SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Sesuai perjanjian, mereka berlima kembali berkumpul di perpustakaan pada saat istirahat kedua. Masing-masing dari mereka berkumpul usai Arga, Aisyah, dan Dimas melaksanakan ibadah sholat Dzuhur di mushola. Kali ini topik pembahasan mereka akan lebih mendalam terkait kebakaran Balai Seni Rupa SMA Rimba Sakti.
Dengan pihak berwenang yang telah mengumumkan bahwa kebakaran tersebut merupakan suatu kecelakaan, cukup sulit bagi mereka untuk mencari tahu lebih lanjut tentang insiden itu. Apalagi mengingat bahwa kebakaran yang dihasilkan berasal dari konslet-nya listrik. Hal tersebut memicu pertanyaan, jika memang saat itu listrik Balai Seni Rupa sedang dalam masalah, mengapa tak ada yang memberitahu murid-muridnya? Terutama Ria yang saat itu sedang berada di dalam dan melukis dengan tenang. Seharusnya jika memang ada kerusakan listrik, staf sekolah akan memperingati Ria untuk tidak berlama-lama di Balai Seni Rupa.
Jika memang satpam sudah memperingati, mengapa Ria masih tetap gigih untuk melanjutkan lukisannya? Apa yang membuat Ria ingin menyelesaikan lukisannya?
Dimas menunjukkan layar laptopnya pada mereka. Layar tersebut memperlihatkan sebuah CCTV dari gymnasium yang mengarah langsung ke Balai Seni Rupa. CCTV tersebut menampakkan insiden saat kebakaran itu terjadi. Api yang melahap Balai Seni Rupa dengan ganas lalu tak lama ramai para staf yang tetap tinggal di sekolah menghampiri untuk memadamkan apinya.
“Coba putar ulang, sedikit aja,” pinta Rian dengan mata yang semakin menyipit.
Dimas menurutinya dan memutar ulang secara perlahan sesuai dengan permintaan Rian sampai laki-laki Cindo itu mengatakan ‘stop’ padanya. Seketika Dimas langsung menekan ‘spasi’ untuk menghentikan CCTV itu.
Jari telunjuk Rian menunjukkan sebuah bayangan hitam yang mengintip di balik Balai Seni Rupa. Bayangan itu tak begitu jelas di CCTV dan menghilang dengan cepat jika tak memperhatikannya secara benar, seperti sebuah penampakan yang tak sengaja terekam oleh CCTV.
“Kalian lihat, kan? Itu apa?” unjuk Rian pada bayangan itu.
“Itu orang gak sih?” sahut Nadya memastikan sambil mengernyitkan dahi.
“Kayaknya iya. Dia ngapain di situ coba?” sahut Dimas ikut mempertanyakannya.
Arga seketika langsung memandang layar laptop Dimas serius. “Kita harus cari tahu siapa dia. Mungkin dia adalah saksi dari kebakaran itu,” katanya.
“Bisa jadi juga dialah pelakunya,” sambung Aisyah membuat yang lain menoleh ke arahnya terkejut kecuali Arga yang ikut setuju dengan pernyataan Aisyah.
“Tapi, gimana? Kalau gak di pause begini—“ sebelum melanjutkan kata-katanya, Rian memencet ‘spasi’ agar CCTV itu kembali jalan. “Dia hilangnya cepat banget,” lanjutnya merasa heran.
“Kayak hantu,” timbrung Nadya cepat. “Atau jangan-jangan, memang hantu?” lanjutnya dengan mata membulat.
Seketika Dimas menyanggah, “Gak ada hantu.” Kemudian ia mengarahkan laptopnya menghadap ke arahnya dan mengetik sesuatu sebelum akhirnya menunjukkannya lagi kepada mereka. “SAC Malang.”
Layar itu menunjukkan kepada mereka sebuah event perlombaan yang bernama ‘Singasari Art Competition’ yang akan diselenggarakan di kawasan Candi Singasari. Persyaratannya sendiri merupakan anak SMA/sederajat. Apa yang membuat Dimas menunjukkan itu kepada mereka?
“Jadi?” tanya Rian.
Dimas mendengus sebal mendengar pertanyaan Rian yang tak paham maksudnya. “SAC Malang diselenggarakan tiap tahun. Tahun lalu yang ikut Mbak Endah, sedangkan tahun ini Mbak Endah udah di ancang-ancang bakalan diikutkan ke FLS2N,” jelasnya.
“Sadis juga, kelas 11 sama 10 gak dikasih kesempatan,” sahut Nadya menyindir pihak sekolah.
Dimas hanya menghendikkan bahu dan melanjutkan, “Nek kalau dari feeling ku sih Mbak Ria ini mau diikutkan ke event ini, tapi—“
“Ada yang iri dan akhirnya berujung lah insiden kebakaran itu?” sambung Arga yang langsung diangguki Dimas.
Kini Rian mengangguk paham. “Itu bisa jadi pemicu juga sih. Berarti dia lebih sadis dari pihak sekolah yang gak kasih kesempatan kelas 10 dan 11 buat gak ikut lomba seni, tapi masa cuman karena iri, dia sampai bakarin Balai Seni Rupa?”
“Ini bisa jadi karena berlomba-lomba serifikat. Kita tahu kalau kelas 12 sekarang lagi banyak yang gencar banget cari-cari perlombaan demi sertifikat buat dicantumin ke seleksi universitas jalur prestasi,” ujar Aisyah menerangkan.
Mereka berlima terdiam sejenak, mencerna teori yang baru saja dibahas. Nadya, yang sebelumnya menganggap ini seperti kasus hantu, kini mengerutkan kening, berpikir lebih dalam.
“Tapi kalau ini tentang perebutan lomba, harusnya ada jejak-jejak persaingan yang keliatan sebelumnya. Ada gak sih, orang yang jelas-jelas kelihatan iri sama Mbak Ria?” tanya Nadya dengan nada curiga.
Aisyah menggeleng. “Gak ada yang mencolok. Kalau pun ada, Mbak Ria selalu bersikap profesional dan gak pernah kebawa emosi.”
“Tapi gimana kalau rasa irinya disimpan diam-diam?” tambah Dimas, melipat tangan sambil menatap layar laptop. “Kita gak bisa tahu isi hati orang. Kalau dia nyembunyiin rasa iri atau benci dalam waktu lama, bisa aja akhirnya meledak jadi tindakan yang gak rasional.”
Arga mengangguk pelan, memikirkan kemungkinan itu. “Tapi tetap, kita butuh bukti lebih kuat. Bayangan di CCTV ini gak cukup buat kita menuduh siapa pun. Lagipula, orang itu bisa siapa aja.”
Rian mengusap dagunya, wajahnya serius. “Ada satu cara lagi. Kita coba cari tahu siapa aja yang masih di sekitar sekolah pas waktu kebakaran. Terutama siswa-siswi yang mungkin punya akses ke Balai Seni Rupa saat itu. Satpam bilang Mbak Ria disuruh pulang, tapi dia memilih tetap di sana. Apa ada yang tahu alasannya?”
Nadya menatap Rian, lalu berkata, “Mungkin karena lukisannya belum selesai. Tapi bisa jadi, ada seseorang yang minta dia tetap di situ.”
Aisyah mendekatkan wajahnya ke laptop, meneliti CCTV lebih dalam. “Kita harus cek siapa saja yang ada di sekolah malam itu. Mungkin guru-guru atau staf sekolah punya informasi. Kalau listrik konslet, pasti ada laporan ke bagian teknis, kan?”
“Tapi itu bakalan butuh waktu, dan pihak sekolah pasti gak akan ngasih info sembarangan,” gumam Dimas.
“Kalau gitu, kita cari jalan lain,” ujar Arga tegas. “Kita perlu akses lebih lanjut ke rekaman CCTV dari sudut lain, atau bahkan lebih detail di sekitar area kebakaran.”
Rian menatap mereka semua, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kalau gitu, malam ini kita balik ke sekolah.”
Semua terkejut mendengar usulan itu. Nadya, yang sempat khawatir, menelan ludah. “Kamu serius? Kita mau masuk sekolah diam-diam?”
Arga menatap Nadya dengan tegas. “Ini satu-satunya cara kita bisa tahu lebih banyak. Kita harus cari bukti, atau pelaku sebenarnya mungkin akan lolos.”
Aisyah menarik napas panjang. “Ini bisa aja bahaya, tapi kalau itu satu-satunya cara untuk selidiki lebih jauh, aku setuju.”
Dimas mengangguk setuju, dan akhirnya Nadya menghela napas. “Okey, kita lakuin ini, tapi harus hati-hati.”
Mereka semua saling berpandangan, merencanakan langkah mereka dengan hati-hati. Saat jam sekolah berakhir nanti, mereka akan berkumpul kembali, kali ini dengan misi yang lebih berbahaya — menyelinap ke SMA Rimba Sakti untuk menguak misteri di balik bayangan yang mengintai kebakaran Balai Seni Rupa.
...—o0o—...