagaimana mau diganggu, wong hantunya saja sudah jadi kawannya.
"Enggak diganggu?" tanya Bu Halidah lagi.
Rain menggeleng. "Enggak, Bu. Mungkin karena dulu kami teman," bohong Rain.
Bu Halidah mengangguk. Tak lama kemudian ia kembali bertanya. "Kalau kalian teman? Kenapa kamu tanya keluarganya ke ibu? Memangnya kamu gak tahu tentang keluarganya?"
Rain kembali menggaruk kepalanya. Entah lah, sepertinya dia sudah biasa.
"Ah... " Bagaimana Rain menjawabnya? "Saya kurang tahu, Bu. Dulu dia agak tertutup." Rain kembali berbohong.
Bu Halidah mengangguk. "Kamu benar. Dia emang agak tertutup. Kata orang di komplek begitu. Dia jarang kelihatan. Makanya ibu aja gak tahu banyak hal tentang dia."
Rain terkejut. Ia hanya mengada-ngada, tapi ternyata memang benar. Ghio pribadi yang tertutup? Rain tak melihat itu pada Ghio. Yang Rain tahu, Ghio itu super aktif. Bahkan kadang sangat ribut dan banyak berceloteh.
"Jadi, kamu gak pernah dapat kabar lagi dari dia?" tanya Bu Halidah.
Rain menggeleng. "Saya aja gak tahu kalau ternyata dia kecelakaan, Bu." Rain mengarang.
"Sedih sekali nasip mu. Maaf ibu tidak bisa membantu. Ibu aja gak tahu dia masih hidup atau gak," kata Bu Halidah dengan wajah prihatin.
"Kalau boleh tahu, ciri-ciri ibunya gimana, Bu?"
"Ciri-ciri?" Bu Halidah berpikir, berusaha mengingat wujud mama Ghio. "Aduh... Ibu lupa lagi. Tapi, beliau cantik."
Rain mendesah panjang. Kenapa sesulit ini? Hanya mendapat secuil informasi saja sesulit ini? Bagaimana Rain bisa menemukan keluarga Ghio?
"Ah... kalau gak, ibu tahu tempat kecelakaannya?" tanya Rain setelah mendapat ide. Kali ini, ia menatap Bu Halidah penuh harap. Tapi gelengan kepala dari wanita itu membuat Rain lemas seketika. Semangat Rain langsung hilang. Ia melipat bibirnya ke dalam.
Percuma saja ia menunggu Bu Halidah berhari-hari, tidak ada hasil sama sekali.
"Tapi... "
Rain menoleh cepat ke arah Bu Halidah.
"Sepertinya, ibu masih menyimpan sebagian barang-barangnya. Sepertinya ada juga foto."
Mata Rain melebar seketika. Semangat yang tadi hilang seakan datang kembali. Gadis itu menatap serius.
"Beneran, kan, Bu?" tanya Rain memastikan.
Bu Halidah mengangkat alis melihat keantusiasan Rain. Lalu, wanita itu mengangguk.
"Iya. Disimpan di gudang. Waktu itu, keluarganya hanya membawa barang-barang penting."
"Kalau gitu, bisa gak Bu saya lihat barang-barang itu sekarang?"
Bu Halidah tersenyum. "Kamu terlihat bersemangat." Lalu ia mengangguk. "Sepertinya, saya masih punya waktu. Ayo, kita cek sekarang."
Rain spontan menarik tangan Bu Halidah dan menciumnya. "Terima kasih banyak, Bu Halidah."
Bu Halidah terkejut. Tak lama kemudian, ia tertawa kecil. "Hitung-hitung saya bantu sedikit. Semoga kamu bisa menemukan keluarga teman kamu itu."
Rain tersenyum. "Amin," katanya.
Kedua perempuan berbeda usia itu berangkat ke komplek. Jarak rumah Bu Halidah dengan komplek kontrakan hanya sekitar beberapa ratus meter. Rain naik motornya, dan Bu Halidah naik mobilnya. Bu Halidah terlebih dulu menelpon pak Surya untuk membuka gudang.
Setelah sampai, Rain langsung menghampiri pak Surya. Begitu juga dengan Bu Halidah. Ternyata Gudang terletak di bagian paling ujung dekat gerbang. Rain baru tahu kalau itu gudang. Ia pikir selama ini tempat itu ditinggali seseorang.
"Mau cari apa di gudang, Bu?" tanya Pak Surya.
"Nak Rain mau cari barang-barang temannya. sudah di buka, pak Sur?"
"Sudah. Mari saya tunjukkan, nak Rain," kata Pak Surya.
Rain mengangguk, lalu mengikuti pak Surya dari belakang. Bu Halidah juga ikut. Rain pikir wanita itu enggan, ternyata kebalikannya. Rain bersyukur, wanita itu mau membantu. Dalam hati, ia mengucapkan banyak terima kasih kepada wanita itu.
Mereka masuk ke gudang. Rain menatap sekelilingnya. Gudang itu tidak terlalu kotor. Hanya ada sedikit debu.
"Sebelah sini, nak." Pak Surya menunjuk kanan. Terdapat banyak barang-barang disana. Mulai dari kasur, meja dan kursi, lemari, dan peralatan dapur yang masih lengkap disusun dalam kardus. Semuanya masih bagus.
"Ini barang-barang nak Ghio. Semuanya ditinggalkan. Cuma baju-baju, buku-buku, sama lukisan-lukisan yang dibawa dulu." kata Pak Surya. Dia langsung tahu tujuan Rain saat Bu Halidah memberitahu Rain mencari barang temannya. "Ya... Barang-barang yang penting lah. Seperti foto-foto, HP, dompet. Yang lainnya ditinggalkan."
"Foto juga dibawa, pak?" tanya Rain.
Pak Surya mengangguk.
Bu Halidah berjalan ke depan. "Dulu masih ada seingat saya, pak Sur. Dalam kotak kalau gak salah," kata Bu Halidah. "Coba di cari."
Pak Surya langsung mencari. Begitu juga dengan Rain dan Bu Halidah. Dan tak memerlukan waktu yang lama, kotak yang mereka cari langsung dapat. Berhubung tempatnya tidak terlalu berantakan. Bahkan terkesan rapi disusun.
"Ini kayaknya, Bu." kata Pak Surya.
Bu Halidah mengambilnya dan memberikannya kepada Rain.
Segera Rain membukanya. Matanya berbinar ketika menemukan beberapa foto di sana.
Foto pertama adalah sosok Ghio yang tersenyum ke kamera. Sangat tampan. Rain menatapnya sebentar, lalu ia beralih kepada foto-foto lain.
Kali ini, Ghio tidak sendirian. Ia bersama seorang wanita. Usianya terlihat jauh lebih tua dari Ghio dan wajahnya mirip Ghio.
"Nah. Ini dia." Bu Halidah berjongkok sambil menatap foto itu. "Ini ibunya saya rasa. Mereka mirip, kan?"
Rain mengangguk. Memang mirip. Wanita itu terlihat sangat cantik. Dan sepertinya mereka berasal dari keluarga berada. Pakaiannya terlihat mewah. Gayanya elegan. Jadi ini mama Ghio?
Rain tersenyum. pasti Ghio senang melihat foto ini.
Lalu Rain beralih ke foto-foto berikutnya. Kali ini dahi Rain berkerut. Ternyata masih banyak foto yang tersimpan di dalam.
Semua foto itu terlihat estetik. Banyak sekali foto pemandangan alam, jalanan, keramaian, bahkan beberapa foto hewan sampai serangga. Apa Ghio suka fotografi?
Tangan Rain tiba-tiba berhenti pada satu foto. Rain menatap foto itu lamat-lamat. Foto itu menampilkan motor besar. Yang menjadi perhatian Rain bukan motornya, tapi latar belakangnya. Ini potret motor sehingga latar belakangnya rabun. Tapi, Rain mengenal tempatnya itu. Rain familiar dengan tempatnya. Ini adalah gedung seni Rupa kampus Rain. Rain tidak salah lihat. Itu persis gedung seni rupa di kampusnya, tempat Rain mengikuti kelas setiap hari.
Apakah Ghio juga kuliah disana? Rain ingat, lukisan Ghio terpajang di kontrakannya, begitu juga dengan patung-patung lain. Lantas, kenapa Rain tak pernah melihat Ghio sebelumnya? Rain hampir hapal semua wajah kating seni rupa. Tapi, ia tidak pernah melihat Ghio. Padahal, seperti kata Bu Halidah, mungkin Ghio dua tingkat berada di atasnya.
Nada dering ponsel mengalihkan atensi mereka.
Rain menoleh cepat ke arah Bu Halidah yang sedang mengangkat panggilan dari seseorang. Wanita itu meninggalkan mereka.
"Sebentar, ya." katanya.
Rain kembali ke kegiatan awalnya.
"Ini temannya, ya, nak?" tanya Pak Surya. Pria tua itu menunjukkan foto ke arah Rain.
Foto itu menunjukkan Ghio yang merangkul bahu seorang pria.
"Temannya mungkin, pak."
Rain meletakkan foto di tangannya. Ia beralih menatap foto itu. Mungkin saja memang teman Ghio.
"Ini masih banyak yang sama, nak." pak Surya kembali menunjukkan beberapa foto.
Rain menerimanya. Bukan foto yang sama. Tapi, orang yang sama dalam foto itu. Dari sana, Rain bisa menyimpulkan kalau pria di samping Ghio ini adalah teman dekat Ghio.
"Aduh... Sepertinya saya harus pergi sekarang, nak Rain. Saya masih ada acara." Bu Halidah datang tiba-tiba.
Rain mengangguk. "Oh.. iya Bu. Makasih bantuannya, ya Bu."
"Sama-sama. Oh, ya. Foto-fotonya di bawa saja. Siapa tahu penting. Ibu ada urusan. Saya butuh bantuan Pak Surya. Jadi, gudang mau ditutup aja."
Rain mengangguk. Lalu ia menyusun semua foto ke dalam kotak. Ia menutupnya, dan memeluknya erat. "Kalau gitu saya bawa aja, Bu Halidah."
Rain tersenyum. Ia akan kembali membukanya di kontrakan. Sepertinya, Rain menemukan orang yang bisa dia tanya.