Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan jantung
Tama baru saja pulang dari pekerjaannya ketika dia dipanggil oleh ayahnya, Arman, untuk berbicara. Dia tidak menyangka bahwa percakapan malam itu akan mengubah arah hidupnya. Di ruang tamu, Arman duduk dengan tatapan serius, sementara Rini tampak gelisah, sesekali melirik ke arah putranya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tama, kita perlu bicara tentang masa depan kamu," kata Arman, suaranya tegas.
Tama mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Apa maksudnya, Ayah? Maksudnya tentang pekerjaan atau apa?"
Arman menarik napas panjang sebelum menjatuhkan bom yang tidak disangka-sangka oleh Tama. "Aku sudah atur perjodohan kamu dengan Nisa, anak teman baikku. Dia perempuan baik, berasal dari keluarga yang terhormat, dan aku yakin dia bisa jadi istri yang sempurna buat kamu, karena berkeyakinan yang sama dengan keluarga kita."
Mendengar kata-kata itu, darah Tama berdesir. Amarah langsung membakar dadanya. "Apa?" Suaranya meninggi, matanya terbelalak. "Ayah mau jodohin aku dengan Nisa? Aku udah punya Freya! Ayah tahu itu!"
Arman tetap tenang, meskipun matanya mulai mengeras. "Freya bukan pilihan yang tepat, Tama. Perjodohan ini untuk masa depan keluarga kita. Kamu harus nurut, ini untuk kebaikan kita semua."
Tama berdiri dari kursinya dengan penuh kemarahan. "Aku nggak peduli! Aku mencintai Freya, dan aku akan menikahi dia! Aku nggak akan menikah dengan orang yang bahkan nggak aku kenal! Kenapa Ayah harus mengatur hidupku? Aku yang menjalani, bukan Ayah!"
Arman ikut berdiri, membanting tangannya di meja dengan keras. "Kamu tidak punya pilihan, Tama! Ini bukan hanya soal cinta buta yang kamu pikirkan! Ini soal masa depan, kehormatan keluarga kita, dan aku tidak akan biarkan kamu menghancurkannya hanya karena seorang perempuan yang bahkan tidak bisa kita terima karena perbedaan keyakinan!"
Kemarahan Tama memuncak. "Ini bukan tentang kehormatan keluarga! Ini tentang Ayah yang mau mengontrol hidupku! Aku sudah dewasa, dan aku bisa memutuskan siapa yang akan aku nikahi! Aku mencintai Freya, dan aku akan terus bersamanya, apapun yang terjadi!"
Rini, yang sedari tadi hanya duduk dengan tegang, mulai menangis. Dia tak tahan melihat suami dan anak sulungnya bertengkar seperti ini. "Arman, tolong ... jangan seperti ini ... Tama, tolong, kamu juga ..."
Namun, baik Arman maupun Tama tak mendengar. Suasana semakin memanas. Arman, dengan wajah merah padam, berteriak, "Kalau kamu terus keras kepala, kamu bukan lagi anakku! Aku tidak akan pernah merestui pernikahanmu dengan Freya! Ini keputusan akhirku!"
Tama, dengan dada yang bergemuruh, balas berteriak. "Kalau Ayah nggak bisa terima Freya, aku akan pergi! Aku akan menikahi dia tanpa restu kalian! Aku nggak butuh restu dari orang yang bahkan nggak menghargai pilihanku!”
Rini terisak keras, tangannya gemetar ketika mencoba menenangkan situasi. "Tama ... Arman ... tolong berhenti ... kalian nggak bisa begini ..."
Namun, tidak ada yang mendengar tangisan Rini. Tama berbalik, berjalan menuju pintu dengan langkah marah. "Aku akan menikahi Freya, apapun yang terjadi! Kalau Ayah nggak bisa terima itu, maka kita nggak ada hubungan lagi!”
Dengan pintu yang dibanting keras, Tama meninggalkan rumah itu dalam kemarahan. Sementara itu, Rini terjatuh ke kursinya, menangis tersedu-sedu melihat suaminya dan putranya yang saling membenci karena perjodohan yang tidak diinginkan. Arman berdiri diam, masih dengan kemarahan membara, tetapi di dalam hatinya, ada sedikit keraguan. Namun, dia tetap tak menunjukkan itu, karena baginya, harga diri dan kehormatan keluarga lebih penting dari apapun.
Rini hanya bisa menangis, hatinya hancur melihat dua laki-laki terpenting dalam hidupnya bertengkar tanpa henti.
***
Tama keluar dari rumahnya dengan napas memburu, hatinya penuh dengan amarah dan kebingungan. Suara bentakan ayahnya masih terngiang di telinganya, dan pemandangan ibunya yang menangis membuat hatinya semakin berat. Lelaki itu memutuskan untuk menemui kekasihnya,
Sesampainya di depan pintu apartemen Freya, tanpa pikir panjang Tama mengetuk pintu dengan cepat, seolah-olah ketukan itu melepaskan sebagian dari emosinya yang meledak-ledak. Pintu terbuka, dan di sana berdiri Freya, tampak terkejut melihat kekasihnya muncul tanpa pemberitahuan.
"Tama?" Freya bertanya dengan nada bingung, namun sebelum dia bisa mengatakan lebih banyak, Tama dengan cepat menariknya ke dalam pelukan erat.
Freya merasakan bagaimana tubuh Tama bergetar, dan ia segera tahu bahwa ada sesuatu yang salah. Dia mengusap punggung kekasihnya dengan lembut, berusaha menenangkan lelaki yang tampak begitu rapuh dalam pelukannya. "Apa yang terjadi, Sayang?" bisiknya, suaranya penuh kekhawatiran. "Kamu terlihat kacau."
Tama mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya di bahu Freya, seolah-olah mencari kehangatan dan kedamaian dari wanita yang dicintainya. Ia ingin mengeluarkan semua rasa sakit dan marah yang ada di dadanya, tetapi ada sesuatu yang menghentikannya. Tama tidak ingin Freya ikut terluka. Dia tahu, jika Freya mengetahui tentang perjodohan yang diatur oleh Ayahnya, itu hanya akan menambah kesedihan yang tak perlu.
Freya mencoba menarik diri sedikit, cukup untuk menatap wajah Tama. "Tama, tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berat di pikiranmu."
Tama menggelengkan kepala perlahan, berusaha tersenyum meskipun sangat sulit. "Nggak apa-apa, Freya. Aku hanya … aku butuh pelukanmu, itu saja. Aku lelah."
Freya menatapnya dengan mata penuh perhatian, tahu bahwa Tama menyembunyikan sesuatu. Namun, dia juga tahu bahwa memaksa Tama untuk bicara saat ini mungkin bukanlah langkah yang tepat. "Kalau kamu butuh waktu untuk cerita, aku ada di sini. Aku selalu di sini, Tama."
Tama menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma familiar yang menenangkannya. "Aku tahu, dan itu yang membuatku tenang. Kamu ada buat aku."
Freya tetap memeluk Tama erat, memberikan kehangatan dan ketenangan yang dia tahu Tama butuhkan. Meskipun ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, Freya memilih untuk menunggu. Dia percaya, ketika Tama siap, dia akan bercerita.
***
Setelah pertengkaran hebat antara Tama dan Arman, suasana rumah menjadi sangat tegang. Arman, yang penuh dengan kemarahan dan kebingungan, berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan napas yang terengah-engah.
"Arman, tolong duduk dulu. Kamu harus tenang," Rini memohon dengan suara yang masih bergetar.
Namun, Arman tidak mendengarnya. Dengan dada yang terasa sesak, tiba-tiba ia merasakan sakit yang menusuk di dadanya. Tangannya reflek memegangi dada kirinya, dan wajahnya berubah pucat.
"Rini ... sakit ..." Arman berusaha bicara, namun suaranya hampir tidak terdengar.
Rini melihat perubahan itu dan langsung tersentak panik. "Arman? Arman! Kamu kenapa?!" Teriaknya sambil berlari ke arah suaminya yang tampak semakin lemas. Arman jatuh terduduk di sofa, memegangi dadanya dengan nafas yang semakin pendek.
"Aduh, Tuhan, tolong! Arman, tolong bertahan!" Rini berteriak ketakutan, tangannya gemetar saat meraih ponsel. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menelepon Tama. Dalam keadaan panik, hanya satu orang yang ada di pikirannya, yaitu putra sulung mereka, Tama.
Di apartemen Freya, Tama baru saja sedikit merasa tenang setelah pelukan Freya yang menenangkan. Ia masih duduk di sofa, memeluk Freya erat ketika ponselnya berdering. Melihat nama ibunya di layar, ia langsung mengangkat telepon.
“Iya, Bu?” kata Tama dengan suara datar, masih terbawa oleh suasana tegang yang belum sepenuhnya hilang dari hatinya.
Suara Rini terdengar gemetar di ujung telepon. "Tama! Ayahmu ... dia ... dia kena serangan jantung! Tolong pulang sekarang, Nak! Tolong!"
Tama terdiam sejenak, otaknya seolah berhenti memproses apa yang baru saja ia dengar. "Apa?! Serangan jantung?" tanyanya dengan suara tinggi, rasa panik mulai merayap ke seluruh tubuhnya.
Freya, yang melihat wajah Tama berubah drastis, langsung tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. "Apa yang terjadi, Sayang?" tanya Freya khawatir.
Tama tidak menjawab pertanyaan Freya, dia hanya mendengarkan suara ibunya yang penuh isak tangis di telepon.
“Cepatlah, Tama! Ibu tidak tahu harus bagaimana! Tolong!” Rini memohon dengan penuh kepanikan, suaranya pecah-pecah.
Tanpa berpikir dua kali, Tama langsung bangkit berdiri. "Aku akan segera ke sana, Bu. Tunggu aku!" Setelah menutup telepon, dia menarik napas dalam, lalu menatap Freya yang masih bingung.
"Ayahku ... kena serangan jantung. Aku harus pulang sekarang," ucapnya dengan suara terburu-buru, rasa bersalah dan takut mulai menguasai pikirannya.
Freya langsung berdiri, meletakkan tangannya di bahu Tama. "Aku ikut sama kamu. Kita harus cepat."
Tama mengangguk, meski pikirannya masih penuh dengan bayangan perkelahian terakhirnya dengan ayahnya. Dengan tergesa-gesa, mereka berdua keluar dari apartemen dan menuju rumah Tama, berdoa dalam hati agar Arman bisa bertahan.
DONT FORGET FOR LIKE, COMMENT, SUBSCRIBE AND VOTE! LOVE YOU GUYSSS ❤❤❤❤