Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Pulang
Petuah-petuah dari Rei membuatku berpikir keras. Dua hari setelah pertemuanku dengannya, aku tidak segera menghubungi Dave. Komunikasi kami hanya sebatas Dave menanyakan kabar Carla dan aku. Hmm, setelah ada kejadian begini baru pria itu memperhatikan putri semata wayangnya.
Ternyata ada bagusnya juga. Mungkin ini adalah salah satu hikmah atas ujian ini tapi aku masih belum menemukan hikmah yang lain atas permasalahan ini. Sungguh, perasaanku sangat kacau. Sebentar aku siap mengikuti nasehat dari Rei, sebentar aku kembali menciut. Ditambah cemburu dan amarah yang bergejolak di dalam dada.
Mungkin benar yang dikatakan Rei. Ada orang ketiga tak kasat mata yang senang menganggu. Hingga membuat hatiku gundah gulana. Aku harus bisa melawannya. Segera aku beristigfar, memohon ampun dan kekuatan pada Yang Maha Kuasa.
"Aku harus kuat," ucapku lirih namun tegas.
Ku raih ponsel yang ku letakkan di atas meja rias. Untuk sesaat aku bingung antara mengirim pesan singkat atau langsung melakukan panggilan pada Dave.
"Sebaiknya ku telpon saja," jawabku sendiri.
Panggilan masuk dariku baru masuk satu kali langsung dijawab oleh Dave. Apa dia memang menunggu telpon dari ku?
"Halo!" sapa pria di seberang sana.
Benar yang menjawab panggilan masuk dariku adalah seorang pria tapi bukan suara ini. Suara siapa ini? Hatiku bergejolak semakin tak karuan.
"Di mana Dave?" aku tak ingin basa-basi.
"Oh, Dave sedang mandi," jawab pria itu.
Tubuhku memanas akibat darahku yang mendidih. Mandi? Apa yang telah mereka lakukan.
"Kau tahu, Dave sangat hebat di ranjang. Aku sangat menyukainya," timpal pria itu.
Aku yakin dia pasti Noel. Dasar pria jantan-betina! Ingin aku mengutuk pria itu namun ku urungkan. Berdebat melalui ponsel sangat tidak berguna. Tunggu saja nanti saat aku bertemu dengannya.
"Baguslah," jawabku sekenanya.
Hening sesaat. Pria itu pasti bingung ingin menjawab apa. Dia tidak menyangka aku akan berkata seperti itu.
"Siapa yang menelpon?" tanya suara pria lagi.
Meski suaranya agak jauh. Namun, aku dapat mengenali pemilik suara itu. Tak ada jawaban atas pertanyaan Dave. Aku yakin pria jantan-betina itu langsung menyerahkan ponsel pada Dave.
"Sayang!" seru Dave.
"Bisa jemput aku?"
"Tentu saja. Aku akan menjemputmu sekarang," Dave terdengar sangat senang.
"Ok. Aku akan siap-siap. Hati-hati di jalan!"
Aku langsung memutus panggilan. Tak ingin berlama-lama bicara dengannya. Bukan pada Dave tapi karena ada Noel di sampingnya. Aku tidak ingin memulai perang lebih dulu. Aku akan melakukan persis seperti saat aku ingin Dave menyentuhku pertama kali dulu.
Dua jam berikutnya, Dave tiba di depan pintu vila. Aku dan Carla sudah siap dari tadi. Pria itu masih sama. Sangat tampan. Padahal dia mengenakan pakaian kasual. Namun, tetap tidak mengurangi ketampanannya.
Perasaanku seketika melunak. Pria yang sangat kucintai ini sedang sakit. Sebagai seorang istri, aku akan menjadi dokter baginya. Jika saja Dave mengalami sakit medis tentunya ada dokter ahli yang bisa menyembuhkannya. Kali ini aku yang akan bertindak sebagai dokter.
"Sayang!" seru Dave saat melihat Carla yang berlari ke arahnya.
"Papa cudah nda cibuk lagi?" tanya Carla.
Gadis kecil itu langsung menghambur ke papanya saat melihat sosok Dave berdiri di depan pintu vila. Aku memang sengaja menyuruh bi Ijah untuk membuka pintu demi menyambut kedatangan Dave.
Aku tak ingin ada penghalang saat pertemuan pertama kami setelah sembilan hari tidak bertemu. Bukannya aku lebay tapi cara ini memberiku sedikit kekuatan untuk siap berperang.
"Iya," jawab Dave sambil menghujani Carla dengan ciuman.
"Itu ciapa?" tanya Carla sambil menunjuk ke belakang punggung Dave.
Dave cukup canggung. Ekspresinya terlihat tidak enak. Aku tidak perlu repot-repot untuk mengetahui siapa orang yang dimaksud oleh Carla. Pasti pria jantan-betina itu turut serta.
"Siapa, nyah?" tanya bi Ijah.
"Temannya tuan, bi," aku terpaksa berbohong.
Tidak mungkin juga aku katakan kalau pria itu adalah kekasih tuannya. Bisa-bisa bi Ijah terkena serangan jantung mendadak. Di sini aku merasa beruntung lagi. Untung Noel itu laki-laki. Setidaknya tidak membuat bi Ijah berpikir macam-macam.
"Oh!" seru bi Ijah.
"Bibi beresin kopernya ke mobil dulu ya, nyah," timpal bi Ijah seraya berlalu pergi menyeret dua koper.
Noel berjalan masuk dengan percaya diri. Wajahnya tersenyum cerah saat mendekati Carla.
"Hai, cantik!" sapa Noel.
"Aku ..."
"Dia teman papa. Namanya om Noel," Dave langsung memotong ucapan Noel.
Ekspresi Noel langsung berubah kecut. Aku tertawa dalam hati melihatnya. Masa iya dia ingin mengenalkan dirinya pada Carla sebagai kekasih papanya atau sebagai papa atau mama sambungnya. Aku saja bingung menentukannya.
Timbul penasaran dalam benakku. Di antara mereka berdua siapa yang lebih feminim? Dari bentukannya, mereka berdua sama-sama terlihat sebagai lelaki normal. Pria impian setiap wanita, termasuk aku. Tapi bagaimana saat mereka berhubungan? Siapa yang menjadi wanitanya?
"Sial!" aku mengutuk dalam hati.
Bisa-bisanya aku membayangkan adegan ranjang mereka. Ini gara-gara Noel yang menjawab panggilanku tadi.
"Om boleh gendong?" Noel berusaha mendekatkan diri pada Carla.
Aku tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana ekspresi putriku karena punggungnya menghadap ke arahku. Carla diam tak bicara lalu aku melihat gerakan kepalanya yang berarti tidak.
"No!" tolak Carla.
Aku senang bukan main melihat penolakan Carla.
"Kenapa tidak boleh?" nada bicara Noel menyiratkan tidak suka atas penolakan Carla.
"Cala tidak kenal om," jawab Carla.
"Bukannya sekarang sudah kenal?" balas Noel.
"Tapi Cala tidak cuka cama om," Carla cepat membalas pernyataan pria itu.
Wajah Noel bertambah kecut. Saat dia menoleh, pandangan kami beradu. Tatapannya tajam. Menyiratkan permusuhan. Tentunya aku tidak mau kalah. Aku membalas tatapannya tak kalah tajam.
"Pasti mamamu yang mengajari, ya?" tanya Noel dengan gaya menyindir.
Carla berbalik lalu tersenyum padaku. "Mama!" panggilnya.
Aku melangkah mendekati Dave dan Carla. Kedua tangannya terbuka meminta untuk digendong. Aku tersenyum lalu mengambil alih putriku dari papanya.
"Tentu saja," balasku.
"Lagipula bukan muhrim!" tegasku sambil berjalan melewati dua pria itu.
Aku memilih masuk ke dalam mobil sebelum emosiku tambah meledak. Dave cukup membuatku kesal karena mengajak pria itu menjemput ku. Jurus apa yang digunakannya hingga membuat Dave menuruti kemauannya.
"Nyonya, semuanya udah beres," ucap bi Ijah melalui kaca jendela mobil.
"Ini bekalan buat nona muda di jalan," timpalnya sambil memberikan satu tas berisi dua kotak makan, satu botol air minum, dan beberapa camilan ringan.
"Makasih ya, bi. Carla, salim dulu sama nenek Ijah."
Gadis kecil itu langsung menuruti perintahku.
"Nenek, Cala pulang dulu, ya. Nanti Cala ke sini lagi. Main cama nenek dan kakak," ucap Carla.
Bi Ijah tersenyum. Terlihat gurat senang bercampur sedih di wajahnya. Senang karena Carla mau menemani dan bermain bersama anak bi Ijah yang lumpuh. Sedih karena harus berpisah dengan gadis kecil yang energik ini.
"Nyonya, maaf ya kalau saya ikut campur. Saya ngga suka sama temannya tuan. Apalagi cara dia menatap nyonya. Nyonya hati-hati ya!" seru bi Ijah.
Wanita paruh baya itu ternyata memperhatikan adegan kami tadi. Aku salut dengan perasaan bi Ijah yang cukup tajam.
"Iya, bi. Makasih ya," ucapku sambil tersenyum.
Usai berpamitan pada bi Ijah. Kedua pria itu berjalan masuk ke dalam mobil. Dave duduk di kursi penumpang denganku. Sedangkan Noel, duduk di depan bersama pak Ujang.
Raut wajahnya kembali kecut. Saat mobil berjalan perlahan keluar halaman vila, pria itu menatapku dari kaca spion. Dave sedang sibuk bermain dengan Carla. Kesempatan bagiku untuk memanasi Noel. Aku mencondongkan tubuhku sedikit ke depan. Untungnya aku duduk tepat di belakang Noel.
"Dave sangat suka bermain di gunung kembar milikku. Apa dia juga begitu padamu? Aku rasa tidak. Karena punyamu sangat datar," ucapku setengah berbisik.
Netra Noel membulat. Dia sempat berbalik tapi diurungkan. Mungkin pria itu ingin membalas ku tapi kondisinya tidak memungkinkan. Aku tersenyum penuh kemenangan dan tak lupa ku tambahkan mengacungkan jari tengah ke udara padanya.