"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Saling mengubah?
Lampu-lampu di dapur redup, menciptakan suasana yang hangat tapi tak terlalu sempurna. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi semangat Hana tak surut. Dia bangkit dari sofa, meregangkan tubuh, rambut panjangnya terurai liar saat dia menoleh ke Ryan.
"Oke, perutku keroncongan," katanya, satu tangan menekan perutnya. "Gimana kalau kita masak sesuatu?"
Ryan menatapnya, sedikit bingung. "Masak? Jam segini?" tanyanya dengan nada ragu. Ia merasa canggung, apalagi urusan dapur bukan keahliannya sama sekali.
Hana tersenyum jahil, matanya berbinar seperti biasa. "Iya! Sekarang! Aku lapar, dan ini kesempatan bagus buat pamer keahlian masakku. Lagipula, siapa tahu kau bisa belajar sesuatu." Tanpa menunggu jawaban, ia meraih tangan Ryan, menariknya ke dapur.
Dapur itu luas, terlalu mewah buat Ryan. Peralatan stainless steel mengilap, rak bumbu rapi berjajar di sudut. Ryan melirik ke sekeliling, merasa seperti tersesat di wilayah yang bukan miliknya. 'Semoga aku nggak merusak apa-apa,' pikirnya.
"Apa yang kita mau masak?" tanya Ryan sambil berdiri kaku di depan meja dapur.
Hana mulai membuka kulkas, mengeluarkan bahan-bahan. "Omelet sayuran. Simpel dan cepat." Ia meletakkan telur, paprika, bawang, dan jamur di atas meja.
Ryan mengangguk pelan. "Baiklah, aku bisa bantu apa?"
Hana tersenyum, menyerahkan telur dan mangkuk kaca. "Mulailah dengan memecahkan telur."
Dengan hati-hati, Ryan memecahkan telur pertama. Berhasil. Tapi di telur kedua, cangkangnya jatuh ke dalam mangkuk. "Sial, maaf," gumamnya, wajahnya memerah.
Hana terkekeh pelan, melirik sekilas. "Tidak apa-apa, ini hal biasa." Dengan cekatan, dia mengambil sendok dan mengeluarkan cangkang dari mangkuk. "Kau nggak perlu merasa tertekan."
Ryan tertawa kecil. "Sepertinya aku memang butuh belajar banyak."
Hana menepuk bahunya. "Santai aja. Semua orang juga mulai dari nol. Nikmati aja prosesnya."
Saat Ryan mengocok telur, dia mencuri pandang ke arah Hana yang dengan gesit memotong sayuran. Cahaya lampu memantul di wajahnya, menambah kesan hangat dan nyaman di ruangan itu. 'Dia benar-benar berbakat,' pikir Ryan, kagum.
"Jadi, kamu sering masak?" tanya Ryan, mencoba mencairkan suasana.
Hana menoleh sebentar, lalu tersenyum. "Iya, sejak kecil aku suka coba-coba masak. Kadang berantakan, tapi itu bagian dari serunya."
"Hebat. Aku jarang banget masak. Di rumah, ibu yang selalu urus semuanya," ujar Ryan, masih sibuk dengan telurnya.
Hana tersenyum. "Mungkin mulai sekarang, kamu harus coba lebih sering. Memasak itu kayak seni. Kamu bisa ekspresikan diri lewat rasa."
Ryan tertawa pelan. "Mungkin aku akan coba. Tapi jangan berharap hasilnya akan bagus."
Setelah semua bahan siap, Hana menyalakan kompor, menuangkan minyak ke wajan. "Sekarang, tuang telurnya perlahan," kata Hana.
Ryan melakukan dengan hati-hati. Suara desisan telur yang mulai matang memenuhi ruangan, aroma harum perlahan menyeruak.
"Wow, kelihatannya enak," komentar Ryan saat omelet mulai mengembang.
Hana tersenyum bangga. "Tentu saja. Ini hasil kerja tim."
Omelet tersaji di atas piring dengan hiasan daun parsley. "Voila! Omelet spesial ala kita," kata Hana, mengangkat piring itu dengan gaya dramatis.
Ryan tertawa. "Kamu benar-benar berbakat dalam banyak hal."
"Terima kasih atas pujiannya," balas Hana dengan sedikit membungkuk, pura-pura formal.
Mereka duduk di meja makan, berhadapan. Gigitan pertama membuat Ryan terkejut. "Ini enak banget!" katanya, tulus.
Hana tersenyum puas. "Lihat? Masak nggak seberat yang kamu kira."
Setelah selesai makan, Hana mengumpulkan piring kotor. "Aku cuci piringnya. Kamu bisa nonton lagi di ruang tamu."
"Tidak, biar aku yang cuci. Kamu sudah masak lebih banyak," tawar Ryan.
Hana tersenyum. "Baiklah, kita cuci bersama."
Di depan wastafel, mereka berdiri berdampingan, Ryan mencuci, Hana mengeringkan. Sesekali tangan mereka bersentuhan, membuat Ryan sedikit gugup. Tapi, dia menyukainya.
"Jadi, gimana? Lebih percaya diri di dapur sekarang?" tanya Hana sambil menyimpan piring terakhir.
"Sedikit lebih baik," jawab Ryan sambil tertawa. "Tapi masih butuh banyak latihan."
Hana menoleh, tersenyum jahil. "Aku bisa jadi gurumu kalau mau."
Ryan menatap matanya yang bercahaya hangat. "Aku akan sangat menghargainya."
Setelah selesai, mereka kembali ke ruang tamu. Hana menyalakan musik lembut. Suara piano memenuhi ruangan, menciptakan suasana tenang. Mereka duduk di sofa, lebih dekat dari sebelumnya.
"Hana," panggil Ryan pelan.
"Ya?" Hana menoleh, rambutnya tergerai.
"Terima kasih. Hari ini benar-benar berarti buatku. Lama nggak ngerasa sebaik ini."
Hana tersenyum lembut. "Aku juga merasa hari ini spesial."
Ryan menunduk sejenak. "Kamu tahu, aku biasanya susah untuk terbuka. Tapi, bersamamu, rasanya mudah."
Hana meletakkan tangannya di atas tangan Ryan. Sentuhannya hangat. "Kamu nggak harus pikul semuanya sendirian."
Ryan menatapnya, jantungnya berdetak cepat. "Terima kasih. Kamu benar-benar teman yang baik."
Hana menatapnya dalam-dalam. "Mungkin lebih dari itu," bisiknya.
"Apa?" tanya Ryan, memastikan dia tak salah dengar.
Hana tersipu. "Ah, lupakan saja," jawabnya malu-malu.
Mereka terdiam. Suara piano yang lembut menjadi latar belakang yang menyelimuti keheningan. Ryan ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya tertahan.
"Hana," panggil Ryan lagi.
"Ya?"
"Kau pernah merasa, pertemuan dengan seseorang bisa mengubah hidupmu?"
Hana terdiam sejenak. "Mungkin... Aku rasa pertemuan denganmu sudah mengubah banyak hal."
Ryan tersenyum tipis. "Aku juga merasa begitu."
Hana menatapnya dalam, senyumnya semakin hangat. "Mungkin, kita saling mengubah."
...----------------...
'Haaa~'
Hana menatap Ryan dalam-dalam, senyumnya masih tersisa. Ada keheningan yang menekan di antara mereka, tapi bukan keheningan yang canggung, lebih seperti sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
Mata Hana sedikit berkaca-kaca saat ia menarik napas pelan, matanya menatap jauh melewati sosok Ryan, seolah menyimpan sesuatu di balik tatapan lembutnya.
'Ya... saling mengubah... yaa...' pikirnya, senyuman tipis masih menggantung di bibirnya, tapi ada yang lebih dalam di balik itu, sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂