Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Rain
Hujan deras terasa mengguyur tubuhnya. Suaranya memekik, memenuhi telinga. Situasi yang tidak terpatahkan. Berlanjut tanpa mau berhenti.
Jika boleh meronta, Rain ingin. Tapi, tubuhnya seolah membatu.
Gelap. Rain tidak dapat melihat apa pun. Tapi suara hujan terus menerus memenuhi telinganya. Bahkan, kulitnya seolah merasakan kerasnya timpaan itu.
"Ayah! Tolong!"
Rain hanya bisa berteriak dalam hati.
"Mama!"
Rain tak paham situasi ini. Sangat menyakitkan. Rain merasa tubuhnya seakan hancur. Kepalanya seperti remuk. Rain ingin berteriak, tapi mulutnya tidak mengeluarkan suara.
"Tolong!" Lagi-lagi, ia hanya bisa berteriak dalam hati.
Sekilas, Rain merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kepalanya. Sangat dingin, hingga mengalahkan rasa sakitnya. Tapi, hanya gelap yang mengelilingi.
Rain tidak dapat melihat apa pun.
"Tuhan. Tolong aku!"
Pada akhirnya, ia hanya bisa menahan rasa sakit itu. Rain seolah pasrah dengan keadaan. Karena melakukan sesuatu pun ia tidak bisa.
"Rain!"
Seolah ada harapan disetiap keterpurukan. Rain mendengar suara memanggil namanya. Suara itu sangat dekat. Tapi kembali, hanya gelap yang ia dapat.
"Mama!" Saat keadaan seperti ini, hanya wanita yang sudah tiada itu yang dipanggilnya.
"Rain!" Telinga Rain mendengarnya. Suara itu sangat jelas di telinganya. Suara mamanya.
"Mama. Tolong Rain!" Kali ini, Rain bisa mengeluarkan suara. "Mama!"
"Rain. Hei!"
Rain menangis sejadi-jadinya. Suara itu seperti suara mamanya.
"Bangun, Rain! Kamu kenapa?"
"Rain!"
Suara itu semakin jelas. Sangat jelas, sampai Rain merasa ragu itu suara sang mama.
"Rain!"
Tubuhnya seolah terhisap sesuatu, Rain merasa dirinya terbebas dari kegelapan itu. Sakit yang tadi ia rasakan hilang tiba-tiba.
"Rain!"
Hingga kedua mata Rain terbuka secara tiba-tiba. Detik kemudian, Rain tersentak bangun. Tubuhnya penuh keringat. Napasnya terengah-engah.
Rain memegang jantungnya yang berpacu sangat cepat.
"Rain. Kamu kenapa?"
Butuh beberapa detik bagi Rain untuk sadar dengan situasi yang baru saja terjadi.
"Rain."
Rain menoleh ke samping. Dimana Asyama menatapnya penuh rasa khawatir.
"Kak Asya," lirih Rain.
Ternyata Rain hanya bermimpi. Ia masih di dalam kamarnya. Suara yang tadi ia dengar itu ternyata bukan suara mama, melainkan suara Asya.
Rain memegang dadanya yang perlahan mulai berdetak normal.
"Hei. Kamu kenapa, hah?" Asya kembali bertanya. Ia mengguncang bahu Rain. "Kenapa? Dada kamu sakit?"
Rain diam sejenak. Perlahan napasnya mulai teratur.
Tadi, Rain bermimpi. Mimpi itu terasa begitu nyata. Rain bahkan merasakan sakit yang luar biasa.
Lagi, Rain kembali mendengar suara hujan deras. Kepala Rain penuh dengan pertanyaan. Ini kedua kalinya ia merasakan hujan deras itu. Tubuhnya yang terasa hancur, lalu, jantungnya yang selalu berpacu dengan cepat.
Sekarang semakin aneh. Rain merasakan sakit yang luar biasa. Kepalanya terasa pecah. Lalu, tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh kepalanya.
Sebenarnya, apa semua itu? kenapa Rain bisa merasakan itu?
"Kak. Aku bermimpi." kata Rain setelah diam beberapa saat.
Asya menantikan ucapan Rain.
"Aku merasa hujan deras seperti menimpa tubuh ku. Kepala dan badanku sakit semua."
Asya tertegun.
"Ini kedua kalinya aku ngerasain hal itu, kak," kata Rain pelan.
Asya diam dengan segala pikirannya. Tidak sadar kalau Rain memperhatikannya.
"Kak!"
Asya tersadar. Segera ia memeluk Rain dari samping.
"Mungkin kamu kecapekan. Jangan banyak pikiran, Rain." kata Asya.
Rain tidak puas dengan ucapan Asya. Kepala Rain masih penuh dengan pertanyaan.
"Apa kamu mencoba mengingat kejadian bulan lalu?" tanya Asya tiba-tiba.
Rain menatap Asya cepat. "Kejadian bulan lalu?"
Asya menggigit bibirnya. "Hm... Saat kamu demam tinggi."
Rain menggeleng. Ia tidak pernah berniat mengingat kejadian itu. Bahkan, sedikit pun. Kalaupun ia masih bertanya-tanya kapan ia demam, Rain tak berniat mengingatnya. Karena sampai sekarang pun, ia tidak mendapat ingatan seperti itu.
"Jangan memaksa diri buat ingat itu! Perlahan kamu bakal ingat, kok."
"Aku gak pernah berniat buat ingat itu."
"Iya. Tapi, siapa tahu kamu tiba-tiba penasaran dan bertanya-tanya, jangan coba buat ingat. Dan juga, jaga kesehatan kamu. Jangan terlalu banyak aktivitas," jelas Asya.
Rain diam.
"Kamu pulang malam tadi. Pasti kamu kecapekan, kan?" tanya Asya.
Rain mengangguk. Memang benar. Rain seharian ini bergerak. Mulai dari ngampus, mencari Reno, lalu jalan-jalan dengan Ghio. Rain menghabiskan waktu satu hari ini tanpa istirahat cukup.
Asya menghela napas. "Kamu belum pulih sepenuhnya, Rain."
"Tapi aku merasa sehat, kok."
"Kamu merasa, bukan berarti udah iya. Buktinya kamu sampai mimpi aneh-aneh. Jangan banyak gerak dulu, Rain. Please, dengerin kakak!" mohon Asya.
Asya tahu. Rain adalah anak yang lumayan bar-bar. Apalagi jika dihadapkan dengan motor.
"Kakak mohon jaga diri kamu baik-baik. Kakak gak mau kamu... " Asya tidak melanjutkan ucapannya. Kepalanya tiba-tiba menunduk.
Rain yang melihat itu, segera menghadap ke arah Asya. "Kak Asya. Kakak kenapa?"
Asya mengangkat kepalanya. "Gak pa-pa. Sekarang kamu tidur."
Rain melihat mata Asya yang berkaca-kaca. "Kak Asya nangis?"
Asya segera mengusap matanya. "Gak. Cepat istirahat. Ini udah jam 1. Besok pagi kamu harus kuliah." Asya mendorong Rain hingga berada dalam posisi tidur.
"Jangan ngomong lagi," ucap Asya saat melihat Rain hendak membuka mulut. "Tidur, sekarang!"
Rain menurut walaupun dalam benaknya masih penuh dengan pertanyaan. Kenapa Asya menangis? Apa ia khawatir dengan keadaan Rain? Ayolah, Rain hanya bermimpi. kenapa reaksi Asya seperti itu?
Kenapa Rain seolah merasa jika Asya menyembunyikan sesuatu darinya?
Pertanyaan yang berseliweran dan tidak menemukan jawaban sama sekali menjadi cerita pembawa tidur bagi Rain. Gadis itu langsung tertidur pulas setelah melamun beberapa saat.
Asya yang melihat Rain sudah berada di alam bawah sadar, bergerak mendekati gadis itu.
"Maaf, Rain," gumamnya. Tangannya bergerak mengelus rambut gadis itu. Ia memandangi wajah adiknya itu. Ia sebagai kakak memiliki peran pengganti ibu bagi Rain. Tapi, Asya merasa gagal. Ia tidak bisa melindungi Rain.
Begitulah keadaan selama beberapa saat. Asya terus menatap Rain dengan tatapan teduh, hingga perlahan matanya terpejam.
Paginya, Rain terbangun setelah mendengar bunyi alarm. Rain bergerak dari posisi tidurnya.
Kamar sudah kosong. Sepertinya Asya sudah bangun terlebih dahulu.
Rain segera bangkit dari kasur. Ia keluar kamar dan berjalan ke arah dapur yang penuh dengan grasak-grusuk.
"Masak apa, kak?" tanya Rain sambil berjalan ke arah Asya.
"Tolong bantu kakak. Ini semua letakkan di meja makan." Asya menyerahkan beberapa hasil masakannya.
Biasanya, Rain akan membantu Asya memasak. Tapi, kadang jika Asya berniat seperti ini, dia akan memaksa sendiri. Begitu juga sebaliknya, jika Rain berniat, ia akan memasak sendiri.
Rain membawa sekaligus semua masakan Asya. Mulai dari sub wortel, ayam goreng, dan tahu tempe. Melihatnya saja, air liur Rain sudah banjir.
"Selamat pagi, Rain."
Rain tersenyum tanpa membalas ucapan itu.
"Wah! Makanan."
Rain lagi-lagi tersenyum. Pagi ini, Ghio terlihat ceria, sama seperti kemarin sore.
Kemarin sore? Tiba-tiba saja pipi Rain terasa panas. Kemarin sore, ia dan Ghio memutuskan bahwa jalan-jalan mereka itu adalah kencan.
"Rain. Ngapain bengong di situ? Mandi sana!" teriak Asya dari dapur.
"Iya." Rain berbalik menatap Ghio. "Jangan sentuh makanan sampai kak Asya pergi, oke?" bisiknya.
Ghio mengangkat jempolnya. Lalu segera duduk di kursi dengan tenang. Ia menatap makanan itu dengan mata berbinar. Sesekali, ia menatap ke kamar mandi, menunggu Rain selesai mandi.
Ghio menatap Asya yang kini duduk di sampingnya. Gadis itu makan tanpa mengajaknya. Ghio menggerutu dalam hati.
Dia tidak sebaik Rain. Batin Ghio. Sesekali, ia meneguk ludahnya saat melihat Asya makan dengan tenang.
"Dia tidak berniat memberiku makan?" tanya Ghio pada diri sendiri.
Tiba-tiba saja, Asya merasakan hawa yang berbeda. Ia mengusap tengkuknya yang terasa dingin.
Ghio terkikik geli. Selama ini, ia belum pernah berinteraksi dengan Asya. Bahkan, Ghio segera menjauh saat melihat Asya. Sekarang, ia duduk di samping gadis itu. Sepertinya menyenangkan menjahili gadis itu.
Tangan Ghio bergerak menggeser gelas Asya sedikit.
Melihat itu, mata Asya langsung membola. Ia menatap sekelilingnya. tiba-tiba saja Asya merasa takut.
"Rain! Udah selesai belum? Cepetan! Kakak sebentar lagi mau pergi!" teriak Asya untuk menghilangkan rasa takutnya.
Pintu kamar mandi terbuka. Muncul Rain dengan handuk di kepalanya.
"Kenapa teriak-teriak, sih?" tanya Rain bingung. Lalu atensi Rain beralih ke arah sosok yang duduk di kursi di samping Asya.
Ghio menyengir kuda.
Rain menebak, Ghio melakukan sesuatu kepada kakaknya. Rain bisa melihat wajah tidak nyaman Asya.
"Kakak berangkat sekarang." kata Asya seraya berdiri. Ia kemudian berjalan melewati Rain.
"Oh, ya." Asya kembali berbalik. "Hm... Kamu pernah gak ngerasain hal aneh di kontrakan ini?" tanya Asya.
Alis Rain menyatu. "Hal aneh apa?"
"Kamu gak inget apa kata orang tentang kontrakan ini?" tanya Asya.
"Ingat. Tapi, Rain gak pernah ngerasain hal aneh. Ucapan mereka itu gak bener. Emang kakak pernah gitu ngerasain kejadian-kejadian aneh?" tanya Rain sambil melirik sosok di kursi.
Ghio yang dilirik hanya menampilkan wajah polos, merasa tidak melakukan apapun.
"Ah... Kayaknya, iya." kata Asya sedikit ragu.
"Kayaknya? Ck. Jangan percaya begituan, kak. Hantu itu gak ada. Kejadian yang kakak bilang itu mungkin sesuatu yang kebetulan." kata Rain.
Asya mengangguk menyetujui ucapan Rain. "Kayaknya iya, deh. Ya udah, kalau gitu kakak berangkat dulu. Kamu jangan lupa makan dan jangan banyak aktivitas," kata Asya. Lalu berbalik meninggalkan Rain.
"Kamu ganggu kak Asya?" Mata Rain menyipit, menatap Ghio setelah Asya masuk kamar.
Ghio menggeleng.
"Jangan bohong. Bohong itu dosa."
Tangan Ghio bergerak menggaruk kepalanya. "Dia gak kasih aku makan. Aku cuma geser gelas aja," kata Ghio mencicit.
Rain hampir tertawa melihat ekspresi itu. Ekspresi Ghio seperti kedapatan mencuri sesuatu.
"Jangan diulangi lagi," peringat Rain.
Ghio mengangguk polos.
Rain duduk di kursi, dan mulai menyendok makanan.
"Rain." Asya datang tiba-tiba. "Nanti aja kakak transfer dana ke kamu, ya. Kakak mau berangkat sekarang."
"Uang apa?" tanya Rain keheranan.
Asya menepuk kepalanya sendiri. "Kakak lupa ngasih tahu kamu. Ayah baru aja ngirim uang."
Alis Rain naik. "Lha? Buat apa ngirim uang?"
"Gak tahu. Kata ayah, pakai aja buat jajan atau belanja, gitu."
Rain mengerjap. Sebenarnya, mereka tidak pernah meminta uang kepada sang ayah. Rain berpenghasilan dari lukisannya, dan Asya berpenghasilan dari pekerjaannya. Semua itu sudah cukup untuk kebutuhan mereka. Tapi, sering kali ayah mereka mengirim uang tanpa diminta dan tanpa pemberitahuan.
"Ya udah. Kirim aja nanti."
Rain harus menelpon ayahnya. Mungkin nanti setelah di kampus.
"Oke. Bye, Kakak pergi dulu."
"Hati-hati. Berangkat sama siapa?" tanya Rain. Walaupun ia sudah tahu jawabannya, Rain hanya ingin memastikan saja.
"Kakak ipar kamu, dong. Siapa lagi?" kata Asya dengan senyum manisnya. Lalu, segera meninggalkan Rain.
Rain menggerutu. Kakak iparnya dari mana? Baru juga pacar. Belum suami.
"Asya sudah punya pacar. Kamu kapan?"
Mata Rain melotot mendengar ucapan Ghio yang tiba-tiba.
"Gila lu!" umpat Rain tanpa sadar.
"Aku hanya bertanya, gak perlu semarah itu," kata Ghio.
Rain mengembangkan senyumnya. "Aku gak pernah pacaran karena belum menemukan orang yang cocok."
"Lalu siapa yang cocok?"
"Kamu."
Mata Ghio mengerjap. Apa yang baru saja ia dengar?
"Oh, ya. Mungkin, aku bakal pulang sore. Jadi, hari ini kamu mandiri dulu. Kamu bisa kan ambil makan sendiri? Jangan tunggu aku. Oke?" kata Rain. Ia belum sadar jika Ghio sejak tadi terdiam.
"Kamu denger, gak?" tanya Rain.
Ghio langsung mengangguk. Tapi ia tidak tahu mengangguk untuk apa. Ia tidak dengar apa kata Rain.
Pikirannya masih loading di kata 'kamu'.