Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14
...***...
"Ahh..."
Melody melepaskan desahan pendek. gadis itu mengangkat sedikit tubuhnya untuk menggapai leher Kaal. Bibir mereka kembali beradu dalam ciuman yang kasar.
Pembicaraan sebelumnya mendadak luntur untuk sejenak. Apa yang bersarang di kepala dua sejoli yang kini saling lekat adalah hasrat yang memuncak. Kaal membiarkan seluruh bagian dari dirinya masuk, membuat tubuh Melody terjatuh pasrah di atas ranjang.
Kaal membuka kedua kaki gadis itu lebih lebar, matanya tidak lepas untuk meneliti setiap apa yang merupakan bagian dari gadis itu pipi yang bersemu, tubuh yang menggeliat, bagian bawah gadis itu yang meregang setiap kali Kaal menghujamkannya lebih dalam.
Desahan beruntun mengisi ruangan, erangan yang saling sahut serta suara peraduan yang semakin intens. Di antara hujaman, Kaal tidak sengaja menangkap perpotongan leher Melody yang tidak bernoda.
Bayangan yang tidak perlu masuk, sesuatu yang paling dekat dengan cemburu mendadak tersulut. Tanpa pikir panjang, Kaal menghisap perpotongan lehernya dengan gerakan sama sekali tidak melambat.
Panas napas Melody berhembus ke telinganya, desahan lemah memabukkan yang membuat Kaal hilang pertahan diri.
Kenyatannya ia, ternyata, tidak sekuat yang ia kira.
"Kau sempurna, Melody."
Seketika, Kaal merasakan tubuh gadis itu mendekapnya erat, napas gadis itu berubah berat
"Apa itu sebuah kebohongan juga? Katakan bahwa kau berbohong Kaal."
Dalam satu perpindahan tajam, Kaal menusuk bagian paling dalam gadis itu.
Gadis yang berbaring di bawahnya berteriak, punggung melengkung oleh setiap hujaman menukik yang beruntun setelahnya.
"K-Kau belum men–" Melody menggumam susah payah
"Kau belum menjawab."
Gerakan Kaal meningkat lebih brutal, ia berusaha membungkam Melody, membuat gadis itu diam, diam, diam, sebab ia tidak bisa berada di bawah tekanan seperti ini.
Akan tetapi kekhawatirannya diperkuat ketika Melody justru melanjutkan dengan
"Ini kali pertamaku, aku belum pernah melakukan ini sebelumnya."
Aku tahu
Kaal hanya terdiam sejenak lalu melanjutkan kembali gerakan yang sebelumnya tertunda.
"Hari itu. Ketika aku pergi semalam suntuk, aku tidak melakukan hal itu Kaal." Melody menjelaskan lebih lanjut.
"Aku memang hampir saja melakukannya. Aku ingin mengetahui apa yang membuatmu begitu menyukai hal ini. Tetapi, ketika lelaki itu mulai menciumku aku merasa salah."
Kepala Kaal segera dipenuhi kabut, ia sungguh berselimut kalut.
"Aku hanya ingin kau, aku hanya menginginkanmu, bukan yang lain Kaal."
Tangan mungil Melody menyibak rambut Kaal yang jatuh, gadis itu lantas beranjak ke pangkuan Kaal untuk menanamkan satu ciuman dalam ke bibirnya.
"Jadi aku mohon, katakan padaku bahwa semua yang kau ucapkan tadi benar hanya sebatas dusta."
Bibir gadis itu beranjak ke garis rahangnya, meninggalkan kecupan-kecupan kecil di sana.
"Sebab aku butuh alasan untuk menyudahi ini Kaal"
Gadis itu memeluknya, kepala terkubur pada ceruk leher Kaal selagi tubuh mereka bergerak lambat.
"Sebab aku sungguh butuh alasan untuk menyerah padamu."
Mendengar itu, dada Kaal sesak oleh pengakuan, mengenai ia yang tidak ingin ini terjadi, mengenai ia yang sejujurnya memuja Melody lebih dari apapun walaupun cara yang ia gunakan tidak wajar, mengenai hatinya—yang berada di ambang, Melody hanya memerlukan satu kali ketukan sebelum menjadi pemilik seutuhnya.
Juga mengenai ia yang tahu bagaimana jika cerita cinta ini benar terwujud mereka jatuh cinta, mereka menjadi sepasang kekasih, Kaal yang selalu melakukan kesalahan, Melody yang memaafkan, Kaal yang kembali melakukan kesalahan, Melody yang terlalu mudah memaafkan.
Dalam siklus tersebut, Melody akan hancur tepat di depan mata Kaal tanpa ia sadari kapan. Ia hanya akan dapat mendeteksinya ketika Melody telah benar-benar lebur.
Maka dari itu ia memberikan tamparan kepada dirinya sendiri untuk sekedar menyadarkannya lagi; ia tidak boleh jatuh cinta
"Tentu aku sedang berbohong Melody, berhenti mengharapkan sesuatu yang takkan pernah terjadi"
Pernyataan itu terlambat, janggal, dan ragu—Melody menangkap semuanya.
"Kau benar-benar kejam Kaal. Kau benar-benar jahat, aku bahkan tidak pernah membayangkan kau melakukan semua ini"
Kaal meraih pinggang ramping Melody, ia berupaya menghilangkan kalimat gadis itu dengan meningkatkan tempo gerakan dengan semakin cepat dan membenamkan bagian dari dirinya semakin dalam, menekan titik terdalam gadis itu. Ia tak peduli lagi bagaimana perasan gadis itu, hanya itu yang bisa Kaal lakukan saat ini mendorong masuk hingga bagian terdalam gadis itu...
Kaal menaikturunkan tubuh Melody sembari menyingkirkan keinginan untuk membawa Melody kembali berbaring di lengannya, menenangkan gadis itu dengan sentuhan lembut, atau harapan mengenai masa depan.
Gerakan dan gesekan tubuh keduanya berubah menjadi lebih basah karena Kaal yang mengerakan pinggulnya semakin brutal menghujam gadisnya itu.... bukan hanya karena peluh melainkan karena air mata Melody yang mulai memenuhi bahunya.
Keduanya keluar secara bersamaan, tubuh mereka seketika menegang menahan gelombang dahsyat yang menerjang tubuh merek, dekapan keduanya saling mencekik dan air mata Melody turun lebih deras.
"Kaal, inilah bagaimana aku rusak. Ini lah bagaimana kau berhasil membuatku patah..."
Melody menangis tanpa suara, lengan melingkar kuat di leher Kaal untuk mempertahankan posisi mereka.
"Bukan dengan kau yang menginjak perasaanku dengan sengaja, melainkan dengan kau yang membuatku merasa berharga walaupun kenyataannya tidak demikian."
Kaal ingin membantah.
Tentu, kau berharga Melody
Tentu, sebab kau yang paling berharga untukku
Namun, seluruh kata sebaiknya tetap terperangkap pada tempatnya.
Melody Senja, ketahuilah, kau lebih baik patah.
Aku tidak ingin dikenang sebagai seseorang yang mencintaimu kemudian menghancurkanmu.
...***...
...Haruskah ia menyerah?...
...Ia tidak pernah berpikir bahwa surga itu nyata.......
...Jadi aku akan mencintainya dan menikmati sakitnya neraka.........
...****...
Sebuah kenyataan pahit yang terdapat di ruangan itu. Di dalam runduk sendu yang kian membeku, serta realisasi yang perlahan hadir untuk menyadarkan diri.
Sepasang raga duduk saling memunggungi pada ujung tempat tidur dengan tubuh yang hanya berbalut selimut, selagi peluh mereka mulai surut.
Mereka tidak tahu harus memulai darimana atau bicara mengenai apa. Karena ini adalah sebuah rasa yang terlampau asing bagi keduanya
Pertengkaran-pertengkaran bahkan mungkin aspek apapun di antara mereka sebelumnya tidak pernah berujung kepada aktivitas seksual.yang mereka lakukan beberapa waktu yang lalu.
Persatuan tubuh dengan gejolak gairah berbuntut kalimat-kalimat yang tidak mampu diucapkan pada situasi biasa. Melody—dalam pikirannya sendiri, berasumsi bahwa apa yang menjadi ekor sudah jelas.
Semakin besar cintamu kepada seseorang, semakin sakit pula rasa sakit yang kau dapatkan
Namun sekarang ia menyadari ia tak bisa menahannya lebih dari ini, ia menyerah, ia telah patah.
Melody Senja ingin berhenti. Ia ingin mengakhiri pengingkaran ini, suatu harapan berisi keinginan agar Kaal kembali padanya. Sebab orang-orang selalu berjuang untuk cinta yang percuma dan ia tidak ingin menjadi salah satunya.
Beranjak dari duduk, Melody meraih baju di lantai sebelum mengenakannya. Keputusannya bulat untuk pergi dari tempat ini dari Kaal. Akan tetapi belum sempat ia melangkah lebih jauh dari tempat tidur, sebuah suara yang tadinya bungkam kemudian terdengar.
"Tinggal."
Melody mematung, menunggu kata selanjutnya.
"Biar aku yang pergi."
Oh, Kaal Vairav.
Melody mendengus, hampir melepaskan tawa mencibir karena,
"Berhenti bersikap seolah kau peduli karena itu sama sekali tidak lucu, aku masih tak mengerti kenapa pada titik ini kau masih ingin menjadi pahlawan? Kau pikir aku masih bisa diselamatkan?"
"Tidak, hanya saja aku merasa akan lebih mudah jika aku yang pindah."
Melody merapatkan bibir. Ia terlalu lelah untuk membantah, seluruh raganya terlalu letih untuk berpartisipasi dalam tarik ulur yang dimainkan Kaal. Sedetik lelaki itu peduli, sedetik kemudian lelaki itu berubah menjadi bajingan lagi.
Sementara Melody—dengan bodohnya, selalu mengira bahwa ia memiliki artian berbeda dari tatapan mata Kaal.
Hal tersebut pula yang mendorongnya untuk melihat apakah Kaal masih bisa menganggapnya setara dengan mencoba menjadi target lelaki itu di bar tempo lalu.
Jawaban dari eksperimennya memang tidak, tetapi ternyata itu belum cukup menjadi pembuktian yang kuat.
Maka menanggapi argumen sebelumnya Melody hanya mampu mengedikkan bahu.
"Ya, terserah. Lakukan apapun yang kau ingin lakukan Kaal" Melody tidak berani menoleh, memilih untuk mengambil langkah keluar dari ruang tidurnya sendiri.
"Aku akan membersihkan diri, tetapi aku harap ketika aku selesai kau sudah tidak di sini."
Tidak ada sahutan yang tertangkap. Hanya tatapan berat dari lelaki di belakang yang begitu terasa melubangi punggung.
Melody berusaha menjaga kepalanya agar tetap tinggi demi mengirimkan penutup yang akan mengakhiri malam panjang ini.
"Dan satu lagi Kaal" lanjut Melody tanpa bergetar.
"Aku mohon jangan pernah kembali"
...***...
Melody harus memutar kursi untuk memunggungi sahabatnya ketika gadis itu menyebutkan nama seseorang untuk yang kesekian kali di dekat telinganya. Ia berpura-pura menyisip kopi yang hanya tertinggal ampas demi menghindari kicauan gadis itu selanjutnya. Namun sepertinya, semua percuma ketika sahabatnya justru memaksa masuk ke dalam kubikel, kemudian menatapnya tepat di mata.
"Oh, ayolah! Aku rasa dia menarik."
Melody menggeleng jemu.
"Mona, aku tidak tertarik untuk terlibat dalam kencan apapun."
"Bagaimana dengan Adam?"
"Tidak."
"Faisal?"
"Mona Ayolah aku—"
"Aku berani bertaruh dia seratus persen tipemu." Mona memotong, bibir meringis kecil.
"Dia juga sering tertangkap basah mencuri pandang ke sini."
"Jangan membuat rumor."
Melody mendengus pendek seraya berdiri. Memutuskan untuk kembali mengisi kopinya sekaligus mencoba peruntungannya lagi agar bisa lepas dari sahabatnya itu.
Tetapi gadis cantik itu ternyata tetap belum mau berhenti—langkah riangnya yang lebar mengikuti Melody hingga ke pantry.
"Aku tidak membuat rumor!" Sanggahan tersinggung atas ucapan Melody sebelumnya terdengar.
"Kau bisa memanggil saksi-saksi yang melihatnya jika kau mau."
Alis Melody naik setengah mendeteksi subjek plural dari mulut sahabatnya
"Saksi-saksi? Apa maksudmu Mona"
"Ya, kedua mataku! Mereka saksinya, mereka menyaksikan bagimana Faisal menatapmu penuh damba"
Pelupuk Melody memejam erat. Ia sedikit menyesal telah menanyakan hal tersebut. Masih dengan sangat tidak acuh, tangannya menuang kafein cair yang sudah sedikit dingin dari dalam teko.
Pada hari biasa, Melody akan mempermasalahkan ini. Namun untuk sekarang, ia tidak berniat untuk meracik kopi yang baru.
"Jadi bagaimana, kau setuju? Biarkan aku mengatur pertemuan kencan kalian, okay? Aku akan bicara dengamnya saat makan siang dikafetaria kantor."
"Aku tidak mau."
"Tetapi—"
"Ayolah Mona, mengapa kau begitu bersikeras?"
"Karena ini!" Perubahan signifikan di nada Mona membuat Melody terkesiap. Ia memandang kedua tangan gadis yang menunjuk ke arahnya—mengisyaratkan bahwa poin yang sedang dibicarakan adalah dirinya.
"Melody Senja, kau pikir aku tidak tahu bahwa kau terus-menerus bekerja hingga larut?"
"Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."
Kamuflase Melody terlalu lemah dan Mona yang jeli segera membantah dengan
"Perusahan kita baru saja merekrut karyawan magang."
Menangkap kalimat itu, Melody menggigit bibir. Sebab dalam hati, ia tahu persis apa alasan yang mendasari tindakannya; karena ini memang kehendaknya. Karena ia memang sengaja memaksakan diri dengan jumlah jam kerja panjang untuk menyibukkan isi kepalanya. Untuk setidaknya menjejalkan banyak perkara agar seseorang yang telah lama menghuni di sana sudi berkemas dan segera enyah.
Sebab patah hati bukan hanya permasalahan menyembuhkan.
Melainkan juga menyaring memori mana yang diizinkan tinggal tanpa harus menimbulkan luka ketika kembali dikenang.
"Ayolah Melody, ini tidak sehat." Mona yang secara tersirat memahami penyebab meraih kedua bahunya.
"Aku tahu saranku belum tentu bekerja, tetapi paling tidak kau harus punya usaha untuk menggantikan dia."
Menggantikan mungkin bukan kata yang tepat. Tidak ada yang bisa diganti, cintanya kepada Kaal hampir mutlak tanpa kasasi. Akan tetapi mungkin pada kasus ini—pada kepala yang sudah ditinggali terlalu lama atas kemauannya sendiri, mungkin ia butuh bantuan. Mungkin seseorang yang bisa meyakinkan penghuni lama itu untuk angkat kaki bukanlah dirinya, melainkan penghuni yang baru.
"Sabtu ini aku ada waktu."
Wajah Mona mendadak berseri saat sahutan itu mengudara. Dua tepukan pelan ke lengan didaratkan hingga isi cangkirnya nyaris tumpah. Masih berdiri pada tempat yang sama, Melody hanya mampu tersenyum kecil melihat sahabatnya berlalu seiring janji akan mengatur semua persiapan dengan Faisal untuk kencan mendatang.
Ada awal dari segala akhir.
Melody mengerti bahwa ia merupakan pemeran utama untuk menyembuhkan hatinya sendiri. Maka dari itu, tangannya kemudian meraih ponsel di dalam saku.
Jemari bergulir cepat untuk menemukan satu nama dari puluhan daftar kontak yang tersimpan di sana. Menimbang sejenak, Melody melewati detik-detik berselimut keraguan yang sekuat tenaga berusaha dituntaskan.
Apa kau benar-benar akan menghapus Kaal Vairav dari hidupmu?
Hela napas panjang, ibu jari Melody lantas menekan satu tombol dengan pasti.
Yes.
Ia harus
Meskipun ia tak menginginkan itu
...TBC...