Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Suara ketukan itu terdengar tiga kali, teratur, seakan memberi tahu bahwa ia tahu kami di dalam. Sejenak, udara terasa begitu berat. Andi dan aku saling berpandangan, isyarat darinya jelas, tetap diam dan jangan bergerak.
Aku merasakan keringat dingin mengalir di pelipis saat suara ketukan berhenti. Rasanya seperti keheningan yang menggantung di ujung jurang. Aku meremas jemari Andi, memohon kepastian dalam diam. Andi melirik ke arah jendela, mempertimbangkan, mungkin menakar kemungkinan Dion telah mengikutiku, bahkan sampai tempat ini.
Andi mencondongkan tubuh ke dekat pintu, hampir tak terlihat dari jendela kecil di atasnya. Dengan isyarat kecil, dia memintaku untuk mundur, menunggu di sudut yang tidak mudah terlihat dari pintu masuk. Meski rasa ingin tahu membuatku ingin mengintip, perasaan takut lebih kuat.
Ketukan di pintu berhenti, namun keheningan di sekitar kami semakin mencekam. Lalu, terdengar suara pelan, seseorang membisikkan sesuatu dari luar. "Aku tahu kau ada di dalam, Kirana." Suara Dion, tenang dan dingin, membuat bulu kudukku meremang.
Aku mundur ke dalam sudut, berusaha menyembunyikan diri di balik sofa. Andi menatapku, mencoba menenangkan dengan isyarat agar aku tetap tenang.
Andi menghela napas panjang, lalu membalas dengan nada yang tegas, "Dion, kau tidak punya hak berada di sini. Pergilah sebelum aku menelepon polisi."
Suara tawa kecil terdengar dari balik pintu, menyeramkan, dan menggema di lorong. "Kau benar-benar berpikir mereka akan melindunginya dari aku?" Dion terdengar meremehkan. "Kirana milikku, sejak dulu dan selamanya."
Andi tidak menyerah, kali ini membalas dengan lebih tegas, "Dia bukan milikmu, Dion. Apa pun yang terjadi di antara kalian, itu sudah berakhir. Pergilah sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Aku mendengar suara Dion bergumam, lalu langkah-langkah kaki yang semakin menjauh. Perasaanku lega sesaat, namun ada perasaan ganjil yang menggantung. Mengapa dia pergi begitu saja tanpa perlawanan? Terlalu mudah, terlalu cepat. Aku memandang Andi yang masih berjaga di depan pintu, ekspresinya tak bisa disembunyikan – ada keraguan di wajahnya.
Tak ingin berlama-lama dalam keadaan tak pasti, Andi menoleh padaku. "Kirana, dengarkan aku," suaranya terdengar serius, hampir seperti bisikan. "Kita harus mencari tempat lain. Dia mungkin kembali kapan saja, dan aku tak yakin ini akan menjadi terakhir kalinya dia mencoba."
Aku mengangguk, meski di dalam hati perasaan tak nyaman makin menjadi. "Apa mungkin dia sudah mengetahui tempat kita yang berikutnya?" tanyaku lirih, tak sepenuhnya yakin dengan rencana pelarian lagi.
Andi menghela napas panjang, tampak berpikir keras. "Aku punya teman di luar kota, di daerah yang tak banyak diketahui orang. Kita bisa ke sana, untuk sementara."
Malam itu kami berkemas dalam diam. Setiap detik terasa begitu berat, setiap suara kecil dari luar membuat jantungku berdebar kencang. Ketakutan dan kelelahan memakan energiku. Namun, saat Andi mengenggam tanganku, aku merasa ada harapan kecil yang kembali hadir, memberiku kekuatan untuk melangkah pergi dari tempat yang telah menjadi benteng sementara ini.
---
Pagi harinya, kami berada di mobil, melintasi jalan sepi yang dikelilingi pepohonan tinggi. Kabut pagi masih menyelimuti jalanan, memberikan suasana dingin yang menyeramkan. Andi tampak fokus mengemudi, sesekali menoleh ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja.
Aku menatap keluar jendela, pikiranku masih dipenuhi oleh ingatan malam sebelumnya. "Apakah dia benar-benar akan berhenti menguntitku, Andi?" tanyaku pelan, hampir tak berani berharap.
Andi terdiam sejenak, lalu menjawab, "Aku berharap begitu, Kirana. Tapi kita harus tetap waspada."
Kami melanjutkan perjalanan tanpa banyak bicara, tapi keheningan di dalam mobil terasa menenangkan, berbeda dengan ketegangan yang kurasakan di rumah. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa perjalanan ini adalah langkah terbaik, bahwa aku akhirnya bisa bebas dari bayang-bayang Dion.
Namun, saat kami hampir tiba di rumah teman Andi, sesuatu menarik perhatianku. Sebuah mobil hitam terlihat di kejauhan, berada beberapa meter di belakang kami. Aku merasakan gelombang panik, tanganku mencengkeram kursi dengan kuat.
"Andi," bisikku, suaraku terdengar gemetar. "Mobil di belakang itu… sepertinya mereka mengikut kita."
Andi melirik ke kaca spion, rahangnya mengeras. "Tenang, Kirana. Mungkin itu hanya kebetulan."
Namun, semakin lama, mobil itu tetap berada di belakang kami, menjaga jarak yang sama seakan sengaja mengikuti setiap belokan yang kami ambil. Ketegangan dalam mobil semakin terasa, dan akhirnya Andi memutuskan untuk mempercepat laju kendaraan.
Namun, mobil hitam itu juga ikut mempercepat, seolah memberi sinyal bahwa mereka memang sedang menguntit kami. Jantungku berdetak begitu keras hingga aku merasa bisa mendengarnya.
Andi menggertakkan gigi, lalu membelokkan mobil ke jalanan kecil yang lebih sempit, berusaha menghindari mobil hitam tersebut. Namun, setelah beberapa menit, mobil itu kembali terlihat di belakang kami.
"Kirana, dengar," kata Andi dengan nada serius. "Kau harus tenang. Aku akan coba mencari jalan keluar. Tapi kalau situasinya semakin buruk… kita mungkin harus mencari bantuan."
Aku mengangguk, meski ketakutan sudah mulai melumpuhkan pikiranku. Andi menambah kecepatan, berharap bisa membuat mobil itu tertinggal. Namun, tepat di tikungan berikutnya, mobil hitam tersebut muncul kembali dari arah yang berbeda, kali ini semakin dekat.
Aku menahan napas, merasakan adrenalin memuncak. Andi mengarahkan mobil menuju jalan yang lebih terpencil, namun mobil hitam itu tampak tidak gentar dan terus mengikuti dengan kecepatan yang sama.
"Ini tidak akan berakhir baik," gumamku, suaraku nyaris tersedak.
Tiba-tiba, sebuah suara telepon terdengar dari saku Andi. Dia merogoh ponselnya dan menatap layar sejenak sebelum menjawab, tanpa melambatkan laju mobil.
"Halo?" Suara Andi terdengar berat, penuh kekhawatiran.
Suara di ujung sana terdengar samar-samar. "Andi, kalian harus keluar dari jalan itu segera. Kami mendapatkan laporan bahwa ada ancaman serius dari Dion. Dia mungkin sudah mengirim orang untuk mengikuti kalian."
Andi menutup telepon, lalu menatapku dengan ekspresi penuh kepanikan. "Kirana, ini buruk. Kita harus segera mencari tempat berlindung."
Sebelum aku sempat merespon, mobil hitam di belakang kami tiba-tiba menambah kecepatan dan mendekati kami dengan cepat. Andi segera membelokkan mobil ke jalan tanah yang lebih sempit, mencoba menghindari pengejaran.
Aku merasakan mobil berguncang hebat saat melaju di atas jalan yang tak rata, namun Andi terus berusaha mengendalikan laju mobil sebaik mungkin.
Akhirnya, kami melihat sebuah bangunan kecil di tengah hutan, tampaknya tak berpenghuni. Andi segera mengarahkan mobil ke sana, memarkirnya di balik pepohonan lebat, dan mematikan mesin.
"Kirana, kita harus sembunyi di sini sementara," ujarnya pelan, menatapku dengan ekspresi serius. Aku mengangguk, tanpa berkata apa-apa, mengikuti langkahnya keluar dari mobil dan berlari menuju bangunan kecil itu.
Di dalam bangunan yang gelap dan berdebu, kami menemukan sebuah ruangan kecil yang tampaknya dulu digunakan sebagai gudang. Kami bersembunyi di balik tumpukan kotak-kotak tua, menunggu dalam diam sambil mendengarkan suara dari luar.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku bisa merasakan napasku memburu, jantungku berdebar begitu keras hingga rasanya bisa terdengar oleh siapa pun di luar sana.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan bangunan, lalu suara pintu kayu yang berderit terbuka, membiarkan cahaya tipis masuk. Aku menahan napas, merapatkan tubuh ke arah Andi.
Seseorang berdiri di pintu masuk, bayangannya terlihat samar di tengah kegelapan. Lalu, sebuah suara familiar yang dingin dan tenang terdengar, membuat seluruh tubuhku membeku.
"Aku tahu kau ada di sini, Kirana."