Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14 (Cahaya di Tengah Keheningan)
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 12 malam. Keheningan itu begitu mencekam, hanya terdengar detak jarum jam yang berjalan perlahan. Di dalam kamar, Sasa terbaring di atas kasur, matanya terbuka lebar. Tidur tampaknya menjauh darinya malam itu, meski tubuhnya lelah. Pemikirannya berputar-putar, berusaha menenangkan diri.
Ia menghela napas panjang, merasa seakan setiap detik semakin menyesakkan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bangun. Perlahan, Sasa keluar dari kamar, melangkah hati-hati, tak ingin mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap.
Pintu kamar tertutup dengan suara pelan. Langkahnya melintas di lorong vila yang gelap. Hanya cahaya redup dari lampu malam yang menyorot di ujung ruangan. Sasa melanjutkan perjalanan menuju dapur, merasakan sejuknya udara malam yang membelai wajahnya. Saat tiba di dapur, ia membuka lemari pendingin, mengambil sebuah gelas kaca yang bersih, lalu menatap sekilas ke luar jendela yang terbuka.
Suara-suara malam, seperti desiran angin atau gemericik air dari taman, terasa begitu jauh dan tenang. Tak ada suara berisik, hanya kesunyian yang menyelimuti seluruh vila.
Sasa menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengangkatnya dan meneguk perlahan. Rasanya sejuk, menyegarkan tenggorokan yang kering. Setelah meminum air, ia berdiri sejenak di depan jendela dapur, mengamati keheningan malam yang tak terganggu. Hanya ada pendaran cahaya rembulan yang jatuh di halaman, memberikan kesan damai yang kontras dengan pikirannya yang bimbang.
"Kenapa ya, gue nggak bisa tidur?" Sasa bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suasana di luar jendela begitu sunyi, seolah mengingatkan dirinya bahwa malam ini, semua orang sedang menikmati ketenangan mereka masing-masing. Sementara dia, masih terperangkap dalam kesunyian yang membawa banyak perasaan tak terucapkan.
Ia kembali menatap gelas di tangannya. Tangan itu sedikit gemetar, bukan karena kedinginan, tetapi karena rasa bingung yang tak bisa ia jelaskan. Kenapa setiap malam, ia selalu merasa sepi, meski dikelilingi teman-temannya? Kenapa hatinya merasa berat? Kenapa setiap hal kecil menjadi begitu berarti dalam keheningan seperti ini?
“Ah, Sasa, jangan terlalu dipikirkan,” ia berusaha menenangkan dirinya. Tetapi pikirannya kembali berputar ke percakapan yang terjadi tadi malam bersama Algar. Senyuman hangatnya, sikap perhatian yang seakan tanpa pamrih, membuat Sasa merasa bingung. Apakah dia merasa lebih dari sekadar teman?
Sasa menatap gelas yang kini mulai kosong. Ia tahu jawabannya, tapi entah kenapa ia memilih untuk mengabaikannya.
Malam semakin larut. Perlahan, Sasa melangkah mundur dari jendela, lalu menatap kembali sekeliling dapur yang kini terasa sangat sepi. Dapur yang sebelumnya penuh suara gelak tawa teman-temannya kini hanya menyisakan suara-suara hampa.
Tanpa sadar, ia mengeluh pelan, “Kenapa ya, semuanya terasa berbeda malam ini?”
Sasa meletakkan gelasnya kembali di atas meja dapur, berbalik untuk meninggalkan ruangan. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara pintu ruang tamu terbuka pelan. Langkah seseorang terdengar perlahan. Sasa menoleh, dan di sana, di ujung lorong, tampak sosok yang sudah dikenalnya. Algar.
Algar menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Nggak bisa tidur juga?" tanyanya dengan nada santai, meski matanya sedikit terlihat mengantuk.
Sasa terdiam, sejenak merasa canggung, namun tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di wajahnya. "Iya," jawabnya singkat. "Lo juga?"
Algar mengangguk pelan, melangkah mendekat, dan berhenti di sebelah Sasa. "Cuma jalan-jalan bentar. Nggak tahu kenapa, gue juga nggak bisa tidur."
Keheningan sesaat, hanya suara langkah kaki yang menggema di lorong, dan udara malam yang tetap sejuk di sekitar mereka.
“Dulu, gue selalu mikir, kenapa orang bisa terjaga di malam hari. Tapi sekarang, gue ngerti. Kadang kita cuma butuh waktu untuk berpikir, ya kan?” ujar Algar, mata tertuju ke langit yang terlihat dari balik jendela.
Sasa mengangguk pelan, teringat akan perbincangannya beberapa saat lalu yang masih mengganggu. "Iya, mungkin... kita memang butuh waktu untuk merenung. Kadang hidup memang kayak gitu."
Algar tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Sasa. "Kalau lo butuh teman untuk merenung, gue ada di sini."
Sasa menatap Algar, sedikit terkejut. "Makasih, Al."
Malam semakin larut, namun entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Tidak lagi sepi dan gelap, tetapi lebih seperti kesempatan untuk membuka hati dan berbicara. Keheningan yang semula terasa begitu menekan kini sedikit berkurang. Sasa dan Algar berdiri di dapur, saling terdiam, menikmati ketenangan yang aneh namun nyaman. Meski di antara mereka tidak ada percakapan lebih lanjut, ada sesuatu yang tersirat di antara mereka, semacam keterhubungan yang tak terucapkan.
Sasa akhirnya merasa sedikit gelisah. Ia menatap gelas-gelas yang belum dicuci di atas meja dapur. Piring-piring yang masih tertinggal dari makan malam tadi terlihat mencolok dalam keheningan itu, seolah menunggu untuk segera diselesaikan. Ia menghela napas, dan perlahan bangkit dari tempat duduknya.
Algar yang berdiri agak jauh dari meja memandang Sasa dengan sedikit keheranan. "Lo mau kemana?" tanyanya, masih dengan nada santai, meskipun suaranya terkesan lebih lembut dari biasanya.
Sasa sedikit tersenyum, menatap piring-piring kotor di atas meja. "Mau cuci piring. Tadi belum sempat," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang mulai terasa.
Algar mengangguk, lalu melangkah sedikit lebih dekat. "Mau gue bantu?" tawarnya, melihat Sasa yang mulai bergerak menuju wastafel.
Sasa menoleh, terkejut dengan tawaran tersebut. “Hah? Ya, kalau lo mau, sih. Tapi jangan ganggu, ya. Bisa-bisa malah jadi lebih lama,” jawabnya sambil tertawa pelan, mencoba mengurangi kesan kaku yang mulai muncul di antara mereka.
Namun, Algar justru tersenyum lebih lebar. “Nggak masalah, gue suka cuci piring kok,” jawabnya, meraih sabun cuci piring di meja dan membuka keran. Suara air yang mengalir pelan menambah kesan hangat di malam yang sunyi ini.
Mereka pun mulai mencuci piring bersama, bekerja dalam diam yang kini terasa lebih ringan. Sasa mengangkat piring besar, dan Algar mengambil piring lainnya, lalu menyalakan air untuk membersihkannya. Setiap gerakan mereka terasa natural, seperti dua orang yang sudah lama mengenal satu sama lain.Ya walau sebenarnya emang sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, tapi entah mengapa akhir-akhir ini seperti sedikit berbeda kayak sudah langsung gitu.
Algar yang sedang menggosok piring sambil tersenyum berkata, "Lo tahu nggak, Sasa, gue sebenarnya nggak suka cuci piring. Tapi entah kenapa, malam ini, gue nggak merasa keberatan."
Sasa yang tengah menyekap piring di atas lap mengangkat wajahnya, tatapannya sedikit terkejut namun lembut. "Oh ya? Kenapa?" tanyanya, meski bisa menebak apa jawabannya. Namun, ia tetap merasa penasaran.
"Karena ada lo di sini," jawab Algar pelan, hampir terdengar seperti bisikan. “Kadang, hal-hal kecil terasa menyenangkan kalau dikerjain bareng orang yang bikin lo nyaman.”
Sasa terdiam sejenak, tangannya terhenti di tengah gerakan mencuci piring. Kata-kata itu tiba-tiba terasa lebih dalam daripada yang ia duga. Ia menatap Algar yang kini menunduk, sibuk dengan piring yang ia pegang. Mata Sasa terfokus pada tangan Algar yang begitu cekatan dan lembut saat membersihkan piring, seolah tangan itu sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini dalam keheningan.
“Gue nggak tahu kenapa, Al," kata Sasa pelan. “Tapi malam ini gue merasa semuanya terasa beda. Kayak kita berdua cuma ada di sini, tanpa gangguan apapun.”
Algar menoleh sejenak, melihat Sasa dengan tatapan yang lebih serius. “Kadang kita cuma butuh seseorang untuk berbagi keheningan, kan?” ujar Algar, suaranya sedikit lebih rendah, hampir seperti rahasia. “Nggak harus selalu ngobrol atau berbuat sesuatu yang besar. Cuma ada di sini, berdua, dalam keheningan yang sama.”
Sasa tersenyum tipis, ia merasa kata-kata itu mengena. Mereka kembali melanjutkan cuci piring dengan lebih ringan, namun perasaan di antara mereka berubah sedikit. Ada sesuatu yang lebih hangat, lebih dekat, meski mereka tak mengucapkannya secara langsung.
Algar kemudian meletakkan piring yang baru saja dicucinya ke rak pengering, matanya bertemu dengan mata Sasa yang sedang membersihkan gelas. “Sasa,” panggilnya, suara suaranya mengandung kehangatan yang lebih terasa.
Sasa menoleh, masih dengan senyum lembut. "Ya?"
“Kalau lo lagi butuh teman ngobrol... atau cuma diem aja bareng, gue selalu ada, ya?" tanya Algar, dengan nada yang lebih serius, namun tetap terkesan santai.
Sasa terdiam sejenak, hatinya sedikit berdebar. Kata-kata itu terasa begitu tulus, dan entah kenapa, ia merasa nyaman dengan kehadiran Algar yang begitu perhatian. "Makasih, Al. Gue tahu itu," jawabnya pelan, matanya menatap Algar lebih lama dari biasanya.
Tiba-tiba, suasana di sekitar mereka terasa lebih hangat. Sasa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan dalam diri Algar, sesuatu yang lebih dalam dan lebih manis. Keheningan yang sebelumnya terasa canggung kini menjadi tempat bagi mereka berdua untuk berbagi, tanpa kata-kata berlebihan, namun dengan makna yang lebih dalam.
Saat mereka selesai mencuci piring, Sasa mengangguk pelan. “Terima kasih udah bantu. Malam ini... gue selalu senang kalau ngobrol sama lo, Al.”
Algar tersenyum, dan untuk sesaat, tatapan mereka bertemu tanpa kata-kata. Keheningan malam terasa lebih hidup, dan di antara keduanya, ada sesuatu yang baru tumbuh. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan, tapi masih sulit untuk mereka sebutkan dengan jelas. Namun, keduanya tahu, malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
“Gue juga senang, Sasa,” jawab Algar, suaranya lembut namun penuh arti.
Dan di antara piring-piring yang sudah bersih dan senyap nya malam, keduanya menyadari bahwa, meskipun tak ada kata-kata yang terlalu besar, sesuatu yang lebih penting telah tumbuh di antara mereka.