"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 | Dituduh Mencuri
“Apa ini, Aura?” tanya Ryan, matanya menatapku tajam sambil mengangkat uang tersebut.
Suasana kelas mendadak berubah tegang. Aku merasa seperti dinding-dinding kelas tiba-tiba rapat dan menekan tubuhku dari segala sisi. Rasanya, setiap napas menjadi lebih berat, semakin sulit untuk kuambil. Mataku berkeliling, mencoba mencari jawaban di wajah-wajah teman-teman sekelasku. Tapi yang kutemui hanyalah tatapan yang tak bisa kuterjemahkan. Beberapa penuh curiga, beberapa bingung, bahkan ada yang tampak sedikit ketakutan.
Edo, hanya bisa terdiam di tempatnya, matanya membelalak tanpa suara. Teman-teman yang biasa aku ajak bicara dengan santai kini menjauhkan diri, menghindar, seolah aku ini virus yang harus dijauhi.
Isabella, yang dari awal sudah duduk di pojokan kelas dengan senyum tipis yang selalu mengingatkanku pada sesuatu yang tak menyenangkan, seolah sudah menunggu momen ini. Senyum itu, yang selalu penuh dengan kepuasan tersembunyi, kini melebar semakin besar.
“Aku … aku nggak tahu, Ryan. Itu bukan milikku,” jawabku akhirnya, dengan suara serak yang nyaris tak terdengar.
Kata-kataku bergetar, hampir hilang di telingaku sendiri. Bagaimana bisa uang itu ada di tasku? Kenapa aku jadi terjebak dalam situasi ini? Pikiranku kalut, seperti ribuan pertanyaan yang saling bertabrakan.
Aku tak bisa mengingat bagaimana uang itu bisa berada di sana. Bahkan sebelum Ryan menyebutkan uang itu, aku tak pernah melihatnya.
Mataku tak bisa lepas dari uang itu. Di tangan Ryan, uang itu tampak seperti benda asing, seperti tuduhan yang bisa menghancurkan segalanya. Bagaimana aku bisa membuktikan bahwa aku tidak bersalah? Itu bukan milikku, dan aku tahu itu.
“Bukan aku yang mengambilnya, aku bersumpah!” ucapku dengan suara yang lebih keras, meskipun aku tahu suara itu bergetar.
Tapi aku tidak bisa diam. Aku tidak bisa membiarkan diriku terjebak dalam tuduhan yang tidak adil.
Mata-mata teman sekelas beralih ke arahku satu per satu, seperti lampu sorot yang menghakimi. Beberapa menatapku dengan curiga, ada yang terlihat ragu, tapi yang paling menonjol adalah tatapan Isabella. Senyumnya yang dingin dan penuh kepuasan itu jelas-jelas membuatku ingin meledak. Dia tampak seperti orang yang sudah menunggu momen ini dengan sabar.
“Tuh kan, aku sudah bilang dari awal, hanya Aura yang di dalam kelas saat uang itu hilang,” kata Isabella, nadanya penuh ejekan.
Senyumnya tak lagi terlihat tipis; kali ini, senyum itu sangat lebar, penuh dengan kemenangan. Seakan dia sudah mempersiapkan diri untuk saat ini sejak lama. Tak peduli apakah aku benar atau tidak, dia hanya ingin melihatku terjatuh.
Kelas menjadi riuh. Bisikan-bisikan mulai tersebar, membesar seiring waktu. Beberapa anak mulai mengajukan teori-teori aneh yang jelas-jelas tidak masuk akal. Mereka seperti menunggu kejatuhanku, bersiap melontarkan tuduhan yang lebih buruk.
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi rasanya napasku malah semakin sesak, semakin terbebani oleh perasaan cemas yang terus menggerogoti. Aku merasa seolah seluruh dunia berbalik melawanku. Kenapa harus aku yang terjebak dalam kebohongan ini?
Isabella tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, dia merebut uang dari tangan Ryan dan mulai menghitungnya dengan angkuh, suaranya terdengar nyaring setiap kali lembaran uang itu diselipkan. Aku hanya bisa menatap dengan kosong, merasa sangat kecil di hadapannya.
“Uang kas ini cuma setengah!” serunya, matanya melotot penuh tuduhan. “Setengahnya lagi mana?!”
Kelas semakin gaduh. Suara bisikan semakin keras, dan aku bisa merasakan tatapan tajam yang menusuk tubuhku. Semua orang menunggu penjelasan yang tak bisa aku berikan.
“Aku nggak tahu!” teriakku, mencoba bertahan meskipun suara itu mulai pecah. “Aku bersumpah, aku tidak mencurinya!”
Suaraku semakin goyah, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar. Tidak mungkin aku menyerah begitu saja. Namun, tatapan Isabella begitu tajam, begitu menghakimi, sehingga membuatku merasa seolah-olah aku memang bersalah. Aku menggigit bibirku, menahan agar air mata tidak jatuh. Aku harus kuat, tidak boleh menangis di depan mereka.
“Kalau bukan kamu yang mengambilnya, kenapa bisa ada di tasmu, hah?” Isabella menyindir, matanya mencabar.
Aku merasa lidahku kelu. Apa lagi yang bisa kukatakan? Aku bahkan tak tahu bagaimana uang itu bisa ada di tasku. Aku menatapnya dengan tatapan kosong, seakan-akan kata-kata yang keluar dari mulutku hanyalah kebohongan belaka.
Vanesa, yang duduk di sebelah Isabella, tiba-tiba maju mendekat. Matanya seperti harimau yang siap memangsa mangsanya.
“Huh ... mana ada maling yang mau ngaku,” katanya, sambil tersenyum sinis.
Beberapa anak di belakang mulai tertawa kecil, seolah itu adalah lelucon yang mereka semua sudah tahu jawabannya. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang membuncah. Mereka semua tidak tahu aku siapa, mereka tidak tahu siapa yang sebenarnya ada di balik semua ini.
Ryan, yang sejak tadi terdiam di tengah keributan, akhirnya mengangkat tangannya dan mencoba menenangkan kelas.
“Sudah, sudah!” katanya, suaranya sedikit lebih keras, memecah kegaduhan yang ada. “Yang penting uang kasnya sudah ketemu. Biar sisanya nanti aku ganti.”
“Ryan! Mana bisa begitu. Kita harus lapor ke Bu Tiana,” Isabella tidak mau kalah. “Ini harus diselesaikan dengan benar!”
Kelas semakin kacau dan akhirnya, Ryan memberi keputusan yang mengubah suasana. “Sudah … aku baru dapat informasi kalau sekolah dipulangkan lebih awal karena guru-guru sedang rapat. Kalian boleh pulang sekarang atau tetap di sini melihat acara pameran di aula.”
Anak-anak mulai berhamburan keluar, beberapa dari mereka memilih tetap tinggal. Namun aku, aku tidak tahu harus berbuat apa. Seakan seluruh dunia sudah menjauh dariku. Saat kelas mulai sepi, hanya aku dan Ryan yang tersisa.
...»»——⍟——««...
Aku berjalan ke luar dengan langkah cepat, hatiku penuh dengan kekhawatiran. Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil dompetku dan mengambil sejumlah uang yang ada di dalamnya.
Aku merasa bingung, tapi aku tahu harus melakukan ini. Aku harus mengembalikan uang itu. Aku berjalan ke rumah Ryan dengan langkah yang tidak pasti, seolah aku tahu bahwa apa yang aku lakukan mungkin tidak akan membantuku.
Rumah Ryan tampak sepi. Pagar hitam yang membatasi halaman rumahnya seperti menjadi penghalang yang semakin mengingatkanku pada kesalahan yang aku rasakan. Aku memberanikan diri untuk memanggilnya.
Tiba-tiba, muncul Ryan, mengenakan kaos putih yang lebih santai. Dia tampak berbeda dari tadi di kelas, namun tatapan matanya tetap sama—masih bingung, tapi ada sesuatu yang tampaknya ingin dia katakan.
“Aura, ada apa ke sini?” tanya Ryan, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.
“Anu … aku mau mengembalikan uang kas kelas,” jawabku dengan suara gemetar, sambil menyodorkan sejumlah uang yang aku pegang. “Tolong berikan ke Isabella.”
Ryan terlihat terkejut, lalu menyilangkan lengannya. “Berikan saja sendiri!” ujarnya, menghindari tatapanku.
Aku merasa semakin kecil. Dengan wajah murung, aku bergegas pulang, namun tiba-tiba Ryan terkekeh.
“Ada apa, Ryan?” tanyaku, berbalik menatapnya dengan kebingungan.
...»»——⍟——««...