Diana, gadis manis yang harus merasakan pahit manisnya kehidupan. Setelah ayahnya meninggal kehidupan Diana berubah 180 derajat, mampukah Diana bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aprilli_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Membatalkan puasa
Pukul 13.00 WIB Diana bersiap-siap untuk berangkat ke TPQ Al-Amin, Diana mengaji di TPQ tersebut saat mulai memasuki Sekolah Dasar. Diana, Andi, Rohman, Titi dan Santoso mengaji di tempat yang sama walaupun harus menempuh perjalanan 15 menit tidak menyurutkan langkah kaki mereka untuk belajar mengaji.
"Assalamualaikum... Titi..."
Diana, Andi dan Rohman menjemput Titi dan Santoso (Adik Titi) untuk berangkat bersama-sama ke TPQ.
"Waalaikumsalam, ayo kita berangkat sekarang agar tidak terlambat nanti!"
Mereka berlima jalan beriringan dan saling melempar pertanyaan serta lelucon yang membuat jarak antara rumah ke TPQ tidak terasa jauh.
Sorak-sorai suara anak-anak yang tertawa, menangis, lari-larian dan suara decitan ayunan terdengar sayup-sayup di telinga menandakan semakin dekat dengan TPQ.
"Ayo anak-anak masuk ke kelas!"
Ucap Ustadzah Heni menghimbau para santri memasuki kelas untuk memulai pembelajaran.
Sebelum mengaji semua santri membaca Asmaul Husna dan Juz'amah lalu doa untuk kedua orang tua serta doa sebelum belajar, untuk santri yang sudah Al-Qur'an setiap bulan puasa dibiasakan tadarusan.
"Na... Kamu nanti baca ayat keberapa?"
Tanya Yolan kepada Diana,
"Sebentar aku hitung dulu..."
Terlalu asyik menghitung Diana tidak sadar bahwa sang Ustadzah melihat tingkah Diana tersebut lalu terdengar celetuk kan salah satu teman Diana,
"Haduh... Kamu dapat ayat yang panjang Na... Kasian deh kamu..."
Ucap Reza mengejek Diana, Diana hanya terdiam karena merasa kan detak jantung yang tak beraturan bukan karena Diana tidak bisa membaca Alquran tapi karena ayat yang terlalu panjang khawatir banyak kesalahan dalam membaca.
"Kenapa kalau Diana dapat ayat yang panjang? Diana pasti bisa, makhraj nya juga bagus kok... Kamu jangan takut Na, Ustadzah yakin kamu bisa,"
Ucap Ustadzah membangun rasa percaya diri Diana,
"Terimakasih Ustadzah..."
Reza yang semula mengejek Diana akhirnya bungkam.
Terkadang Diana bingung mengapa harus Dia yang meneliti bacaan Alquran teman-temannya sedangkan menurutnya Reza jauh lebih baik darinya, Reza memiliki suara yang merdu dan pernah mengikuti lomba Qira'ah dan mendapatkan peringkat ke tiga se-Kabupaten. Terlalu asyik dalam lamunan Diana dikejutkan oleh suara Yolan,
"Na... Giliran kamu sekarang!"
"Astaghfirullah maaf Lan, aku tidak fokus tadi...
Bismillahirrahmanirrahim... Yâ ayyuhalladzîna âmanû idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalim musamman faktubûh... (ayat Al-Baqarah : 282)"
Reza terdiam mendengar bacaan Diana, entah apa yang ada di dalam benak Reza, Wakafa Billahi Syahida.
Suara masjid pun terdengar dan kami mengakhiri tadarus lalu berdoa sebelum pulang, setelah sholat asar para santri pulang kerumahnya masing-masing.
"Na... Kamu masih kuat menahan lapar?"
Tanya Titi kepadaku,
"Insyaallah kuat Ti, kamu bagaimana? Apakah masih kuat sampai waktu berbuka tiba?"
Tanyaku sambil sedikit mengejek Titi,
"Haha... Pasti kuatlah Na, kurang beberapa jam lagi, biar tidak sia-sia menahan lapar dari pagi sampai sekarang."
Diana hanya menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan Titi.
"Besok kan hari minggu Na, kamu ada acara kemana?"
Tanya Titi sambil menoleh ke arah Diana yang menatap lurus ke depan,
"Milen mengajak main bersama dirumahnya, tapi lihat besok saja lah... Memangnya kenapa Ti?"
Diana menoleh ke arah Titi yang berubah ekspresi wajahnya mendengar nama Milen,
"Ti... Aku boleh tanya sesuatu tidak?"
"Boleh Na,"
Menghela nafas secara perlahan,
"Kenapa saat di sekolah kamu seolah-olah tidak mengenalku Ti? Apa karena Milen? Atau ada penyebab lainnya?"
Titi menghela nafasnya berat,
"Kamu sadar tidak Na? Saat kamu bersama Milen, duniamu berpusat ke Milen saja Na... Tanpa kamu perhatikan sekitar kamu, kamu juga kenapa betah sekali berteman dengan dia?! Dia itu sombong Na, dunia kita sama dia berbeda Na... Dia anak orang kaya Na sedangkan kita anak orang miskin, kamu merasa tidak sih kalau kamu seperti kacung dia yang harus menuruti semua keinginan dia!"
Diana mengernyitkan dahi mendengar unek-unek Titi,
"Sebentar Ti, sejak kapan aku menjadi kacung Milen? Aku tidak merasa Milen itu sombong ya... Justru Milen dan keluarganya baik sekali Ti kepada keluargaku, aku berteman baik dengannya mulai dari kelas satu hingga saat ini dan kami aman-aman saja tidak pernah berbeda pendapat atau bahkan bertengkar. Kamu tahu darimana Milen sombong Ti? Milen justru teman karibku, dia memang kaya dan tidak sederajat dengan kita yang serba kekurangan tapi Milen tidak pernah menghina atau apa Ti, justru dia selalu memberi apa yang dia punya ke aku."
Diana menjelaskan bagaimana Milen menurut pandangannya, sedangkan Titi memilih berlalu dan tidak melanjutkan pembicaraan.
Sesampainya dirumah Diana memasuki kamarnya merebahkan tubuhnya diatas kasur dan mencoba memejamkan mata sambil merenungi semua ucapan Titi yang membuatnya janggal,
"Milen? Sombong? Sejak kapan Milen yang aku kenal menjadi sombong seperti apa yang di ucapkan Titi tadi? Apa Titi memiliki dendam kepada Milen? Ahh... Sudahlah biarkan saja yang terpenting Milen tidak seperti apa yang Titi ucapkan."
Kantuk tiba-tiba menyapa akhirnya Diana terlelap setelah banyak pertanyaan yang membuatnya tidak habis pikir dengan perkataan Titi.
Sudah menjadi rutinitas selama bulan Ramadhan setelah tarawih anak-anak dari RT 04 dan RT 02 bermain bersama di depan Musholla yang dijadikan tempat berkumpulnya anak-anak tersebut.
Seperti biasa banteng-bantengan yang menjadi permainan favorit mereka, mereka bermain hingga jam menunjukkan pukul 23.00, semua anak-anak kembali kerumahnya masing-masing.
"Sudah berapa ini? Kenapa kalian baru pulang?!"
Tanya Bu Sari kepada anak-anaknya,
"Hehehe maaf Bu keasyikan bermain lupa kalau sudah larut malam,"
Ucap Diana kepada sang Ibunda sedangkan Andi memilih menundukkan kepalanya,
"Cuci kaki, cuci tangan, sikat gigi terus kalian masuk ke kamar! Langsung tidur! Paham?!"
"Injih ndoro putri,"
Ucap Diana sambil berlari ke kamar mandi karena takut Ibunya memarahinya lagi.
"Kakak berani sekali menjawab perkataan Ibu,"
Ucap Andi yang mengikuti kakaknya yang masuk ke kamar mandi,
"Sebenarnya kakak takut Dik, tapi kalau tidak dijawab Ibu bisa-bisa tambah marah kadang kalau dijawab Ibu juga marah, huftt... Entahlah kita harus bagaimana kalau Ibu sudah mengeluarkan tanduknya hahaha...."
Mencoba menghangatkan suasana Diana menghibur sang adik,
"Iya juga ya Kak, apa semua Ibu seperti itu Kak?"
Menghentikan aktivitasnya sejenak lalu Diana menoleh kepada sang adik,
"Kita harus bersyukur Dik, bagaimana pun perlakuan Ibu kepada kita karena diluar sana ada yang lebih parah dari apa yang kita rasakan saat ini Dik,"
Andi menoleh kepada sang kakak dan menatap netra kecoklatan yang menghanyutkan siapapun yang melihatnya,
"Kakak benar, ada yang lebih parah dari apa yang kita rasakan dan seharusnya kita bersyukur masih memiliki orang tua yang lengkap walaupun keluarga kita tidak bisa disebut keluarga Cemara seperti keluarga Kak Milen."
Diana melanjutkan menggosok giginya dan hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab ucapan sang adik lalu mereka kembali ke kamarnya masing-masing.
Suara di masjid saling bersahutan guna membangunkan semua umat muslim untuk melakukan sahur, setelah sahur Diana melanjutkan sholat subuh setelahnya Diana memilih tidur kembali.
Sore harinya Diana diajak Milen bermain dirumah tetangganya (Adiba), Diana hanya mengikuti Milen dari belakang.
Rumah Adiba sangat lengkap dari taman mini hingga permainan ada disana, karena terlalu asyik bermain dengan Milen dan Adiba tiba-tiba Umminya Adiba memanggil kami,
"Anak-anak berhenti dulu mainnya, ini makan buah-buahannya,"
Diana yang notabene tidak enak menolak pemberian orang lain akhirnya ikut memakan buah-buahan tersebut bersama Milen dan Adiba, setelah buah-buahan tersebut habis kami melanjutkan permainan hingga jam menunjukkan pukul 17.00 WIB kami menghentikan permainan dan memilih pulang.
Pak Ahmad menjemput Diana dirumah Milen,
"Len, ada Ayahku... Aku pulang dulu ya Len,"
Ucap Diana kepada Milen,
"Oh ya Na... Hati-hati ya,"
"Oke Len, Bye... Bye..."
Diana menghampiri Pak Ahmad dan memegang tangan sang Ayah.
"Maaf Yah, Nana terlalu asyik bermain sampai lupa waktu"
Pak Ahmad hanya tersenyum menanggapi Diana, tiba-tiba Diana sendawa
"Haiikkk..."
Diana menutupi mulutnya lalu menoleh kepada Ayahnya,
"Yah, Diana sendawa tapi rasanya seperti buah apel, Diana jadi ingin beli buah apel,"
Ucapnya sambil menahan gugup takut sang Ayah curiga kalau Diana membatalkan puasanya.
"Sabar ya Nak... Ada rezeki Ayah belikan yang banyak,"
Dengan mata berbinar-binar mendengar ucapan sang Ayah, Diana bersorak kegirangan,
"Hore... Janji ya Yah..."
"Iya sayang..."
Tanpa Diana sadari Pak Ahmad menahan tawanya karena Pak Ahmad tahu kalau Diana telah membatalkan puasanya, Pak Ahmad tidak pernah mempermasalahkan hal seperti itu.
Setelah membatalkan puasanya karena ditawari buah oleh Ummanya Adiba, Diana memilih tidak bermain lagi saat sore hari karena Diana tidak ingin berbohong lagi kepada sang Ayah.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya