Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEJADIAN DI ASRAMA KHUSUS BAGIAN 1
Siapa pun akan berpikir jika yang tengah berjalan itu adalah setan, bagaimana tidak. Santriwati yang sudah terkenal sepenjuru pondok dengan kenakalan yang sangat suka melanggar peraturan itu berjalan ditengah lapangan yang minim pengcahayaan dengan mukenah putih mereka.
“Kok seram ya.” Celetuk Aruna. Menatap sekelilingnya yang benar-benar sepi, ini masih jam Sembilan malam namun semua santri sudah pasti beristirahat.
Ketiganya mengangguk bersama, mereka tengah dihukum membuang sampah didepan pondok pesantren setelah kedapatan tertidur saat pengajian rutin setelah shalat Maghrib. Hukumannya membuang sampah yang sudah menumpuk didepan asrama yang khusus untuk santri yang mendapatkan hukuman santri khusus.
Asrama itu berjejer rapi, ada delapan kamar disini. Empat untuk putra dan empat untuk putri, di sini lah para santri diberikan hukuman untuk merenungkan kesalahan yang mereka telah perbuat sampai batas waktu yang ditentukan oleh kiyai Aldan sendiri. Letaknya pun cukup jauh dari masjid pondok dan Ndalem kiyai Aldan.
“Kita bawa tempat sampah ini dulu ke Aula, baru yang itu kita bawa ke asrama khusus.” Ujar Adira. Masing-masing membawa tempat sampah berukuran sedang, namun sampah yang mereka buang cukup banyak.
“Oke, takut juga kalau ke asrama khusus cuman kita berdua.” Ucap Almaira. Dia sedikit penakut.
“Yaudah ayok, kita belum ambil jatah makan malam keburu bu Ati tutup ketring.” Timpal Ayyara mempercepat langkah kakinya. Mereka belum makan malam karena menjalankan hukuman.
Setelah mengembalikan tempat sampah itu pada tempatnya didepan Aula pondok, mereka kemudian berjalan bersama menuju asrama khusus yang letaknya cukup jauh dari Aula pondok.
“Sepertinya kiyai masih menerima tamu, kira-kira siapa ya tamunya?” Tanya Almaira. Mereka melewati Ndalem yang dapat dilihat jika kiyai Aldan masih menerima tamu.
“Palingan juga tamu donatur pondok, ya kalau bukan donatur pastinya tamu yang mungkin saja mau akikah anaknya.” Jawab Adira.
“Akikah? Malam-malam begini?” Sahut Aruna. Mereka sudah melewati Ndalem.
“Ya tidak malam juga akikahnya, maksudnya minta izin dulu ke kiyai. Baru deh kiyai yang menentukan hari H-nya.” Timpal Ayyara.
“Owhhh.” Jawab Aruna mengangguk sebagai tanda dia sudah paham.
Mereka terus berjalan beriringan, hingga tibalah mereka didepan pagar kayu yang hanya sebatas dada orang dewasa saja. Penerangan disini benar-benar minim dan membuat keempatnya merasa sedikit takut.
“Ini kita bawa masuk atau taruh di sini ajah? Takut ih kalau dibawah masuk.” Ucap Almaira pelan. Sudah dibilang dia ini penakut.
“Ya dibawah masuklah, kita tadi ambilnya tuh didalam pagar. Bisa-bisa kalau ustadz Agra liat tempat sampahnya diluar kita kena hukuman lagi.” Jawab Ayyara.
“Kita tunggu disini, kalian berdua cepat masuk.” Ujar Aruna memeluk lengan Adira.
Adira mendengus melihat teman-temannya yang penakut itu, dia tidak takut karena temannya adalah kegelapan dan kesunyian. Dia suka menyendiri.
“Ayok, kita sama-sama masuk.” Katanya lalu membuka perlahan gerbang dari kayu itu. Aruna semakin memeluk lengan Adira tanpa berniat melepaskannya.
Mereka sudah berada didalam halaman asrama yang tampak bersih dan terawatt ini, petugas kebersihan pondok memang setiap seminggu sekali datang untuk membersihkan. Kiyai Aldan dan istrinya selalu datang untuk melihat asrama ini yang sedikit jauh dari lingkungan pondok.
Bahkan sangat jarang para santri melewati asrama ini karena tempatnya yang memang lumayan jauh dari pada asrama yang lainnya, makanya anak-anak takut membuat kesalahan hingga mendapat hukuman menjadi santri khusus karena daerah ini memang benar-benar sepi, namun disinilah orang-orang yang menyukai sunyi jauh dari keramain.
GUBRAKKK
BRAKKK
Wussshhh…,
“INNALILLAHI YA ALLAH!”
“ASTAGFIRULLAH…,”
“YA RABB…,”
“LAA ILAAHA ILLALLAAH!”
Mereka kompak melihat kearah kamar khusus santri putri paling ujung, tiba-tiba saja pintu itu terbuka bahkan menimbulkan suara yang cukup keras sehingga membuat keempatnya kaget dan mungkin takut.
Aruna yang semulanya memeluk lengan kanan Aidra, kini berganti memeluk dari samping tubuh temannya itu. “I-i-itu a-ap-a t-adi?” Tanyanya dengan gagap.
“Jang-gan kepo Ay, kita lebih baik pergi.” Kata Adira memperingati Ayyara yang memang pada dasarnya manusia kepo.
“Itu cuman angin, mungkin petugas kemarin lupa menutup pintunya.” Ucap Almaira mencoba menenangkan teman-temannya walaupun juga dirinya sudah gemetaran karena takut.
“Benar itu cuman angin, jadi tidak usah takut.” Lanjut Adira. “Mau kemana sih Ay?” Tanya Adira setelah melihat Ayyara ingin mendekati asrama itu.
Ayyara menatap teman-temannya. “Mau tutup pintu itu, bisa-bisa nanti kita lagi yang dituduh buka pintunya.” Jawabnya.
“Mending kita pergi ajah ya, biarin pintunya terbuka.” Timpal Aruna.
“Tidak bisa, kalian tunggu disini. Biar aku ajah yang kesana.” Ucap Ayyara tanpa rasa takut sedikitpun.
Adira mencekal lengan Ayyara. “Tidak, kita ikut.” Katanya. Mendapat tatapan tak percaya dari Aruna.
“Aku disini ajah, k-ali…,”
Almaira yang melihat kedua temannya sudah melangkah lebih dulu pun akhirnya ikut menarik Aruna. “Sudah, ayok susul mereka.”
“Ya Allah…,” Aruna hanya bisa pasrah diseret oleh Almaira.
xxx
“Cekkk, bisa tidak ente yang ambil sendiri.” Kesal Abraham. Menatap lelah pada Bima yang berjalan didepan mereka.
Bima berjalan dengan tergesa-gesa, dibelakangnya ada ketiga temannya yang mengikutinya. “Tidak bisa! Ini juga salah ente, camera ana itu satu-satunya. Kalau hilang bagaimana? Memangnya ente mau belikan ana yang baru?” Cecarnya tanpa henti.
“Idih maunya!” Abraham mendelik tak suka kepada Bima.
Agra dan Abyan hanya diam, lelah memiliki teman seperti mereka. Ingin mengambil camera saja harus ditemani sampai tiga orang, bahkan Bima sempat memaksa ketiga sampai akhirnya karena lelah mendengar Bima mengoceh mereka memutuskan untuk ikut saja.
“Yaudah!”
“Ana tadi buru-buru karena panggilan alam, makanya ana lupa. Bukannya juga ana sudah bilang ke ente kalau ana tidak bawah cameranya? Salah situ juga.” Abraham tidak mau disalahkan sepenuhnya.
“Hussstttf, pelankan suara kalian.” Ucap Agra.
“Sangat berisik.” Lanjut Abyan.
Bima dapat melihat dari kejauhan jika pintu salah satu asrama itu terbuka dengan lebar, dia sedikit panik takut jika benda yang dia tinggalkan malahan hilang. Dengan langkah lebarnya, dia meninggalkan teman-temannya.
“Aduh mampus deh kalau camera ana hilang.” Paniknya. Semakin mempercepat langkahnya.
Bima masuk kedalam asrama itu setelah mengucapkan salam terlebih dahulu, dia segera menuju salah satu ruangan yang berada di lantai dua. Suasana asrama yang gelap minim dengan pencahayaan membuat Bima tidak dapat melihat dengan jelas disekitarnya.
Saat hendak membuka pintu salah satu ruangan, tanpa sengaja ekor matanya tidak sengaja menangkap siluet berwarna putih melintas dengan cepat. “Astaghfirullahal ‘adziim, tidak ada apa-apa Bima.”
Brakkk
Bima memalingkan wajahnya dengan cepat. “Siapa itu?” Bima mengusap dadanya pelan. “Siapa di sana?” Lanjutnya.
Aduhhh!
Samar-samar Bima mendengarnya, karena sudah terlanjur kepo dia melangkah dengan pelan dan hati-hati menuju ruangan dimana arah sumber suara yang membuatnya terkejut bukan takut ya…,
Ciiittt…,
Gelap, ruangan ini begitu gelap. Bima mencari sesuatu dari balik sakunya namun dia tidak menemukannya. “Astagfirullah, bisa-bisanya lupa bawah ponsel.” Katanya dengan pelan.
Dengan langkah pelan, dia berjalan masuk. Sangat hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara. “Permisi…,” Bima menajamkan penglihatannya. “I-tu a-apa ya? s-etan kah?”
Semakin dekat dengan objeknya, semakin banyak juga bulir-bulir keringat kecil dari kening Bima. Namun, langkah kakinya tiba-tiba tersandung sesuatu hingga membuatnya terjatuh dan menimpa sesuatu.
semangat 💪👍