Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Setelah makan malam, Arka menawarkan untuk mengantar Siera pulang. Namun, alih-alih menuju rumahnya, mobil itu berbelok ke arah yang berbeda.
Siera mengernyit, matanya menatap jalanan yang terasa familier. "Loh, Ka, ini kan jalan ke taman?" tanyanya, nada heran bercampur penasaran.
Arka tersenyum kecil, matanya tetap fokus ke jalan. "Iya, Sie. Kita mampir sebentar, ya? Lihat bintang. Udah lama kita nggak ke sana." Nada bicaranya lembut, seolah ada kenangan yang ingin ia ceritakan, tetapi memilih menyimpannya untuk saat yang tepat.
Siera terdiam sejenak. Pandangannya beralih ke luar jendela, lalu kembali menatap wajah Arka dari samping. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan.
Mobil berhenti di tempat parkir taman yang sepi. Suasana begitu tenang, hanya ada gemerisik dedaunan dan cahaya lembut dari lampu taman yang redup. Arka keluar lebih dulu, lalu berjalan memutar untuk membuka pintu Siera.
“Ayo,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Senyumnya hangat, seperti malam itu adalah malam yang ingin ia bagi sepenuhnya pada Siera.
Siera ragu sejenak, menatap uluran tangan itu dengan bingung. Haruskah ia menyambutnya?
Namun, tatapan Arka yang lembut, dipadu dengan gestur sabarnya, perlahan mengikis keraguannya. Ia pun menyambut tangan itu dengan sedikit gugup.
Mereka berjalan perlahan di bawah sinar bulan yang menggantung indah di langit. Bintang-bintang berkerlip, seolah menjadi saksi diam dari momen itu. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang tak bisa mereka jelaskan.
Untuk pertama kalinya tangan mereka saling bertaut. Sentuhan itu kecil, tapi penuh arti. Sungguh, ada debaran yang tidak bisa mereka pungkiri.
Demi mengusir rasa gugupnya, Siera mengalihkan pandangannya ke atas. “Cantik, ya, bulannya,” ucap Siera, suaranya pelan namun cukup terdengar. Pandangannya terarah ke langit, terpukau oleh keindahan malam.
Arka menoleh, namun bukan ke langit. Matanya jatuh pada Siera, wajahnya yang diterangi cahaya bulan terlihat begitu memesona di matanya.
“Iya, Sie. Kamu cantik,” jawabnya lirih namun penuh ketulusan.
Siera tersentak, cepat-cepat menoleh padanya. Matanya membesar, refleks mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Ha? Apa, Ka?”
Arka tersenyum lebih lebar, kali ini tak ada ragu dalam suaranya. “Bulan dan kamu sama-sama cantik, Sie.”
Wajah Siera memanas, dan ia berusaha mengalihkan pandangannya. Namun, rona merah di pipinya tak mampu ia sembunyikan. Kata-kata Arka menggetarkan sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang tak pernah ia duga akan muncul malam itu.
Arka melangkah perlahan, menggenggam tangan Siera dengan lebih erat, seolah ingin memastikan kehadirannya. Dengan lembut, ia menuntunnya menuju sebuah bangku kayu yang terletak di tengah taman, di bawah naungan pohon besar yang dihiasi sinar bulan.
Malam semakin larut, tetapi suasana di taman itu tetap terasa magis. Hembusan angin malam membawa keheningan yang menenangkan, sementara daun-daun berbisik pelan, seolah mengiringi mereka.
Siera dan Arka akhirnya duduk berdampingan di bangku itu. Siera kembali mengarahkan pandangannya ke langit yang bertabur bintang, bibirnya membentuk senyum kecil. Ada ketenangan di sana, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam kesehariannya.
Namun, Arka di sampingnya terlihat berbeda. Tatapannya tak lagi menatap langit seperti milik Siera. Sorot matanya menyiratkan sesuatu, campuran gugup dan tekad yang kuat.
“Sie,” panggilnya, memecah keheningan.
Siera menoleh. “Iya, Ka?” tanyanya, nada suaranya lembut.
Arka menghela napas pelan, lalu berdiri di hadapannya. Tatapannya serius, namun penuh dengan kehangatan. “Ada sesuatu yang harus aku lakukan malam ini. Sebenarnya, hal penting ini seharusnya aku lakukan dari awal. Maaf ya, Sie, kalau sedikit terlambat.”
Siera mengernyit, bingung dengan kata-katanya. Namun sebelum ia sempat bertanya, Arka mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Ketika ia membuka kotak itu, sebuah cincin sederhana namun elegan berkilau.
Siera terdiam. Nafasnya tercekat, matanya membesar melihat benda kecil itu.
Arka kemudian berlutut, sesuatu yang belum pernah Siera bayangkan akan dilakukan oleh pria itu. Sorot matanya yang tajam kini dipenuhi kelembutan, membuat hati Siera bergetar.
“Sie,” suara Arka terdengar dalam dan tulus. “Aku ingin kamu tahu, dari semua yang pernah aku lewati, kamu adalah satu-satunya yang selalu membuat semuanya terasa berarti. Aku ingin kita terus begini, saling menguatkan, saling melengkapi. Aku benar-benar menyayangimu, Siera. Dan malam ini, aku ingin ingin menyampaikan…”
Ia mengangkat cincinnya, tepat di hadapan Siera. “Siera Anindita, Please be My Wife.”
Siera memang telah menerima rencana perjodohannya dengan Arka. Namun, meski demikian, air mata tetap menggenang di sudut matanya. Ia tak pernah menyangka momen ini akan datang, apalagi terjadi malam ini, di tempat yang begitu sederhana namun penuh kenangan bagi mereka. Tubuhnya gemetar, bukan karena ragu, tetapi karena rasa haru yang begitu meluap-luap, tak mampu ia bendung lagi.
Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Yes, I will.”
Arka tersenyum lebar, senyum yang begitu jarang terlihat di wajahnya. Ia bangkit, menyematkan cincin itu di jari manis Siera dengan tangan yang gemetar karena bahagia.
Ketika cincin itu terpasang dengan sempurna di jari Siera, Arka menariknya ke dalam pelukan. "Terima kasih, Sie," bisiknya lembut di telinga Siera, suaranya begitu dekat, membuat hati Siera berdebar tak terkendali.
Sebelum Siera sempat merespons, Arka memberikan kecupan singkat di keningnya. Sentuhan itu terasa begitu hangat, dan justru membuat pipi Siera semakin memerah. Perasaan itu datang begitu cepat, seperti aliran darah yang berlari kencang ke wajahnya, berhasil membuatnya terdiam.
***
Siera buru-buru membuka pintu mobil sebelum Arka sempat membukakannya untuknya. “Thank you, Ka,” ucapnya cepat, lalu berlari menuju rumahnya dengan langkah ringan, tak ingin terlihat canggung.
Arka hanya bisa tersenyum melihatnya. “Salah tingkah kamu lucu banget, Sie,” gumamnya pelan, sambil menggelengkan kepala.
Tak lama kemudian, ponsel Siera berbunyi, menandakan pesan baru yang masuk.
“Gak mau lihat aku pulang lewat jendela nih?” tulis Arka, disertai emotikon senyum.
Siera terdiam sejenak, lalu melangkah ke jendela. Perlahan, ia membuka gorden dan menatap mobil Arka yang masih terparkir di depan rumahnya.
"Salting-nya lucu banget sih, Sie. Haha," tulis Arka lagi, dengan nada penuh canda.
“Aku pulang dulu ya, Good Night sayang,” lanjut Arka dalam pesan terakhir.
Tak ada satu pun pesan Arka yang dibalas oleh Siera. Ia hanya merasa bingung, tak tahu harus menjawab apa. Dengan hati berdebar, Siera melambaikan tangan dari balik jendela, lalu perlahan menutup gorden, menyembunyikan senyum malu yang masih tersisa di wajahnya.
Siera kemudian berputar-putar di kamarnya, meloncat kegirangan seperti anak kecil yang baru saja menerima kejutan manis. Gebrakan Arka hari ini benar-benar membuatnya salah tingkah, dan entah kenapa, hatinya terasa melompat-lompat dalam kegembiraan yang tidak bisa ia tahan.
Dia berhenti sejenak, memandang dirinya di cermin dengan senyum lebar, lalu tertawa kecil. "Aduh, Siera, kamu ini kenapa sih?" gumamnya sambil menyentuh pipinya yang masih terasa panas.
Ia kembali melompat-lompat, melupakan semua rasa canggung yang tadi. “Gila, deh! Arka itu…” Siera berhenti sebentar, seolah mencari kata-kata yang tepat, namun yang keluar hanya tawa kecil.
“Ahhhhhh…” teriak pelan Siera kegirangan.
Rasanya seperti ada sesuatu yang baru saja berubah dalam dirinya, dan meskipun bingung, Siera merasa sangat senang. Bagaimana bisa satu hari bisa penuh kejutan seperti ini? pikirnya sambil melanjutkan lompatannya yang ceria, merasa sedikit gila namun bahagia.
walah sipa yah...