Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Mau, Tapi Gengsi
Hati Dita mendadak dirundung keraguan yang amat sangat besar, ketika tangan kanannya hendak membuka pintu kamar mandi. Ia baru saja beres mandi dan memakai piyama pemberian Langit. Masalahnya, selain ia masih di dalam kamar Langit, bukankah ia dan Langit sudah bercerai?
“Kenapa Mas masih di kamar ini, sementara kita sudah bercerai? Mas mau ngajak aku rujuk?” ucap Dita sengaja mengintip dari balik pintu kamar mandi yang ia buka.
Karena Langit sungguh masih terjaga di depan pintu kamar mandi, Dita sengaja buru-buru masuk. Dita sengaja menjaga jarak dari Langit.
Kini, ucapan Dita membuat Langit mati kutu. Padahal awalnya, Langit sudah akan langsung menggandeng tangan Dita. “J—jangan jual mahal!”
“Romantis dikit lah, Mas!”
“K–keluar ... jangan bersembunyi di situ! Apa-apaan cuma kelihatan hidungmu! Dikiranya hidung kamu bagus, pesek gitu!”
“L–lah, ... pesek gini, Mas juga pengin ketemu aku!”
HAH! Langit refleks mengembuskan napas panjang melalui mulut sambil berkecak pinggang. Tak habis pikir olehnya, kenapa Dita mendadak mengajaknya main kucing-kucingan layaknya sekarang?
Padahal yang ada di bayangan Langit, Dita akan menangis-nangis kemudian membuatnya dengan leluasa mengajak wanita itu rujuk. Bukan malah seperti sekarang dan membuat gengsi Langit makin besar melebihi gaban.
“Dita ... cepetan keluar dari situ! Kamu masih diinfus, itu infusmu bisa naik!” ucap Langit masih berusaha membuat Dita mau menyerahkan diri kepadanya.
Di hadapan Langit, Dita masih bertahan. Bersembunyi di balik pintu yang hanya sedikit di buka. Hanya hidung atau mata Dita saja yang bisa Langit lihat.
“Dita ... padahal awalnya aku muak banget sekadar dengar namanya disebut!” batin Langit masih menunggu Dita keluar dari persembunyiannya.
“Mas sudah makan? Mas sudah sholat?”
Walau hanya diam, pertanyaan dari Dita barusan, sukses membuat kebekuan di Langit, perlahan mencair.
“Yang beli pakaian buat aku, ... termasuk d a l a m a nnya, itu Mas, kan? Pas banget, dan ternyata Mas sudah langsung hafal!”
“DITAAAAA! AKU MINTA MAU KELUAR DARI SITU, BUKAN NGOMONG YANG ENGGAK-ENGGAK!” Kali ini, Langit benar-benar teriak.
“Baik, ... aku akan keluar dari sini. Aku bahkan akan ... mengabulkan semua permintaan Mas. Asal Mas jujur, ... Mas yang beli semua pakaian buat aku. Mas mau aku pakai cadar lagi? Kalau Mas malu bahkan gengsi buat jujur, cukup balas dengan mengangguk untuk balasan iya. Atau ... Mas cukup menggeleng kalau, ... memang bukan!” ucap Dita yang sampai detik ini sangat lemah lembut, dan terdengar sangat manis.
Cara manis yang Dita lakukan sengaja untuk melawan emosi sekaligus tempramental seorang Langit. Yang selain sangat gengsi, pria itu juga dirasa Dita sangat pencemburu. Lihat saja, sekadar menggeleng atau mengangguk, dalam membalasnya saja, Langit tampak kesulitan. Gengsinya Langit terlalu tinggi.
“Namun kalau Mas kasih aku balasan menggeleng, aku enggak mau keluar dari sini!” tegas Dita sengaja buru-buru menambahkan pilihan untuk Langit.
“Sebenarnya mau kamu apa?!” sebal Langit sesaat setelah ia menghela napas dalam.
Tanpa pikir panjang, Langit berusaha mendorong pintu kamar mandinya hingga terjadi aksi dorong mendorong antara Dita dan Langit. Meski untuk kali ini, Langit akhirnya menyerah. Langit berhenti mendorong pintu kamar mandinya, kemudian mengabarkan bahwa dirinya sedang mengangguk.
“Kan ... sebenarnya nih orang beneran bisa manis, tapi ... kenapa emosinya bisa berubah drastis dalam waktu singkat, ya?” batin Dita yang kemudian pasrah ketika Langit meraih paksa pergelangan tangan kanannya.
Andai ibu Azzura tidak buru-buru masuk kamar Langit dan memergoki kebersamaan di depan kamar mandi, tentu Langit sudah memeluk Dita.
“Kamu sudah menceraikannya. Wajib ada ijab kabul lagi agar Dita bisa kembali halal buat kamu!” ucap ibu Azzura yang kali ini benar-benar marah. “Makanya kalau dikasih tahu orang tua dengerin!”
Langit menunduk dalam dan bersembunyi di balik gengsinya yang terlalu besar. Namun, ia kebingungan dan memang tidak terima, ketika sang mama melepaskan paksa genggaman tangan kirinya kepada tangan kanan Dita.
“Memangnya Mas Langit mau ajak aku rujuk? Soalnya dari tadi, Mas enggak jawab!” ucap Dita yang buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk menutupi kepalanya yang belum memakai hijab, dengan handuk.
Langit tahu, diamnya sang mama dan menatapnya dengan tatapan marah, murni menunggu kepastiannya. Ini mengenai hubungannya dan Dita.
“Kalau kamu memang enggak mau ajak Dita rujuk, besok pagi juga, Mama bakalan cariin Dita jodoh. Biar selepas masa idah, Dita langsung nikah. Tentu saja dengan laki-laki baik, bertanggung jawab, dan enggak kebesaran gengsi seperti kamu!” tegas ibu Azzura sambil buru-buru pergi dari sana.
Langit kebakaran jenggot dan refleks merengek sambil lari menyusul sang mama.
“Jangan, dong Ma!”
“Aku mau rujuk!”
“Masa iya harus ijab kabul lagi? Ribet banget!” Setelah mengeluh sebanyak tiga kali, keluhan kali ini membuat tangan kanan ibu Azzura m e n o y o r-nya.
Dita langsung menunduk dan pura-pura tak melihat mantan suaminya dit o y o r ibu Azzura. “Seadil-adilnya yang ada di kehidupan ini, Allah tetap menjadi Yang Maha Adil. Buktinya, meski aku tidak punya orang tua yang memanjakan aku, Allah kirimkan ibu Azzura buat aku!” batin Dita.
“Dengar baik-baik. Dalam rumah tangga, pantang bilang cerai apalagi menjatuhkan talak ke istri. Karena itu sama saja memotong rezeki bahkan nyawa kamu sendiri!” tegas ibu Azzura penuh emosi.
“I–iya, Ma!” ucap Langit yang tetap menunduk dalam.
“Alhamdullilah ... sepertinya Mas Langit beneran mau ngajak aku rujuk. Karena tipikal Mas Langit enggak mungkin bisa ngomong komplit. Pasti ngomongnya pakai bahasa kalbu dia,” batin Dita lagi.
“Ya sudah ... keluar dari kamar. Biar Dita istirahat di sini!” tegas ibu Azzura.
“Bentar, Ma. Masih kangen....” Langit keceplosan dan refleks batuk-batuk setelah mengatakannya.
Langit memilih masuk ke dalam kamar mandi sambil terus batuk-batuk. Niatnya cari aman, agar tidak diusir dari sana dan bisa bersama Dita lebih lama lagi. Namun, ibu Azzura justru mengajak Dita untuk tidur di kamar tamu.
“M—Ma!” teriak Langit.
“Enggak, Sayang! Tahan sampai besok! Ini hukuman buat kamu! Lewat telepon saja kalau kamu mau komunikasi dengan Dita!” tegas ibu Azzura tetap menggandeng dan membawa Dita pergi dari sana.
Ibu Azzura sampai membawakan botol infus Dita.
“Kan, sepi lagi ...,” lemas Langit sambil menunduk dalam.
Baru Langit sadari, dirinya sangat kesepian. Sementara Dita, wanita itu telah berhasil mengisi kesunyian dalam hidupnya, dan menjadi alasannya kesepian.
“Dita beda. Dia bisa tegas garang mirip s i l u m a n. Terus kalau sedang lembut seperti tadi, ... langsung bikin jantungku enggak aman,” batin Langit tetap saja ngenes karena ia ingin bersama Dita.
Untungnya, dering telepon masuk di ponselnya yang ada di saku sisi celana panjang kanannya, merupakan dari Dita. Tanpa pikir panjang Langit menjawabnya.
“Hal—”
“Mas—”
(Ramaikan yaaaa ❤️❤️❤️❤️)