NovelToon NovelToon
Suatu Hari Di Tahun 2018

Suatu Hari Di Tahun 2018

Status: tamat
Genre:Action / Romantis / Fantasi / Tamat / Cintapertama / Cintamanis / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:756
Nilai: 5
Nama Author: Gregorius Tono Handoyo

Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,

ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2018

Barangkali banyak hal di dunia ini yang memang selayaknya jadi misteri saja. Ada baiknya beberapa misteri tak perlu dipecahkan. Hari ini aku tahu, seharusnya kita tidak pernah bertemu lagi. Seharusnya kita tidak bicara perihal ini lagi. Sebab, sudah lama aku berusaha menguburnya. Sekian lama juga aku berusaha menjauh. Menghindari semua yang mungkin saja bisa membuatku kembali mengingatmu. Dan setelah sekian lama, ternyata waktu bisa mempermudah segalanya. Tidak ada lagi keinginan dan harapan yang dulu kujaga.

Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,

ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.

Itulah yang membuatmu akhirnya terdampar di kota ini. Dua tahun lalu, aku berusaha lari ke sini. Menjauh darimu, menjauhi semua keinginanku untuk memintamu lagi. Sungguh, Alisa. Hari itu aku benar- benar tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin membawa diriku sejauh mungkin. Aku meninggalkan impianku. Aku mengembara seperti orang tak tahu arah. Hanya satu hal yang aku inginkan waktu itu Alisa, aku ingin punya hidup yang baru. Lepas dari hidup orang yang tidak pernah menginginkanku. Orang itu kau, Alisa.

Dua jam sudah kita berdiri di tempat ini. Sejak beberapa hari lalu kau menghubungiku. Katanya, kau butuh bantuanku. Awalnya aku keberatan, Alisa. Bukan karena aku tidak ingin membantumu. Aku hanya berusaha sebisanya tidak ingin bertemu kau lagi. Sama seperti dua tahun lalu. Saat aku memilih pergi dari kotamu. Apa yang kau lakukan rasanya sudah membuat hancur hatiku. Tetapi sungguh, aku tidak berniat membencimu. Aku hanya ingin belajar mencintai diriku sendiri.

Seperti kata sahabatku waktu itu. "Jika orang yang kau cintai mengabaikanmu, bahkan mempermainkan perasaanmu. Sungguh, dia tidak layak untuk kau sedihkan. Dia tidak layak menghancurkan hatimu. Sebab, dirimu jauh lebih berarti." Itulah Alisa, awal mula aku mencoba memahami diriku. Aku memang harus melepaskanmu. Tidak tanggung-tanggung, Alisa. Aku merantau tanpa modal apa pun. Selain modal patah hati yang kubawa.

Betapa pun pahit hidup di rantau ini aku tanggung, Alisa. Aku hanya ingin lepas dari keinginanku untuk mencintaimu. Aku ingin mencintai diriku sendiri. Dua tahun sudah semuanya kubangun. Aku mencoba menata lagi hidupku. Mencoba lagi merakit hatiku yang sudah berantakan oleh sikapmu. Namun, kini kau memintaku bertemu. Ini berat bagiku. Namun, aku tidak ingin membencimu. Apalagi sampai menaruh dendam kepadamu. Tidak Alisa. Aku tidak begitu. Biar kau sajalah yang pernah mematahkan hatiku. Aku tidak ingin melakukan kejahatan yang sama.

Meski berat, aku tidak pernah tega kepadamu, Alisa. Jauh berbeda dengan apa yang kau lakukan dua tahun lalu kepadaku. Aku akhirnya menemuimu di tempat ini. Aku sengaja mengajakmu bertemu saat sore. Sebab, aku tidak suka suasana pagi dan malam hari bersamamu. Dua tahun lalu, hampir setiap pagi aku memikirkanmu. Juga kau saja yang ada di kepalaku saat aku ingin tidur. Itulah alasan kenapa aku menemuimu sore hari.

"Kamu apa kabar, Van?"

"Baik." Aku berusaha tersenyum.

"Ternyata kau masih seperti Irvan yang kukenal dulu. Pendiam." Kau ikut tersenyum.

Aku hanya berusaha membalas seadanya. Irvan yang kukenal dulu. Kalimat itu terasa mengingatkan sesuatu, Alisa. Namun, aku berusaha menepisnya. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan aku masih Irvan seperti yang dulu. Sementara waktu dua tahun, sudah membuatku jauh. Sudah membawaku ke kota ini. Tempat yang begitu jauh dari kotamu.

"Apa yang bisa kubantu?" tanyaku. Aku ingin segera mengakhiri pertemuan kita.

Kau seolah mengerti gelagatku. Kau menyebutkan tujuanmu. Kau butuh bantuan untuk diantarkan ke sebuah sekolah terpencil. Berada di ujung kota ini. Daerah paling pinggir. Kau ingin mengajar bahasa Indonesia di sana. Hal yang dulu kukagumi darimu. Aku juga suka berhadapan dengan anak kecil. Namun itu dulu, dua tahun lalu.

Beberapa saat kemudian kita berangkat. Aku mengantarmu pulang ke penginapanmu. Besoknya aku berjanji untuk menemanimu ke sekolah itu. Dan, aku pikir itu adalah saat terakhir aku akan bertemu denganmu. Aku sungguh tidak ingin lagi bertemu

denganmu. Dua tahun sudah melarikan diri ke kota ini membuatku mulai terbiasa tanpamu. Dan, aku tidak ingin lagi merasakan kebiasaanku dua tahun lalu. Lelaki yang berharap kau mau mencintaiku. Aku takut, merasakan lagi betapa sakitnya cinta yang tak kau balas.

Aku pikir dengan kau mengajar di daerah pinggiran kota. Kita tidak akan bertemu lagi. Namun, aku salah, kau memilih tinggal dekat dengan tempat tinggalku. Kau memilih bolak balik ke daerah mengajarmu. Katamu, di sana susah akses internet. Kau butuh materi ajar yang baru, agar murid-muridmu menjadi lebih pintar. Kau memang sangat mencintai pekerjaanmu. Setidaknya, itu masih sama seperti kau yang dulu. Perempuan yang begitu mencintai apa pun yang ia lakukan.

Dan, kita pun mulai sering bertemu. Kau datang sesekali ke tempat kerjaku. Di akhir pekan saat kau tidak mengajar, kau memilih membaca buku di kafe kecil milikku. Sejak dua tahun lalu, aku merintis usaha ini. Membuat kafe baca untuk orang-orang di kota ini. Tidak terlalu besar. Namun, berkat bantuan teman-teman yang kukenal di kota ini. Mereka memberikan buku koleksi mereka secara suka rela. Jadilah kafe ini dengan koleksi buku yang hampir lengkap. Selain makanan dan minumannya memang dijual dengan harga bersahabat.

Dua tahun sudah aku menghabiskan waktu di sini, Alisa. Aku berusaha menenangkan hatiku. Aku tahu kau suka buku dan mencintai bahasa Indonesia. Itulah sebabnya aku memilih membangun kafe ini. Dengan melihat orang membaca dan menikmati waktu dengan buku. Setidaknya, aku merasa masih ada harapan untukku bertahan. Meski aku tidak pernah lagi berharap kau mencintaiku, Alisa. Seperti apa yang aku harapkan dua tahun lalu.

Namun, waktu menghadirkan hal lain di antara

kita. Kebersamaan yang akhir-akhir ini menyelimuti kita. Menjadi sesuatu yang membuatku merasa kau mulai berbeda. Kau tidak seperti dulu. Perempuan yang mengabaikan aku. Lelaki yang bahkan bersikeras memohon untuk kau cintai.

Malam ini selepas kafe mau tutup. Kau masih saja betah di sini. Aku tidak berani mengusirmu. Kau tamuku di sini. Sama seperti yang lainnya. Tidak mungkin aku mengusir tamu yang datang ke kafeku. Kau masih duduk di pojok kafe dengan buku yang berada di tangan dan meja. Akhirnya aku segera menghampirimu. Dari tadi aku mencari kata yang tepat untuk mengatakan kepadamu. Aku ingin menutup kafe ini. Kau harus segera pergi.

"Maaf, Alisa. Kafe ini ingin aku tutup. Kamu bisa datang lagi besok."

Kau menatapku sejenak. Lalu meletakkan buku yang ada di tanganmu ke atas meja.

"Terima kasih," ucapku, mengambil buku yang kau serahkan.

Tapi kau tidak langsung pergi. Setelah kau membayar minuman dan makananmu. Kau menatapku, lalu mengatakan sesuatu.

"Boleh kita bicara sebentar?"

Aku ingin menolak tetapi aku tidak melakukannya. Aku memberi isyarat kepadamu untuk menunggu sebentar. Aku mengembalikan buku-buku yang kau baca ke rak buku.

Kau terlihat mengatur napasmu. Beberapa saat kemudian kau mulai mengutarakan apa yang ingin kau katakan.

"Irvan. Kau masih ingat kejadian dua tahun lalu?"

"Masih," jawabku.

"Apa kau pergi ke kota ini untuk menghindariku?"

Aku tidak tahu apa maksudmu. Namun, sejujurnya aku tidak lagi ingin membahas semua ini. Kau menghadirkan perasaan-perasaan yang dua tahun ini kutimbun dengan segala kesibukanku.

"Bukankah kau yang menghindariku? Aku balik bertanya.

"Kau jawab saja pertanyaanku. Kenapa tiba-tiba kau menghilang? Dan kau pergi ke kota ini? Tidak usah mengajukan pertanyaan balik."

Kau masih saja egois, Alisa. Dua tahun ternyata tidak membuat sifat egoismu banyak berubah.

"Iya. Aku menghindarimu."

Kau tersenyum. Mengatur kembali napasmu. Aku juga melakukan hal yang sama. Malam itu terasa seperti suasana dua tahun lalu. Saat aku begitu menginginkanmu.

"Apa dulu kau begitu mencintaiku?" tanyamu.

"Menurutmu?" Harusnya kau tidak bertanya.

"Jawab saja!" Kau memang suka seenaknya, Alisa.

"Iya. Aku bahkan mencintaimu melebihi apa pun yang pernah aku cintai waktu itu."

Kemudian beberapa saat kita saling diam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadamu. Aku hanya menunggu sebenarnya apa yang kau inginkan. Hingga beberapa menit setelah kita saling diam. Kau kembali membuka pembicaraan.

"Irvan. Aku tidak mengerti kenapa dulu aku me- nolakmu. Kenapa aku dulu mempermainkan hatimu.

Namun, sejak kau pergi, aku merasa ada yang hilang. Aku merindukanmu setelah itu. Kau mengatakan itu dari hatimu. Aku tahu, aku bisa merasakannya dari tatap matamu.

"Kenapa kau tidak mencariku saat itu? Kenapa kau tidak menahanku?" tanyaku.

"Bukankah kau yang menghindariku? Aku balik bertanya.

"Kau jawab saja pertanyaanku. Kenapa tiba-tiba kau menghilang? Dan kau pergi ke kota ini? Tidak usah mengajukan pertanyaan balik."

Kau masih saja egois, Alisa. Dua tahun ternyata tidak membuat sifat egoismu banyak berubah.

"Iya. Aku menghindarimu."

Kau tersenyum. Mengatur kembali napasmu. Aku juga melakukan hal yang sama. Malam itu terasa seperti suasana dua tahun lalu. Saat aku begitu menginginkanmu.

"Apa dulu kau begitu mencintaiku?" tanyamu.

"Menurutmu?" Harusnya kau tidak bertanya.

"Jawab saja!" Kau memang suka seenaknya, Alisa.

"Iya. Aku bahkan mencintaimu melebihi apa pun yang pernah aku cintai waktu itu."

Kemudian beberapa saat kita saling diam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadamu. Aku hanya menunggu sebenarnya apa yang kau inginkan. Hingga beberapa menit setelah kita saling diam. Kau kembali membuka pembicaraan.

"Irvan. Aku tidak mengerti kenapa dulu aku me- nolakmu. Kenapa aku dulu mempermainkan hatimu.

Namun, sejak kau pergi, aku merasa ada yang hilang. Aku merindukanmu setelah itu. Kau mengatakan itu dari hatimu. Aku tahu, aku bisa merasakannya dari tatap matamu.

"Kenapa kau tidak mencariku saat itu? Kenapa kau tidak menahanku?" tanyaku.

Aku masih ingat. Aku sempat menunggumu beberapa saat di bandara. Menatap orang-orang dan berharap kau datang lalu menahanku. Namun, kenyataan tak semanis adegan di film-film romantis. Kau tidak pernah datang. Dan, aku akhirnya pergi meninggalkan kotamu dengan patah hatiku.

"Aku tahu waktu itu aku salah, Irvan. Kau tahu, kenapa sekarang aku datang ke kota ini?"

"Kau ingin mengajar anak-anak bahasa Indonesia. Seperti cita-citamu dulu," jawabku datar. Aku mengalihkan mataku darimu.

"Bukan hanya itu. Aku ingin memperjuangkan lagi lelaki yang dulu pernah kuabaikan."

Aku berusaha mengatur napasku. Sesak rasanya mendengar kau mengatakan itu. Sungguh, aku benar-benar belum sepenuhnya menghapusmu dari ingatanku. Apalagi sejak kau datang ke kota ini. Sejak kau sering berkunjung ke kafe milikku. Aku berusaha menenangkan diriku. Aku meyakinkan diriku. Aku

sudah menjauh sejauh ini. Meski pada saat yang sama hadirmu menghadirkan semua ingatan dan perasaan yang dulu begitu dalam.

"Lalu apa yang kau mau dariku?" tanyaku.

"Bisakah kau memberiku kesempatan?"

Itu ucapan yang dulu kukatakan kepadamu, Alisa. Sekarang kau yang mengatakan itu kepadaku. Entah apa mau Tuhan hari itu. Aku benar-benar tidak mengerti.

"Kesempatan?"

"Izinkan aku memperbaiki kesalahanku. Aku ingin

belajar mencintai orang yang mencintaiku. Aku ingin

mencintaimu."

Jelas sudah apa yang kau inginkan, Alisa.

Aku menahan sesak di dadaku.

"Alisa. Dua tahun lalu, aku memohon kepadamu. Beri aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta. Beri aku waktu agar aku bisa membuatmu nyaman denganku. Namun, yang aku dapatkan adalah kau hanya mempermainkan perasaanku. Kau katakan kepadaku, kau tidak bisa mencintaiku. Kau katakan kepadaku kau tidak butuh cintaku."

Aku berhenti sejenak. Aku takut aku terkesan ingin membalasmu. Namun, sungguh, Alisa. Aku tidak dendam kepadamu.

"Kau memberiku rasa nyaman. Lalu kau meng- abaikan aku. Menolak cintaku. Dengan sesukamu mengutak-atik hatiku, Alisa. Kau tidak sadar Alisa? itu aku sudah seperti orang gila. Aku tidak punya arah hidup. Kuhancurkan hidupku karena aku terlalu mencintaimu. Kau membuatku seolah seorang pengemis perasaan, Alisa. Entah kenapa, emosiku mulai meluap-luap.

"Aku tidak bermaksud begitu, Irvan." Kau membela diri.

"Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Alisa. Aku pergi ke kota ini untuk menemukan hidup yang baru. Bagiku, Alisa yang kucintai sudah mati. Perempuan itu sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Tidak akan pernah ada lagi, Alisa. Kau yang sekarang adalah Alisa yang baru. Teman lama yang butuh bantuan. Hanya itu. Tidak lebih." Aku mengalihkan pandangku darimu.

Aku bisa menatap matamu yang kecewa. Kau dulu selalu bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Bahkan kau bisa saja memberiku harapan lalu mencampakkan aku begitu saja. Hingga semua kesakitan itu membawa aku ke kota ini. Tumbuh dan mencoba hidup lagi setelah begitu hancur kau buat hati ini.

Beberapa saat kemudian kau pulang. Aku menutup

pintu kafe. Seseorang menungguku dengan senyum

yang tak pernah berubah sejak aku mengenalnya.

"Terima kasih, kau masih memberiku kesempatan untuk mencintaimu," ucapnya.

"Maaf, sudah membuatmu sedih beberapa hari ini. Mulai malam ini, kupastikan kau saja selamanya." Aku memeluk perempuan itu. Dia mungkin tidak sepertimu Alisa. Namun darinya aku belajar, bahwa mencintai orang yang mencintai kita jauh lebih menyenangkan.

1
Akun Kedua
ini sudut pandang orang berapa kak, maksudnya povnya? 1, 2, 3? soalnya agak aneh pas baca dialog irvan sama alisa.. deskripsinya agak sedikit diperbaki lagi kak, soalnya baca deskripsinya serasa baca surat hehe.. tapi untuk cerita udah bagus, 😊👍 plotnya juga dibuat dengan matang 😊👍
Akun Kedua: sama2 kak 😉
IJ: siap kakak terimakasih banyak🙏😚
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!