Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Pengejaran di Jantung Kegelapan
Malam di dunia yang hancur ini seakan tidak pernah berakhir. Langit hitam pekat, dipenuhi dengan bintang-bintang yang jauh, seakan mengamati kehidupan yang semakin rapuh di bawah mereka. Angin yang membawa debu dan radioaktif berhembus dengan tenang, menciptakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Orion dan Elara berdiri di tepi jurang, masing-masing saling berpandangan dengan ekspresi lelah, namun penuh tekad.
“Eden…,” bisik Elara, mengulang kata yang hampir menjadi mantra bagi mereka. “Kita hampir sampai.”
Orion menatap ke kejauhan, matanya menatap kabut tebal yang menyelimuti lembah di bawah. "Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan berhenti mengejar."
Suara langkah-langkah mereka mulai menghiasi keheningan malam saat mereka melangkah ke jalur sempit di sepanjang tepi ngarai. Setiap langkah terasa berat, dan meskipun kaki mereka hampir tidak bisa bergerak, mereka tahu bahwa waktu adalah musuh mereka yang paling berbahaya. Anarkis, dengan semua peralatan canggih mereka, sudah sangat dekat. Waktu yang mereka miliki semakin sedikit, dan Eden adalah satu-satunya tempat yang dapat memberi mereka harapan.
Elara menggigit bibirnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. "Apa yang akan kita lakukan setelah kita sampai?" tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Orion menoleh padanya, wajahnya yang keras kini lebih lembut, meski hanya sedikit. "Kita bertahan hidup. Kita menemukan solusi untuk mengakhiri semua ini. Kita buat dunia ini kembali hidup."
Tapi Elara tahu, bahwa harapan itu semakin tipis. Sebuah dunia yang begitu hancur seperti ini tidak akan bisa diperbaiki hanya dengan teknologi atau kekuatan. Namun, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Eden adalah satu-satunya jalan keluar yang mereka miliki.
---
Mereka berjalan menyusuri jalur yang lebih sempit, dengan jurang yang dalam di sebelah kanan mereka. Setiap langkah hati-hati, setiap gerakan penuh kewaspadaan. Angin semakin kencang, dan kabut tebal mulai mengalir menuruni lembah, menyelimuti mereka dalam kegelapan.
Orion menoleh ke belakang, memeriksa jejak mereka. "Kita harus hati-hati. Mereka mungkin sudah mengetahui jalur kita," kata Orion pelan, suaranya berat.
Elara hanya mengangguk, namun hatinya mulai gelisah. Mereka sudah terlalu lama berada di bawah bayang-bayang ancaman, dan meskipun mereka berhasil melarikan diri beberapa kali, dia tahu bahwa tidak ada jaminan mereka bisa terus bertahan.
Tiba-tiba, suara langkah-langkah berat terdengar dari belakang mereka. Terkesiap, Orion dan Elara segera bersembunyi di balik bebatuan besar yang tersebar di jalur sempit ini. Mereka bisa mendengar langkah kaki yang teratur, pelan namun pasti, mendekat dengan sangat cepat.
Elara menahan napas, matanya memandangi Orion dengan ketakutan yang hampir tak terucapkan. Mereka tidak bisa tertangkap sekarang. Tidak setelah sejauh ini.
Orion mengisyaratkan Elara untuk tetap diam, lalu dia memeriksa keadaan di sekitar mereka dengan cermat. Di balik kabut, mereka hanya bisa melihat siluet, bayangan para pengejar mereka yang bergerak maju.
Akhirnya, saat mereka mendekat, Orion melemparkan sebuah batu kecil ke arah lain untuk menarik perhatian mereka. Batu itu terlempar dengan keras, jatuh ke dasar ngarai. Segera, suara langkah kaki berhenti, lalu beberapa dari para anarkis mulai berlarian ke arah suara itu.
Orion menarik napas lega, memberi isyarat kepada Elara untuk terus bergerak. Dengan hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan mereka, kali ini lebih cepat. Setiap detik berharga.
Namun, tak lama setelah mereka mulai berjalan lagi, Elara merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getaran halus di tanah. Sebuah kendaraan besar, entah dari mana, mulai merayap mendekat, suara mesin yang berat memecah keheningan malam.
"Mobil-mobil mereka," bisik Elara. "Kita harus berhenti."
"Terlalu terlambat," jawab Orion dengan nada rendah. "Kita harus menyeberangi lembah ini sebelum mereka menemukan kita."
Mereka berlari lebih cepat, menambah kecepatan mereka, tetapi kendaraan itu masih terlalu dekat. Mereka berada di tempat yang tidak ada jalan keluar, hanya tebing yang curam di sebelah kiri dan jurang besar yang menganga di sebelah kanan. Jika mereka tidak segera menemukan jalan keluar, mereka akan terjebak.
"Tunggu sebentar!" kata Elara, tiba-tiba berhenti dan memandang ke arah kiri mereka. "Di sana!" Dia menunjuk ke sebuah jembatan gantung tua yang tampaknya hampir hancur, tetapi masih cukup untuk menyeberangi jurang.
"Jembatan itu terlalu rapuh," kata Orion dengan nada keras, tapi matanya memperhatikan dengan cermat. "Kita tidak punya pilihan lain."
Mereka berlari menuju jembatan, suara kendaraan anarkis yang semakin mendekat seperti ancaman yang tak bisa dielakkan. Jembatan gantung itu berayun pelan, dan setiap langkah terasa seperti ujian hidup dan mati. Keduanya tahu, jika satu langkah salah, mereka akan jatuh ke dalam jurang yang dalam, dan itu akan menjadi akhir dari semuanya.
"Cepat!" Orion berteriak, memacu Elara untuk mempercepat langkahnya.
Ketika mereka hampir mencapai tengah jembatan, terdengar suara keras dari belakang—sebuah ledakan yang menggetarkan tanah. Tanpa peringatan, beberapa kabel yang menahan jembatan mulai putus, membuat jembatan itu berayun lebih keras, hampir tidak stabil.
"Orion!" Elara menjerit, tubuhnya terhuyung-huyung, nyaris jatuh.
Dengan kekuatan terakhirnya, Orion meraih tangannya dan menariknya ke arahnya. "Tahan!" serunya, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan. "Jangan lepas!"
Namun, justru ketika mereka hampir sampai di sisi lain, sebuah ledakan lagi terjadi di ujung jembatan. Kabel yang tersisa putus, dan jembatan mulai ambruk di bawah kaki mereka. Dalam detik yang sangat cepat, Orion menarik Elara menjauh dari sisi jembatan yang runtuh.
Jembatan itu runtuh sepenuhnya ke bawah, terhenti dengan keras di dasar jurang. Mereka berdiri di tepian, nyaris tidak selamat.
Dengan napas terengah-engah, mereka berdua melihat ke belakang. Kendaraan anarkis sudah sampai di ujung jembatan yang runtuh, tapi mereka tidak bisa menyeberang. Di satu sisi, itu adalah kemenangan kecil, namun di sisi lain, mereka semakin terpojok.
"Jangan berhenti!" kata Orion, memaksakan diri untuk tersenyum meski hatinya berat. "Kita teruskan."
Namun, Elara merasa lelah lebih dari sebelumnya. Mereka sudah sangat jauh, dan meskipun mereka selamat untuk saat ini, dia tahu bahwa waktu mereka semakin habis.
"Orion," katanya dengan suara lemah. "Aku… aku tidak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan."
Orion menatapnya, matanya tajam, penuh keyakinan. "Kau akan bertahan. Kita akan bertahan, Elara. Eden ada di depan mata."
Namun, saat mereka melanjutkan perjalanan, mereka tahu bahwa ancaman besar masih menunggu di setiap langkah mereka. Waktu yang mereka miliki semakin sedikit, dan setiap gerakan terasa semakin berat. Tetapi harapan masih ada. Meskipun tipis, itu masih ada.
---
Elara menatap Orion dengan mata lelah, tetapi mereka tidak pernah berhenti berjalan. Mereka tahu bahwa meskipun Eden adalah tempat terakhir yang mereka tuju, itu juga menjadi ujian terakhir mereka—apakah mereka akan sampai di sana dengan hidup atau menjadi korban dunia yang telah lama hancur ini.
Namun, satu hal yang pasti: mereka akan bertarung habis-habisan untuk bertahan hidup, karena di dunia yang gelap ini, hanya yang terkuat yang mampu bertahan.