"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Rumah Abu
Setelah memastikan keluarganya pergi, Min-ho menoleh pada Yoora sembari tersenyum manis.
"Ayo... Mobilku ada di sana," ujarnya sambil mengambil barang-barang Yoora dan menuntunnya menuju kendaraan.
"Masuklah." Min-ho membukakan pintu untuk Yoora dengan penuh perhatian.
Yoora pun masuk ke dalam mobil dengan rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Dia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh seorang pria sebelumnya, dan saat ini, perasaan itu membuatnya bergetar di dalam hati. Setiap gerakan terasa lebih jelas, dan detak jantungnya seakan menggema dalam keheningan mobil. Meskipun canggung, dia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan tersebut di balik senyum tipis yang terlukis di wajahnya, berharap senyum itu dapat mengalihkan perhatian dari rasa gugup yang menggelayut di benaknya.
"Terima kasih, oppa." Ucapannya lembut, dan Min-ho hanya tersenyum sekilas sebelum menutup pintu dan menuju kursi pengemudi.
Ketika mobil melaju, keheningan sempat mengisi perjalanan mereka. Yoora merasa canggung, namun berusaha bersikap tenang.
"Yoora... Bagaimana rasanya, akhirnya lulus?" Ucap Min-ho akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembut.
"Aku... Aku merasa lega, oppa. Akhirnya satu babak hidupku selesai juga." Jawab Yoora.
"Pasti berat ya, belajar dan menghadapi semua itu?" Min-ho tertawa kecil.
"Iya, tapi sekarang aku bisa sedikit bernafas lega." Jawab Yoora sembari tersenyum lemah.
"Kamu memang pantas untuk bernafas lega. Tapi, lulus bukan berarti semua selesai. Ada banyak tantangan di depan sana yang mau tak mau harus kita lewati, dewasa tidak seindah yang dibayangkan terutama jika kau berencana untuk melanjutkan pendidikan, setelah selesai semua itu kita akan terus di buat pusing oleh segala aturan dunia lain nya " Ujar Minho lagi .
"Iya, aku tahu. Ada banyak yang harus dipikirkan, terutama tentang universitas dan jurusan yang ingin aku ambil," Ucap Yoora sembari menatap jalanan di depan nya.
"Apakah ada jurusan yang kau minati?" tanya Min-ho dengan rasa ingin tahu.
"Aku ingin mengambil jurusan psikologi. Aku selalu tertarik dengan cara kerja pikiran dan bagaimana orang berinteraksi satu sama lain." Ucap Yoora sembari tersenyum tipis.
"Itu pilihan yang bagus. Kau selalu bisa memahami orang lain dengan baik, Yoora. Mungkin itu setelah ini , kita harus menjadi teman baik ? " Ucap Min-ho sembari tersenyum.
"Terima kasih, oppa, dengan senang hati " balas Yoora, merasa sedikit lebih nyaman setelah mendengar nasihatnya. Dia menatap jalanan yang kosong di siang itu, mencurahkan pikirannya pada setiap kata yang diucapkan Min-ho.
"Tapi oppa , apakah bisa seseorang yang terluka mengobati luka orang lain ? " Tanya yoora .
"Tergantung padamu apakah kamu bisa , Yoora -ssi kita semua berjuang dengan perasaan kita masing-masing, setiap detik, menit dan jam kita berjuang keras untuk mengikuti aturan dunia ini . Sekarang yang terpenting adalah kita berusaha untuk menjadi lebih baik. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, bukan?" Min-ho berkata, melirik ke arah Yoora dengan wajah serius.
"Terkadang aku terlalu banyak mengeluh tanpa aku sadari bahwa ada orang lain yang lebih menderita, tapi mereka tidak banyak bicara." Suaranya terdengar lirih .
"Setiap orang memiliki masalah dan cobaan masing-masing. Tuhan tidak pernah menciptakan takdir yang sama untuk setiap manusia. Masalahmu dan masalah orang lain tentunya berbeda. Mentalmu dengan mental orang lain juga berbeda. Tidak pantas kita memaksakan ukuran sepatu kita agar cocok dipakai oleh orang lain, jika kamu mau melakukan itu maka kamu bisa melakukan nya " ujar Min-ho, menekankan setiap kata dengan penuh perhatian.
"Pemikiranmu begitu dewasa, oppa," puji Yoora, terkesan oleh kebijaksanaan Min-ho.
"Percaya padaku, umurku tidak setua itu," jawab Min-ho sambil terkekeh pelan.
Keduanya berbincang ringan sepanjang perjalanan, dengan Min-ho yang sesekali melemparkan candaan kecil untuk menghibur Yoora. Tawa dan senyum tipis terukir di wajahnya, walau ada perasaan asing yang sesekali menyelinap di hatinya. Meskipun merasa nyaman, Yoora tetap tidak sepenuhnya lepas dari kegelisahannya. Dari perbincangan ini juga yoora mengetahui hal yang menurut nya mengejutkan, dia sekarang tahu siapa pria yang menanyakan nya di tempat nya bekerja pada Rea tempo hari, begitu juga dengan orang yang selalu memberikan surat dan setangkai bunga mawar saat dirinya di rumah sakit. Ya, tak lain pria itu adalah Min-ho, pria bermarga kang itu mengakuinya sendiri.
“Yoora, bolehkah aku bertanya lagi?” Min-ho melirik sekilas, nada suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
“Iya, ada apa?” Yoora mengangguk, berusaha menjaga suara tetap tenang.
“Kenapa dengan kepalamu? Apa terjadi sesuatu yang serius?” tanya Min-ho, matanya menyiratkan kekhawatiran saat melihat perban di kepala Yoora.
“Oh, ini... bukan hal besar. Hanya kecelakaan ringan,” jawab Yoora sambil tersenyum tipis, berharap Min-ho tidak bertanya lebih jauh. Dia tidak ingin membahas apa yang sebenarnya terjadi.
“Begitu ya... Aku tidak menyangka kalau kamu adiknya Namjin hyung,” ucap Min-ho, mencoba mengalihkan pembicaraan. Sesekali dia menatap yoora , terlihat ada perasaan lain yang ingin dia katakan namun terpaksa dia pendam.
“Eummm... iya,” jawab Yoora singkat, terlihat sedikit bingung harus mengatakan apa.
“Setahuku keluarga Lee tidak punya seorang putri. Tapi ternyata aku salah, keluarga Lee punya putri secantik dirimu,” goda Min-ho sambil tersenyum hangat, membuat Yoora sedikit tersipu.
“Oppa terlalu berlebihan, Yoora tersenyum canggung ouh ya... cukup panggil Yoora saja, tanpa embel-embel marga. Marga itu terlalu besar untuk aku sandang.” Dia menunduk, mencoba menyembunyikan ekspresi yang lebih dalam.
“Apa maksudmu?” Min-ho memandangnya sejenak, bingung dengan nada halus di balik ucapan Yoora.
“Tidak ada... Yoora terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata lagi dengan ragu Oppa, bolehkah aku merepotkan mu?” tutur nya .
“Tentu saja, katakan... ada apa?” Min-ho menatap sekilas ke arah Yoora sebelum kembali fokus pada jalan.
“Bolehkah oppa mengantarku ke makam ayahku?” Suara Yoora terdengar lembut, hampir seperti permohonan yang ragu.
“Tentu saja, Yoora. Tunjukkan saja arahnya,” jawab Min-ho, tanpa ragu sedikit pun. Senyumnya menenangkan Yoora, membuatnya merasa diterima.
“Terima kasih banyak, oppa,” ucap Yoora, nadanya tulus.
“Tidak perlu terima kasih, Yoora. Kalau ada hal lainnya, jangan sungkan, ya? Aku pasti selalu ada untukmu,” ujar Min-ho, sambil tersenyum hangat ke arah Yoora yang mulai merasa lebih nyaman.
"Maaf?," Tanya yoora ingin memperjelas ucapan terakhir pria di samping nya .
"Akh.. tidak," ujar nya terlihat gagap dan tidak bisa menjawab ucapan yoora. Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang hening sejenak, hanya suara kendaraan yang menemani. Min-ho akhirnya kembali membuka pembicaraan.
"Yoora, sebenarnya... apa yang membuatmu ingin mengunjungi makam ayahmu hari ini? Apa karena hari kelulusan mu ?! " Min-ho bertanya lembut, mencoba menyelami maksud di balik permintaan Yoora.
"Aku hanya merasa... ada hal-hal yang belum tersampaikan. Perasaan bersalah yang terus menghantui." Ucap Yoora menghela napas panjang, menatap keluar jendela dengan pandangan sayu.
"Mungkin ada banyak yang ingin kau ceritakan," Min-ho berkata lembut, dia mengangguk pelan, memberikan ruang bagi Yoora untuk melanjutkan jika dia mau.
"Mungkin benar... Rasanya, selama ini aku terlalu berjarak dengan keluargaku. Kehadiran mereka terasa seperti dinding yang membatasi ku." Ucap Yoora menggigit bibirnya, seakan menimbang-nimbang , apakah dia harus bercerita pada Minho yang sebenarnya tidak sedekat itu dengan nya .
"Tapi sekarang kamu punya kesempatan, kan? Untuk memperbaiki semua itu?" Jawab Min-ho menoleh sekilas, mengamati ekspresi Yoora yang suram.
"Mungkin. Tapi... entahlah, Oppa. Kadang rasanya aku bukan bagian dari mereka." Jawab Yoora sembari mengangguk kecil.
"Mungkin keluarga tidak selalu berarti ikatan darah. Yang penting, apa yang ada di hati kita. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu sebenarnya, tapi selalu ada pelangi setelah hujan badai , sekeras apapun hati seseorang tidak lebih keras dari batu karang. Aku yakin kamu bisa," ucap Min-ho tersenyum tipis, menepuk pundak Yoora dengan lembut.
"Terima kasih, Oppa. Aku merasa tidak enak padamu," ucap Yoora, suaranya terdengar pelan namun sarat makna.
"Kapan pun kau butuh teman, aku selalu ada. Tak perlu merasa tidak enak padaku," balas Min-ho dengan senyum tipis, menganggukkan kepalanya seolah menegaskan niat tulusnya.
Keduanya melanjutkan perjalanan dalam keheningan yang terasa penuh, masing-masing tenggelam dalam pikiran yang berkecamuk namun kini terasa sedikit lebih ringan.
Sesampainya di pemakaman/Rumah abu , Yoora dan Min-ho turun dari mobil dengan hati yang berat, setiap langkah mereka menyatu dalam kesunyian pekuburan yang seakan menambah duka. Pandangan Yoora tertuju pada tempat peristirahatan ayahnya, dan seketika dadanya terasa bergetar.
"Oppa, bisa tunggu di sini? Aku ingin menemui Daddy sendirian," ujar Yoora dengan suara serak, matanya mulai memerah.
"Pergilah, aku akan tetap di sini jika kau butuh sesuatu," balas Min-ho dengan senyum lembut, memberikan Yoora ruang untuk sendiri.
Yoora berjalan dengan langkah cepat ke arah tempat ayahnya, menahan air mata yang sudah mengaburkan pandangannya. Setiap langkah seolah membawa kembali kenangan yang menyakitkan. Sesampainya di depan guci abu, ia tak mampu lagi membendung air matanya.
"Daddy..." bisiknya penuh kerinduan, suaranya nyaris tenggelam oleh isakannya.
"Daddy.... Yoora datang , hari ini hari kelulusan yoora , yoora ingat sekali Daddy pernah bilang ingin melihat yoora lulus dengan nilai tertinggi dari semua siswa, aku berhasil mengabulkan setiap keinginan daddy . Kali ini yoora juga lulus dengan nilai tertinggi lagi Daddy, tapi sepertinya yoora tidak bisa melanjutkan pendidikan Yoora lagi , mungkin ini yang terakhir Daddy , bagaimana caranya yoora bisa mengabulkan keinginan daddy untuk melihat yoora , lulus nilai tertinggi di universitas nanti sedangkan yoora tidak diperbolehkan berkuliah oleh Seonho oppa , yoora tidak berani melawan nya Daddy . Bisakah bantu yoora untuk membujuk nya , yoora ingin tetap melanjutkan pendidikan yoora Daddy , yoora tidak mau berhenti " suaranya semakin menghilang karena Isak tangis nya.
Dadanya terasa semakin sesak saat kenangan pahit perlahan terkuak, seperti arus yang tak terbendung, memaksa setiap potongan ingatan kelam itu melintas kembali. Rasa sakit yang lama terkubur mulai membebani hatinya, menciptakan tekanan di dalam dirinya yang seolah tak ada habisnya. Pandangannya mengabur, seiring denyut jantungnya yang kian memburu, menambah getir pada luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
"Hati yoora sakit Daddy, yoora tidak bisa melakukan apapun..., yoora sudah berusaha melakukan apapun yang mereka mau tak pernah sekalipun yoora melanggar perintah mereka, tapi mereka sama sekali tidak pernah ada sedikitpun memikirkan perasaanku . Harus kah yoora menyerah Daddy? Bahkan hanya untuk mendapatkan pelukan singkat dari mereka saja yoora harus menukarkan nya dengan sesuatu yang berharga, lalu sekarang apa lagi yang harus yoora lakukan? Kebencian mereka terhadap yoora sudah mendarah daging, sulit untuk mereka bisa menerima semuanya . Yoora tahu semua ini terjadi karena yoora , yoora yang membunuh Daddy kan ..... tapi jika Yoora bisa mengulang waktu biar yoora saja yang pergi dari kecelakaan itu , yoora tak sanggup Daddy , yoora tak sanggup hidup terus menerus dalam tekanan seperti ini, bantu yoora Daddy hanya sampai yoora mendapatkan pelukan dari mereka berlima , setelah itu yoora tidak akan menganggu mereka lagi . " Ujar yoora...
Tubuh Yoora tak lagi sanggup menopang dirinya sendiri; ia luruh begitu saja, tubuh nya lemas bagaikan daging yang kehilangan tulangnya. Tangisnya pecah, meluapkan segala perasaan yang selama ini terpendam seorang diri, tanpa ada seorang pun yang benar-benar memahami beban hatinya. Dalam pikirannya, terngiang doktrin dari semua saudara-saudaranya yang selalu menuduhnya sebagai penyebab kematian sang ayah. Meskipun Yoora tahu apa yang sebenarnya terjadi, kata-kata mereka terasa seperti bayangan gelap yang terus-menerus mengingatkannya bahwa kematian ayahnya adalah kesalahannya.
"Suda..." Pria di hadapannya, yang tak lain adalah Min-ho, menghentikan ucapannya saat melihat kondisi Yoora yang duduk bersimpuh, terlihat begitu rapuh.
"Ya Tuhan... Kamu baik-baik saja?" Tanpa sadar, seolah naluri, Min-ho langsung mendekap tubuh Yoora erat-erat, seolah menyalurkan kekuatan pada gadis itu.
“Kenapa Oppa ke sini? Yoora bilang tunggu saja di sana...” lirihnya sambil perlahan melepaskan pelukan Min-ho. Ia merasa malu, tak ingin sisi lemahnya terlihat oleh orang lain.
“Maaf, hanya saja tadi ponselku tertinggal di mobil, dan ketika aku kembali untuk mengambil nya , aku melihat ponselmu yang tertinggal juga berdering, aku pikir itu penting,” ujarnya sambil menyodorkan ponsel Yoora yang memang tertinggal di sana.
“Terima kasih, Oppa. Maaf aku membentak mu barusan aku tidak sengaja,” ucap Yoora dengan lirih, menerima ponselnya yang disodorkan Min-ho.
“Tidak apa, kamu baik-baik saja?,” tanya Min-ho lembut, memperhatikan penampilan Yoora yang terlihat begitu kacau. Dia tahu pasti Yoora tengah dilanda kerinduan pada orang tuanya.
“Aku baik-baik saja. Oh ya, Oppa, ayo kita kembali sekarang?” pinta Yoora, berusaha berdiri tegap meski tubuhnya terasa lemas.
“Benarkah? Kamu serius?” tanya Min-ho, membantu Yoora berdiri dengan hati-hati. Yoora tidak menjawab, tetapi dia hanya mengangguk mengiyakan apa yang diucapkan oleh Min-ho.
“Baiklah… ayo,” ujar Min-ho yang berusaha mengerti kondisi Yoora, meskipun hatinya merasakan beban yang dipikul wanita di samping nya .
Min-ho benar-benar mengantarkan Yoora hingga ke kediaman keluarga Lee. Sepanjang perjalanan, tak ada pembicaraan khusus di antara mereka , hanya percakapan singkat yang digunakan sesekali untuk memecah keheningan yang menyelimuti.
Setelah mengantarkan Yoora dengan selamat ke rumahnya, Min-ho langsung kembali pulang. Dia juga tidak berniat masuk karena memang ada urusan penting yang mendesak menunggu.
Sementara itu, Yoora tidak terlalu memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dia hanya berjalan lurus dan masuk ke kamarnya, mengabaikan Namjin yang mengucapkan selamat atas kelulusannya. Jujur saja, ada sedikit rasa kecewa dalam hati Yoora terhadap Namjin yang tiba-tiba mengambil keputusan seperti itu. Namun, dia tahu jika itu mungkin atas permintaan Seonho dan Jungsoo.
Kini, Yoora hanya bisa memfokuskan pikirannya pada dirinya sendiri, berpikir keras bagaimana caranya agar Seonho mau mengurus semua hal yang diperlukan agar dirinya dapat melanjutkan pendidikan.