"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bermuka dua
Sejak subuh Zea sudah bangun dan tidak kembali tidur. Kini dia duduk melamun di balkon kamar suaminya, sementara sang suami baru saja selesai mandi.
"Sudah sejauh mana perkembangan penyelidikan?" ucapnya bicara melalui sambungan telepon.
"Boby kehilangan jejak ditengah penyeledikan, Tuan muda. Sehingga dia harus menyusun rencana dari awal lagi dengan pola yang berbeda."
"Bilang sama Boby, aku akan ikut dalam misi kali ini."
"Sebaiknya jangan, Tuan muda. Musuh yang dihadapi kali ini bukan preman preman biasa seperti sebelumnya. Mereka adalah sekelompok Mafia."
"Jangan khawatir, Lui. Justru aku sangat ingin melihat sejauh mana kemampuan mereka." tantang Acel yang mulai geram karena para antek mafia itu telah melalang buana mengganggu daerah kekuasaannya.
"Baik, Tuan muda. Akan saya bicarakan dengan Boby dan Mike terlebih dahulu."
Pembicaraan itu berakhir, membuat Zea yang tadi mencoba menguping kembali menatap jauh kedepan berlagak seakan tidak mendengar apapun. Acel sendiri tau Zea menguping, tapi dia membiarkannya saja.
Begitu Acel masuk keruangan tempat penyimpanan pakaian dan seluruh aksesorisnya, Zea pun melangkah masuk kembali ke kamar. Dilihatnya hp milik Acel tergeletak begitu saja di atas meja nakas.
Zea tampak berpikir keras sambil menatap tajam hp itu yang layarnya bahkan masih menyala.
"Aku tidak akan pulang selama beberapa hari kedepan."
Suara itu membuat Zea terperanjat kaget dengan otomatis menoleh kearah sumber suara.
"Bo-boleh saya menanyakan sesuatu, Tuan muda?"
"Tidak usah memanggilku begitu. Kita sudah menikah, kamu boleh memanggilku sesuka hatimu. Tapi ingat, aku tidak akan pernah memperlakukan kamu layaknya seorang istri. Jangan pernah mengharap hal seperti itu dariku." tegasnya sambil memakai jam tangannya, lalu melipat lengan kemejanya beberapa kali keatas.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Mmm, boleh saya terus mengurus kafe dan tetap bekerja?!"
"Itu bukan urusanku."
Jawaban yang sangat membingungkan yang membuat Zea bersusah payah menahan diri untuk tidak kembali bertanya.
"Aku turut berduka atas meninggalnya Rudi. Aku baru tahu beberapa minggu yang lalu."
"Terimakasih."
"Aku dengar dia tertimbun reruntuhan rumah tua. Sungguh tragis." ucapnya tanpa mengalihkan tatapan dari cermin besar dihadapannya.
"Apa kamu kesulitan mengurus anak kalian sendiri sampai merelakan anak itu diadopsi?"
Pertanyaan ini membuat mata Zea melotot kaget, dia tidak tahu cerita apa lagi yang dikatakan Alia dan Handi pada Acel.
"Begitu sulitkah membesarkan anak sendirian?"
"Iya, sangat sulit. terlebih untuk wanita miskin sepertiku. Aku bukan Ibu yang baik, aku bahkan tidak bisa membesarkannya sendirian. Aku Ibu yang buruk. Itukan yang ingin Kakak dengar dariku!" ucap Zea dengan suara yang agak meninggi dan juga gemetar.
"Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi, karena kamu merasa seperti itu, berarti benar kan?" ejek Acel dengan menyunggingkan senyum yang membuat air mata menetes dari pelupuk mata Zea.
"Tidak ada gunanya menangis sekarang. Dan aku tidak akan pernah merasa simpati dengan tangisan palsu ini." Bisiknya sambil mengelap air mata dipipi Zea sebelum akhirnya dia keluar dari kamar.
.
.
.
"Tuan putri sudah terlihat rapi aja. Enak ya, jadi istri orang kaya, gak perlu repot dan bau asap lagi. Sudah ada pembantu yang urus." ledek Amel menyindir Zea, saat dia melihat kakak iparnya itu yang hendak menuruni anak tangga.
"Amel, kamu gak boleh ngomong gitu sama kakak ipar kamu, Nak." Celetuk Alia pura pura menegur putrinya.
Zea tetap melangkah turun dan memberikan senyuman untuk ibu mertua dan adik iparnya. "Pagi Mel, pagi Ma." sapanya.
"Idih gak usah sok ramah gitu kali. Jijik kali... rasa mau muntah. Huekkk..."
"Mel, jangan gitu kamu. Gak sopan."
"Biarin aja. Aku bukan Mama yang mau maunya menerima perempuan miskin, kampungan, murahan ini!" Kata Amel sebelum akhirnya dia naik menuju kamarnya di lantai atas.
"Sabar juga ya ternyata kamu." ejek Alia yang mulai menatap sinis pada Zea.
"Maaf, Nyonya. Saya pamit mau ke kafe."
"Oh silahkan. Silahkan, jika perlu jangan kembali lagi ke rumah ini."
Zea diam saja, kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan rumah. Begitu Zea pergi, Alia pun juga langsung pergi ke kantornya yaitu rumah perlindungan perempuan. Dimana di tempat itu, disediakan pengacara hukum yang ditugaskan untuk memberi perlindungan hukum terhadap perempuan perempuan yang kurang beruntung dalam menjalani kehidupan ini.
Alia sendiri salah satu dari perempuan yang kurang beruntung itu. Dia masuk ke rumah perlindungan perempuan yang didirikan oleh mendiang ibu mertuanya, Dahlia. Dari sanalah dia dipertemukan dengan mendiang suaminya, David. Sikap lembut keibuan dan penyayangnya memikat hati David dan Dahlia yang membuat Alia menjadi perempuan beruntung yang pangkatnya naik menjadi menantu pertama keluarga Sandrio.
Namun sayang, segala kemewahan yang dia dapatkan menjadikannya sombong dan lupa diri. Tidak jarang dia mengabaikan perempuan perempuan malang yang butuh bantuannya. Dia hanya akan membantu seseorang yang menjanjikan keuntungan untuknya. Meski begitu, sampai saat ini belum ada satu mulut pun yang berani speak-up kebenaran itu pada seluruh dunia.
"Ibu, selamat pagi!" Sambut beberapa orang karyawan yang bekerja di rumah perlindungan perempuan itu.
"Pagi juga. Kalian sudah sarapan?"
"Sudah, Bu."
"Bagus itu. Jangan sampai melewatkan sarapan. Kalian harus mencintai diri sendiri. Oke."
"Iya, Bu." jawab mereka senang.
Semua staf yang ada di tempat ini tidak pernah melihat sisi buruk Alia. Mereka hanya melihat sisi baik Alia dari waktu ke waktu. Kalau pun ada yang sampai melihat sisi buruknya, maka bersiaplah untuk meninggalkan dunia ini.
"Bu, ada korban baru yang sekarang sedang viral." sekretarisnya memperlihatkan video seorang perempuan yang dianiaya suaminya.
"Kasihan sekali. Hubungi pihak keluarganya, kita harus memberi bantuan padanya."
"Baik, Bu." sahutnya sebelum meninggalkan ruangan atasannya itu.
"Nyonya yakin ingin membantu perempuan itu?" bisik Handi.
"Iyalah, ini kasus viral. Kalau aku yang mengulurkan tangan untuk membantunya, tentu reputasiku akan naik berkali kali lipat."
"Tapi, saya khawatir perempuan ini pura pura."
"Kalau begitu itu tugas kamu dong. Selidiki dengan benar, jangan sampai ada kesalahan."
"Baik Nyonya."
Handi sendiri, awalnya bekerja untuk David. Sejak dulu dia memang merupakan seorang yang sangat patuh dan tak tanggung tanggung dalam bekerja. Sekarang pun begitu, dibawah perintah Alia, dia melakukan semuanya bahkan menyingkirkan beberapa nyawa demi menjaga nama baik seorang Alia Susmita.