Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Kedatangan Adrian
Pagi itu, matahari baru saja menyembul dari balik awan. Sinar keemasan menelusup dari jendela dapur, menyinari wajah Kania yang sedang sibuk memasak.
Aroma rempah yang sedang ditumis perlahan memenuhi ruangan, menghadirkan kehangatan yang tenang.
Langkah kaki terdengar dari pintu belakang.
Bi Inah datang dengan senyuman tipis di wajahnya, meski terlihat jelas ada sesuatu yang sedang membebani pikirannya.
“Selamat pagi, Non,” sapa Bi Inah pelan sambil melepas sandalnya.
Kania menoleh lalu tersenyum. “Pagi, Bi. Tumben telat? Ada masalah di rumah?”
Bi Inah mendekat, tanpa banyak bicara mengambil pisau dari meja, dan mulai mengiris wortel di sebelah Kania. Ia tahu Kania sedang menyiapkan sup, masakan kesukaan Enzio, seperti yang diceritakannya semalam.
Namun, ekspresi Bi Inah terlihat sedikit lelah.
“Suami bibi sakit, Non. Demam,” ucap Bi Inah akhirnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
Kania menghentikan kegiatannya sejenak, menatap Bi Inah dengan cemas. “Kalau sakit, kenapa bibi tetap datang? Sudah dibawa berobat?”
Bi Inah mengangguk kecil, sambil tetap fokus pada irisan wortel di tangannya.
“Sudah, Non. Hanya demam biasa. Lagipula… bibi tidak ingin melewatkan waktu dengan Non dan Den Zio. Rasanya seperti bersama anak dan cucu sendiri.” Senyumnya samar, tapi ada kehangatan di sana.
Kania terdiam sejenak, merasakan ketulusan dari kalimat Bi Inah. Ia tahu betapa beratnya kehilangan yang pernah dialami Bi Inah sejak putrinya meninggal. Rumah ini, dengan segala hiruk-pikuk dan keceriaan Enzio, seakan memberi Bi Inah tempat untuk meredakan rindunya.
“Kapan-kapan, boleh kan, Non, bibi bawa Den Zio ke rumah? Bapak kangen… sudah lama tidak bertemu dia,” lirih Bi Inah, sedikit ragu, takut permintaannya akan membuat Kania tidak nyaman.
“Tentu saja boleh, Bi," jawab Kania sambil mengusap pundak Bi Inah dengan lembut. “Kalau Zio mau, menginap juga boleh.”
Saat itu, suara kecil dari arah pintu dapur terdengar riang.
“Zio mau, Ma!” Enzio berseru penuh antusiasme, membuat kedua wanita itu tertawa kecil. Dia baru saja selesai mandi, seragam sekolahnya sudah rapi, meski dasinya agak miring.
“Zio lapar, Ma. Supnya udah matang?” tanya Enzio dengan nada manja sambil mendekati ibunya.
Kania tersenyum dan berlutut untuk menyamakan pandangan dengan putranya.
“Sebentar lagi, sayang. Kamu tunggu di meja, ya?” Ia menunjuk meja makan, dan Enzio menurut, meski wajahnya menunjukkan sedikit keengganan.
Tak lama, setelah merasa bosan menunggu, Enzio memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman rumah. Kania hanya tersenyum melihat keaktifannya yang tak pernah padam, meski masih pagi.
Di halaman, mata Enzio terpaku pada sebuah mobil hitam mewah yang berhenti tepat di depan gerbang. Ia menyipitkan matanya, mencoba mengenali siapa yang datang pagi-pagi begini.
Pintu mobil terbuka, dan seorang pria tampan keluar dengan setelan kerja yang rapi. Pria itu tersenyum lebar saat melihat Enzio.
“Selamat pagi, anak pa–eh, maksudnya, Zio,” sapa Adrian dengan nada canggung, namun wajahnya menunjukkan kehangatan yang tulus.
Enzio menatap pria itu, sedikit bingung, lalu senyumnya mengembang. “Om tampan?”
Adrian tertawa kecil, lalu menunduk dan merentangkan tangannya. “Kemarilah. Om bawa makanan kesukaan Zio.”
Tak butuh waktu lama, Enzio berlari kecil dan memeluk Adrian dengan erat, seolah menemukan kembali sosok yang telah lama hilang.
Adrian menggendongnya, memutarnya di udara, membuat tawa mereka berdua terdengar memenuhi halaman.
“Zio kangen Om, tidak?” tanya Adrian.
Enzio mengangguk cepat, matanya berbinar penuh kepolosan. “Kangen dong. Om ternyata baik. Zio cuma heran, kenapa Mama sering menangis, ya? Apa Om pernah nyakitin Mama?”
Deg.
Pertanyaan itu menghantam Adrian tepat di dadanya, membuat senyum di wajahnya seketika meredup. Tenggorokannya tercekat, tak tahu harus menjawab apa.
Tatapan Enzio yang polos terasa seperti cermin yang memantulkan semua kenangan pahitnya bersama Kania. Rasa sesal yang selama ini disimpannya, tiba-tiba menguap ke permukaan.
Sejenak ia terdiam, hanya menatap mata anak itu, sebelum akhirnya ia menarik napas panjang dan menguatkan dirinya.
“Om… mungkin pernah membuat mama sedih, Zio. Tapi Om janji, sekarang paman akan selalu berusaha membuat Zio dan mama bahagia.”
Enzio memiringkan kepalanya, tampak berpikir, lalu tersenyum lebar. “Om nggak perlu janji, yang penting Om baik sama mama dan Zio.”
Ucapan polos itu membuat Adrian merasakan haru yang menggelayuti hatinya. Di dalam dada, muncul rasa yang hangat dan menenangkan, meski bayangan masa lalu masih membayangi pikirannya.
Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tersenyum.
“Zio memang anak yang pintar,” ucap Adrian pelan, seraya mengusap lembut rambut anak itu.
Dari jauh, Kania melihat pemandangan itu dari balik jendela dapur. Hatinya bergetar melihat kedekatan mereka, tapi ada perasaan lain yang sulit dijelaskan. Bagian dari dirinya rindu, namun juga takut. Takut membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Tetapi melihat senyum di wajah putranya, ada secercah harapan yang menyusup di relung hatinya. Mungkin, hanya mungkin, kisah mereka belum benar-benar usai.
“Mas, untuk apa kamu datang kemari?” tanya Kania, sontak membuat Adrian menoleh dengan wajah pucat.
“Kania…”