Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Dari tadi aku hanya menatap layar ponsel, berharap bunda segera mengangkat sambungan video call dariku. Namun, semuanya nihil. Chat pun begitu, masih bertahan dicentang satu.
Rasa penasaran yang sangat kuat membuatku sulit tidur. Beragam pertanyaan muncul di benakku.
Apa yang terjadi di rumah?
Kenapa ayah membentak bunda?
Apakah bunda baik-baik saja?
Ada keinginan untuk menanyakan langsung ke ayah, tapi kuurungkan. Takutnya ayah malah bertambah marah.
Keesokan harinya, aku masih terus berusaha menghubungi bunda. Namun belum juga berhasil. Kucoba menghubungi Kevin dan Leon. Sama saja, mereka hanya membaca pesanku tanpa membalasnya.
***
Dua hari sudah aku tersiksa dengan rasa penasaran ini. Hingga membuyarkan konsetrasi kuliahku. Segala macam cara sudah kulakukan, termasuk memberanikan diri menelepon ayah. Namun, semuanya berakhir sia-sia.
Sampai ... saat sedang kuliah, aku merasakan ponsel terus bergetar di dalam tas. Kulihat sekilas, ternyata rentetan chat dari Leon. Aneh sekali, padahal biasanya dia jarang sekali begitu.
Selesai kuliah, aku langsung menuju taman, mencari tempat yang agak sepi untuk membaca chat tersebut.
[Novita sayang]
[Apa kabar]
Dari chat itu sudah sangat jelas, kalau ini bukan Leon melainkan bunda. Aku pun terus membaca rentetan chat tersebut, yang inti sebuah permintaan maaf dari bunda.
[Ada apa sih, Bun? Semuanya gak bisa dihubungi. Telepon gak diangkat, chat juga gak dibales. Bikin Novita kesel aja] Balasku, masih dengan rasa marah.
Tak disangka langsung direspon dengan cepat, terlihat dari tulisan di atas layar — sedang mengetik.
[Sekali lagi bunda minta maaf. Handphone bunda diambil ayah, gak tau disimpen di mana. Ayah juga ngelarang bunda, Leon dan Kevin buat ngehubungin kamu]
[Ayah kenapa jadi begitu, Bun? Ada masalah apa sih?]
[Kamu jangan marah sama ayah. Bunda ngerti banget ayah kamu lagi pusing beberapa bulan terakhir ini]
[Pusing kenapa?]
[Usaha mebel ayah lagi ada masalah, sampai terlilit banyak hutang. Bisa jadi sebentar lagi, kita terpaksa pindah dari rumah ini. Kalau ayah gak bisa ngelunasin hutangnya ke bank]
[Banyak hutang? Kok bisa? Ayah kan bukan orang baru di dunia permebelan]
[Ayahmu kena tipu rekan bisnisnya, yang sekarang ngilang]
[Kalau gitu, Novita pulang ke Indo aja deh, Bun. Daripada nanti jadi beban buat ayah sama bunda. Biaya kuliah di sini kan mahal]
[Jangan, Sayang. Ayah sekarang lagi ke luar kota cari pinjeman dari temen deketnya. Biar bisa ngelunasin hutang, sekaligus mulai usahanya lagi]
[Tapi, Bun. Aku gak bisa seneng-seneng di atas penderitaan bunda sama ayah]
[Sekarang kamu berdoa aja, semoga segala urusan dan usaha ayah lancar. Biar nanti bunda bisa nengok kamu juga]
[Iya, Bun. Kalau bunda ke sini, aku bakal ajak jalan-jalan]
Chat terus berlanjut dengan obrolan layaknya ibu dan anak. Seperti menanyakan kehidupan kampus, pria yang dekat denganku, makanan dan lain-lain. Sambungan kami pun diakhir dengan video call bersama kedua adikku. Bagaimanapun aku sangat merindukan mereka.
Tak terasa hampir satu jam aku duduk di taman. Ditemani guguran daun beech dan udara dingin di musim gugur. Kuraih salah satu daun di atas meja batu, yang sudah berwarna kecoklatan.
Entah kenapa saat kusentuh daun itu, timbul perasaan sedih yang teramat dalam. Mataku mulai berkaca-kaca dan air mata pun jatuh tak tertahankan. Perasaan macam apa ini?
***
Hari terus berganti, aku masih tetap menjalankan rutinitas seperti biasa, walaupun ada rasa yang berbeda dari sebelumnya. Semenjak mengetahui keadaan di rumah, pikiranku menjadi terbagi. Aku menjadi sulit berkonsentrasi dan lebih banyak melamun.
Untungnya, bunda selalu menghiburku setiap malam. Bunda juga selalu meyakinkanku kalau kondisi mereka baik-baik saja. Namun tetap saja ada yang mengganjal, aku masih belum bisa berbicara langsung dengan ayah.
Kata bunda, ayah belum juga pulang. Hampir setiap hari bunda meneleponnya, tapi jawabannya selalu sama, nanti juga pulang.
Paginya, aku terbangun dengan perasaan campur aduk, antara sedih dan marah. Padahal sangat yakin ini bukan jadwal menstruasi.
Perasaan itu terus mengikuti sampai di kampus. Aku menjadi lebih banyak diam. Beberapa teman sempat bertanya tentang kondisiku, tapi selalu kujawab baik-baik saja.
Selesai kuliah, aku langsung pulang ke apartemen. Membuat secangkir coklat hangat, lalu duduk di balkon. Memandingi jalan di kota Bonn yang mulai dipenuhi guguran daun, sambil meminum segelas coklat hangat. Itu membuat hatiku jauh lebih tenang.
Saat sedang larut dengan suasana, tiba-tiba dari dalam kamar, ponselku berbunyi. Bergegas kuraih ponsel yang ada di atas nakas. Kevin, nama itu yang tertera di layar ponsel.
"Tumben bunda pake handphone kevin," pikirku seraya mengangkat telepon.
"Halo, Kak!" ucap suara kecil di balik telepon, tentunya itu suara Kevin.
"Loh? Kevin belum tidur?" tanyaku, heran.
Perbedaan waktu Indonesia dan Jerman itu 5 jam. Di sini sudah pukul 6 sore, berarti di Indonesia pukul 11 malam. "Mana bunda?" tanyaku lagi.
"Kak ... bunda, Kak." Suara adik kecilku itu terdengar panik.
"Kenapa bunda?"
"Bunda sakit, Kak."
"Sakit apa?"
"Kevin gak tau, badan bunda panas terus kulit merah-merah."
"Coba kamu fotoin bunda!"
Telepon pun terputus. Tak lama, Kevin mengirimkan gambar bunda yang sedang terbaring di atas tempat tidur. Kulitnya berwarna merah, seperti udang rebus. Buru-buruku telepon Kevin.
"Vin, kasih teleponnya ke bunda!"
"Bunda gak mau, Kak."
"Ya udah, tanyain bunda apa yang dirasain?"
"Kata bunda, panas sama gatel, Kak."
"Di rumah ada siapa aja? leon mana?"
"Kak leon katanya sebentar lagi pulang."
"Aduh tuh anak. Ya udah bilang ke Mbok Wati, sementara olesin badan bunda pakai bedak dingin. Nanti kalau leon datang, langsung bawa ke rumah sakit."
"Iya, Kak."
"Kabarin kakak kalau ada apa-apa."
Terjawab sudah perasaan tidak enak seharian ini. Ternyata ada hubungannya dengan kondisi bunda sekarang. Aku tidak bisa tenang. Dari tadi hanya mondar-mandir sambil menatap layar ponsel. Berharap segera ada kabar baik dari rumah.
Sekitar 10 menit kemudian.
Ting!
[Kak, bunda aku bawa ke rumah sakit] Sebuah pesan dari Leon.
[Hati-hati, jangan ngebut]
[Iya, Kak]
[Ayah udah dikabarin?]
[Belum, ditelepon gak diangkat]
Spontanku telepon ayah. Benar saja, teleponnya tidak diangkat. Ayah sedang apa? Padahal situasi di rumah sedang genting.