Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14 : cinta raka dan mimpi dimasa lalu
Malam itu, Putri kembali ke rumah Tiara dengan perasaan campur aduk. Pikirannya masih terpaku pada momen di mana Raka mencium keningnya sebelum ia buru-buru melarikan diri. Sesampainya di rumah, Putri langsung masuk ke kamar Tiara, wajahnya terlihat merah.
"Tiara...," Putri memanggil dengan suara pelan, sementara Tiara yang sedang membaca langsung menatapnya dengan rasa penasaran.
"Ada apa, Putri? Kok mukanya merah gitu?" Tiara bertanya sambil menyeringai jahil.
Putri duduk di pinggir tempat tidur, dan tanpa mampu menahan diri, ia mulai bercerita dengan nada malu-malu, "Raka... dia tadi cium keningku..."
Tiara langsung tertawa kecil, "Ciee, Putri! Kok nggak bilang-bilang sih, udah sejauh itu?"
Putri semakin menunduk, wajahnya memerah lagi. "Bukan gitu... aku nggak tahu harus ngapain. Dia tiba-tiba aja..."
Sebelum Putri sempat melanjutkan, suara pintu kamar yang terbuka perlahan membuat mereka berdua menoleh. Di ambang pintu, berdiri Raka dengan senyum tipis di wajahnya, seolah mendengar semua pembicaraan mereka. Putri langsung membeku, merasa semakin malu dan salah tingkah.
"Aku denger semuanya," kata Raka dengan santai sambil melangkah masuk.
Tiara hanya tertawa lebih keras dan tiba-tiba melompat dari tempat tidur. "Wah, udah deh! Aku keluar dulu ya! Kalian lanjut aja!" katanya sambil buru-buru meninggalkan kamar. Tiara menutup pintu dengan cepat dan... *klik* menguncinya dari luar.
Putri dan Raka terdiam sejenak, atmosfer di kamar menjadi canggung. Tidak ada yang berbicara, dan Putri hanya bisa menunduk, merasa malu dengan apa yang terjadi sebelumnya. Tiba-tiba, Raka mendekat dari belakang dan tanpa berkata apa-apa, memeluk Putri erat.
"Kamu cantik banget, Kak," bisik Raka dengan suara lembut di telinga Putri.
Putri semakin gemetar, wajahnya memerah sepenuhnya. Kata-kata manis Raka membuatnya tidak berdaya, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidak tahu harus bagaimana, sementara rasa malu terus menghantui. Raka kemudian mengecup lembut kepala Putri, membuatnya semakin kehilangan kata-kata.
Dalam diam, mereka berdua kemudian merebahkan diri di tempat tidur. Raka terus memeluk Putri dari belakang, tangannya mulai menyentuh melon kembarnya, gerakannya tak membuat putri menolak, ia justru hanyut dalam belaian cinta dari raka apalagi saat tubuhnya yang hangat semakin menempel erat. Putri yang masih belum bisa menenangkan detak jantungnya, tidak bisa memejamkan mata. Sementara Raka perlahan terlelap dalam pelukannya, Putri justru semakin gelisah. Setiap kali ia ingin memejamkan mata, pelukan Raka yang erat mengingatkannya pada momen tadi, dan membuat perasaannya berkecamuk antara canggung dan senang.
Pagi hari terasa hangat dan penuh cinta di kamar Tiara. Raka membangunkan Putri dengan lembut, menyentuh pipinya dan mengusapnya dengan penuh cinta. Tatapan matanya begitu hangat membuat Putri terbangun dengan senyum malu-malu. Raka kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Putri dengan lembut. "bangun, Kak," bisik Raka sambil tersenyum manis.
Putri semakin salah tingkah, wajahnya bersemu merah, namun tidak bisa menolak kehangatan dari Raka. Dengan mesra, Raka kemudian mengajak Putri mandi bersama. Awalnya Putri terdiam, jantungnya berdebar kencang, namun akhirnya ia mengangguk pelan, malu-malu. Mereka berdua pun mandi bersama, meski kehangatan air tak mampu meredakan rasa gugup Putri. Momen itu membuat hatinya semakin tak menentu, campuran antara malu dan perasaan cinta yang semakin tumbuh.
Setelah selesai mandi, mereka keluar kamar dan menuju ruang makan. Di sana, Tiara sudah menunggu mereka sambil menatap dengan senyum jahil. Sarapan pagi itu penuh canda tawa, meski Putri terus merasa salah tingkah di hadapan Tiara. Raka pun berangkat ke sekolah setelah sarapan, meninggalkan Putri dan Tiara untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.
Tiara yang sudah terbiasa dengan rutinitas hariannya mulai membereskan rumah, diikuti oleh Putri yang membantu dengan canggung. Mereka lalu mengerjakan cucian milik tetangga, berbagi tugas sambil berbincang santai. Namun, sepanjang kegiatan itu, Tiara terus menggoda Putri tentang kedekatannya dengan Raka. "Kalian udah kayak pasangan suami istri aja, pake acara mandi bareng segala, btw gimana punya adikku , gede yah ?" Canda Tiara sambil tertawa.
Putri hanya bisa tersipu malu, tak bisa membantah, memang harus di akui ukurannya memang besar dan berurat. Di hatinya, perasaan cinta pada Raka semakin kuat, tapi ia juga tak bisa menyembunyikan kegugupannya setiap kali Tiara menyebut soal perasaannya. Setelah semua cucian selesai, mereka berdua berjalan menuju rumah tetangga untuk mengantarkan cucian yang sudah bersih, dan sepanjang perjalanan, Tiara tak berhenti menggoda Putri. "Kalau udah resmi sama Raka nanti, aku mau jadi saksi di nikahan kalian, ya," ucap Tiara dengan tawa kecil.
Putri semakin tersipu dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, merasa tak berdaya menghadapi ledekan Tiara yang terus membuatnya semakin salah tingkah. Namun, di balik semua itu, hatinya berbunga-bunga karena perasaannya pada Raka yang kini semakin tak terbendung.
Beberapa hari setelah membantu Raka berjualan gorengan, Putri dan Tiara mulai merencanakan sesuatu yang lebih besar. Mereka memutuskan untuk membuka usaha dengan konsep angkringan, namun dengan sentuhan yang lebih modern dan semi bar. Raka tetap fokus pada gorengannya, sementara Tiara dan Putri mengurus aneka minuman yang mereka racik dengan keahlian mereka sebagai mantan pemandu karaoke.
Angkringan yang mereka buka mengusung suasana santai dengan meja-meja kayu dan lampu-lampu hias yang memberikan kesan hangat di malam hari. Dengan keahlian Tiara dan Putri dalam meracik minuman, mereka menawarkan berbagai jenis minuman mulai dari teh, kopi, hingga minuman dingin dengan varian rasa unik yang menarik perhatian para pembeli. Tiara yang lihai berinteraksi dengan pengunjung membuat suasana angkringan semakin hidup, sementara Putri dengan senyuman ramahnya membuat para pelanggan merasa nyaman.
Malam pertama usaha mereka dibuka, tempat itu langsung ramai. Pembeli datang silih berganti, tertarik dengan konsep angkringan semi bar yang terasa santai tapi tetap menyenangkan. Raka sibuk melayani para pembeli gorengannya, sementara Putri dan Tiara sibuk meracik minuman dan melayani pengunjung yang terus berdatangan. Pengunjung menikmati suasana yang diciptakan oleh trio tersebut, dan tawa-tawa kecil terdengar dari meja-meja yang dipenuhi pelanggan.
Namun, seiring dengan ramainya pengunjung, Tiara dan Putri mulai kewalahan. Kedua tangan mereka sibuk meracik minuman, sementara keringat mulai mengalir di wajah mereka. Setiap kali satu minuman selesai, pesanan lain sudah menunggu. Putri dan Tiara sesekali bertatapan dan saling tersenyum lelah, namun rasa bahagia terpancar jelas dari wajah mereka.
"Astaga, kita nggak nyangka bakal seramai ini," ucap Tiara sambil mengelap keringat di dahinya. Putri hanya tertawa kecil, meskipun napasnya juga terengah-engah.
"Yang penting laris, ra. Capek nggak apa-apa, asal usaha kita berhasil," jawab Putri dengan senyum lelah namun penuh kebahagiaan. Mereka terus bekerja sama dengan semangat, melayani setiap pesanan dengan cepat, meski terkadang mereka sampai harus berhenti sejenak untuk menarik napas.
Semakin malam, pengunjung masih terus berdatangan. Suasana angkringan menjadi semakin hidup, dipenuhi obrolan dan tawa pengunjung yang menikmati suasana santai namun seru. Tiara dan Putri merasa lega, meskipun tubuh mereka sudah hampir tak sanggup berdiri karena lelah. Wajah mereka penuh keringat, namun hati mereka penuh kebahagiaan. Usaha yang mereka bangun bersama akhirnya berjalan lancar dan berhasil menarik banyak pembeli.
"Besok kita harus siapin tenaga lebih, nih. Kalau tiap malam begini, bisa-bisa kita harus cari bantuan tambahan," canda Tiara dengan napas yang masih terengah-engah.
Putri tersenyum lebar, meskipun kakinya terasa lemas. "Iya, lihat ra. Ini baru permulaan. Kita berhasil!"
Hari demi hari berlalu, usaha angkringan yang dibangun oleh Tiara dan Putri semakin stabil. Grafik penjualan menunjukkan tren yang cukup naik, memberikan harapan besar bagi keduanya. Setiap malam, angkringan mereka tak pernah sepi, dan pengunjung semakin betah dengan konsep unik yang mereka tawarkan. Dengan semakin ramainya usaha, Tiara dan Putri merasa bahwa mereka membutuhkan lebih banyak bantuan untuk melayani pelanggan yang terus berdatangan.
Suatu hari, Tiara mengajak beberapa teman lama mereka dari klub malam. Selly, Bunga, Mita, dan Mayang untuk bergabung sebagai karyawan di angkringan. Mereka berempat dulu adalah rekan kerja Putri dan Tiara saat bekerja sebagai pemandu karaoke, dan sekarang, mereka membawa pengalaman dan keterampilan yang sama untuk membantu mengembangkan usaha angkringan. Kehadiran Selly, Bunga, Mita, dan Mayang memberi angin segar. Dengan lebih banyak tangan yang membantu, Putri dan Tiara kini dapat lebih fokus pada pengembangan usaha dan melayani pelanggan dengan lebih baik.
Malam demi malam, angkringan mereka semakin maju. Suasana angkringan menjadi lebih hidup dengan keceriaan dari pelanggan tetap dan pengunjung baru. Dengan Selly, Bunga, Mita, dan Mayang yang membantu di meja dan meracik minuman, Putri dan Tiara bisa sedikit bernapas lega. Mereka menikmati keberhasilan yang mulai terasa nyata di depan mata.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mengguncang hati Putri. Suatu malam, setelah mereka selesai bekerja, Putri duduk sendirian di depan televisi sambil menikmati minuman dingin. Di layar televisi, sebuah berita menarik perhatiannya, pengumuman audisi menyanyi yang akan diadakan minggu depan.
Putri tertegun sejenak, matanya terpaku pada layar televisi. Ingatan tentang mimpinya yang dulu, mimpi menjadi seorang penyanyi, kembali memenuhi pikirannya. Rasa senang yang sebelumnya ia rasakan karena kesuksesan angkringan, perlahan mulai bergeser menjadi rasa bimbang. Putri menyadari bahwa di dalam hati kecilnya, impian untuk menjadi penyanyi belum sepenuhnya hilang.
Audisi itu bisa menjadi kesempatan yang selama ini ia tunggu. Namun, di sisi lain, angkringan ini adalah usaha yang ia bangun bersama Tiara. Bisakah ia mengejar mimpi lamanya tanpa mengorbankan usaha yang sedang berkembang pesat ini? Putri mulai merasa terombang-ambing antara dua pilihan, melanjutkan kesuksesan usahanya yang sudah berjalan lancar atau mengejar impiannya menjadi penyanyi, sesuatu yang selalu ia idamkan sejak dulu.
Malam itu, Putri termenung. Perasaannya yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan rasa bangga, kini mulai berubah menjadi kebimbangan yang menggelisahkan. Sambil memandangi layar televisi yang masih menayangkan audisi menyanyi, Putri hanya bisa bertanya dalam hati, haruskah ia tetap bertahan di angkringan atau mencoba mengejar mimpi yang telah lama ia pendam?