Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemandangan di Kamar Mandi
Ruby berdiri dari duduknya. Dia memegangi kepala yang terasa sakit karena terus menangis sejak tadi.
Ruby berjalan ke kamar mandi, lalu mendorong pintu kaca kamar mandi itu. Dia tidak melihat adanya Dominic yang sedang berendam di dalam bathtub. Ruby membersihkan wajahnya, sedangkan Dominic terus memandanginya dengan wajah datar.
Merasa Ruby terlalu lama berada di depan wastafel dan terus bercermin, Dominic meraih tutup botol wine dan melemparkannya ke bawah kaki Ruby.
Ruby sedikit terkejut melihat tutup botol wine di bawah kakinya, lalu dia menoleh ke samping dan menemukan Dominic sedang berendam di dalam bathtub.
Ruby langsung membeku di tempatnya berdiri. Pemandangan di hadapannya membuat otaknya berhenti bekerja. Dominic, dengan rambut basah yang terurai acak, tengah bersandar santai di bathtub yang penuh dengan busa, airnya memantulkan cahaya lampu. Uap tipis melayang di udara, menambah kesan dramatis yang membuat Ruby semakin kaku.
"Wanita aneh." Dominic menatapnya dengan mata menyipit, dia sengaja memasang ekspresi menggoda. Senyum nakalnya langsung terlukis di wajah. "Kau sedang apa di situ? Menikmati pemandangan tubuhku?" tanyanya santai dengan nada yang membuat Ruby ingin menghilang ke dalam lantai saat ini juga.
"Eh… aku…" Ruby tergagap. Wajahnya memanas, memerah seperti tomat matang. Kakinya seolah tertanam di lantai, dan otaknya mati-matian mencari kata-kata yang tepat, tetapi gagal total.
Dominic terkekeh pelan, senyumnya semakin lebar. Dia bersandar lebih santai, membuat air di bathtub sedikit bergelombang. "Untuk apa kau hanya berdiri di sana? Kenapa tidak sekalian bergabung denganku di sini? Airnya hangat, kau pasti suka."
Ruby membeku lebih parah. Dia tidak yakin mana yang lebih memalukan–melihat Dominic di situ atau mendengar tawarannya yang begitu santai namun menggoda.
"A-apa?" tanya Ruby dengan wajah yang syok. "Kau sudah gila? Sejak kapan kau akan menawarkan hal seperti ini?"
"Sekarang aku mulai menawarkannya. Kau kan sengaja masuk ke dalam kamar mandi saat aku sedang berada di sini," jawab Dominic, sembari mengeluarkan sebatang rokok dan membakar ujungnya dengan santai.
"Aku tidak tahu kau ada di sini. Aku pikir tidak ada orang di dalam kamar mandi, dan aku juga mengira kau sudah kembali ke ruangan penuh buku itu," ungkap Ruby, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Dominic manggut-manggut. "Baiklah, karena kau sudah ada di sini, lebih baik kau ikut berendam saja. Kau kan selalu mengatakan kepada Robin bahwa kau akan menjadi istriku yang baik. Jadi, sekarang buktikan lah, Ruby."
"A-aku… aku harus pergi! Aku ada urusan lain." Ruby akhirnya berhasil mengeluarkan suara, meski terdengar nyaris seperti bisikan. Dengan gerakan cepat, dia memutar tubuhnya dan menutup pintu dengan keras, napasnya tersengal di baliknya.
Namun, sebelum benar-benar pergi, suara Dominic terdengar lagi, kali ini lebih rendah dan mengandung sedikit tawa. "Aku serius, Ruby. Kapan pun kau siap, pintunya terbuka untukmu."
Ruby hanya bisa memegangi wajahnya yang terasa panas, menyadari kalau tawa jahil Dominic akan menghantui pikirannya untuk waktu yang lama. Dominic sendiri juga merasa heran mengapa dia begitu ingin menjahili Ruby saat ini.
"Aku malu sekali," gumam Ruby, lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi itu.
Setelah Ruby melangkah keluar dari kamar mandi, Dominic kembali tersenyum. "Lucu juga mengerjai wanita aneh sepertinya."
Detik berikutnya, Dominic mengusap kasar wajahnya. "Apa yang baru saja aku lakukan? CK, seharusnya aku tidak seperti tadi. Bagaimana jika wanita aneh itu terbawa perasaan? Akan repot sekali jika dia sampai jatuh cinta padaku."
Kini Dominic merasa menyesal telah menggoda Ruby seperti tadi. Dia tidak ingin ada perasaan yang timbul dari Ruby dan akan merepotkan mereka berdua di masa depan nanti. Tekad Dominic sudah bulat, dia ingin bercerai dengan Ruby, supaya wanita itu bisa mendapatkan pria yang mencintainya.
Dominic menghela nafas berat, matanya menatap ke pintu kaca yang tidak tertutup rapat, hatinya diliputi rasa bingung yang melanda. Tangan kanannya gemetar sedikit saat dia meraih sebotol wine yang dia letakkan di lantai. Tanpa pikir panjang, dia menenggak isi botol itu dengan cepat, mencoba menenangkan ombak frustasi yang baru saja menghantam pikirannya.
Kedua alis pria itu berkerut dan raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Dengan napas yang terengah-engah, dia berkata lirih, "Bagaimana ini? Dalam lubuk hatiku ada rasa yang enggan untuk melepasnya." Mata Dominic berkaca-kaca, menahan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. "Dia baik, aku tahu dia sangat baik. Dia wanita yang tulus, dia pasti tidak akan mengkhianati ku, tapi..............." Dominic mendesah kasar, bingung melanjutkan kata-katanya lagi.
...****************...