Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Sejuta kasih untuk Gita
Pagi kembali menyingsing, Aruna perlahan membuka kedua matanya yang terasa berat. Ia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Bukan hanya kepala, seluruh tubuhnya saat ini sangat sulit Ia gerakkan. Ditambah hatinya yang terasa pilu ketika mendapati ketiadaan Aryan di sampingnya. Jam belum menunjukkan untuk berangkat, namun pria itu sudah hilang entah kemana.
"Ahhh pasti ke rumah Mbak Gita. Mikir apa sih aku?" Celotehnya diiringi tawa kecil meski air matanya berderai begitu saja.
Di samping itu, Aryan masih menunggu Gita terbangun. Sejak Ia ke sana dari jam 3 dini hari tadi, Gita tak juga membuka mata meski Ia sudah mencoba membangunkannya. Setelah melihat pesan yang Gita kirim, hatinya mendadak gelisah tak karuan. Ada rasa sesal karena tak jadi pulang ke rumah istri tuanya. Ia bersandar di samping Gita yang terlihat masih terlelap seakan tak ingin cepat-cepat terbangun. Sentuhan lembut Aryan berikan pada Gita yang kini terlihat mengerjapkan mata, dan akhirnya terjaga dari tidurnya.
"Eh.. Mas? Kok di sini? Sejak kapan?" Pekiknya segera beranjak dan bersiap untuk membersihkan diri. Terlihat sangat jelas jika Gita menghindari Aryan pagi ini. Apa karena Ia terlambat membaca pesan?
"Sayang.. aku--".
"Mas mau kerja? Mau pakai baju apa?" Tanyanya jelas mengalihkan pembicaraan.
"Kamu mau mandi, kan?" Aryan balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Gita sebelumnya. Wanita itu hanya mengangguk seraya tersenyum namun kemudian berjalan mendekati dirinya.
"Kalau Mas mau berangkat pagi, Mas saja duluan yang mandi. Aku siapkan sarapan dulu, setelah itu Mas sarapan." Tuturnya tak sedikitpun memperlihatkan kekecewaan. Inilah yang Aryan jadikan alasan mengapa Ia tak ingin perempuan lain selain Gita. Selain tutur katanya yang lembut, Gita juga memiliki hati yang lapang untuk setiap kesalahan Aryan yang harus Ia terima.
"Sayang.. maaf--"
"Udah jam segini Mas. Nanti terlambat." Lagi, Gita seakan mengalihkan pembicaraan membuat Aryan semakin sendu menatapnya. Cepat-cepat Ia menarik sang Istri lalu menatap kedua matanya dengan lekat.
"Kamu nangis? Sayang? Aku buat kamu nangis?" Mendengar kepanikan suaminya itu, Gita hanya tertawa kemudian menggeleng seakan merasa terhibur dengan sikap Aryan yang menggemaskan baginya.
"Enggak. Aku banyak tidur aja Mas. Makanya ada kantung mata." Sanggahnya masih tertawa.
"Enggak sayang. Kamu bukan banyak tidur. Kamu nangis kan? Sayang maafin aku. Aku gak baca pesan kamu karena semalam--"
"Gapapa Mas. Aku ngerti kok. Lagian, kalau Mas lebih banyak waktu buat Aruna, Mas bisa cepat punya anak."
"Tapi kalau semalam aku ke sini, bisa aja nanti kamu hamil, sayang."
"Siapa yang tahu Mas. Mungkin aku memang belum dikasih kepercayaan."
"Sayang.. aku benar-benar minta maaf. Kemarin aku susul Aruna yang tiba-tiba pulang. Kamu tahu kan gimana Ibu? Kalau sampai ketahuan Aruna pulang gak bilang-bilang, Ibu pasti marahin aku, dan juga bisa aja Ibu mikir yang enggak-enggak. Kamu jangan marah ya, sayang. Aku sama Aruna akan cerai kalau sampai bulan depan dia gak hamil." Papar Aryan lagi. Senyum manis kembali mengembang di bibir Gita.
"Kalau hamil?" Pertanyaan itu terlontar tanpa kendali pikiran Gita. Ia benar-benar sudah terlampau cemburu jika saja Aryan dan Aruna semakin lama bersama.
"Sampai melahirkan. Itu perjanjian aku sama Ibu, sayang. Setelahnya, aku sama Aruna akan bercerai. Dan aku akan fokus sama kamu."
"Lalu bagaimana dengan anak kamu sama Aruna nanti?"
"Ibu yang mau anak itu, sayang. Bukan aku."
"Mas.. itu anak manusia loh. Anak kamu. Kamu dengan mudah lepas tanggung jawab?"
"Apa kamu pernah mikirin perasaan aku? Dari awal aku gak mau poligami. Tapi kamu kan yang paksa? Kamu yang nyaranin sampai Ibu dengar ucapan kamu dan desak aku untuk itu. Aku cape Git. Aku cape di situasi ini. Harus kasih nafkah lahir batin sama wanita yang gak aku cinta. Setiap aku nyentuh dia, aku cuma ngebayangin wajah kamu. Aku sebut nama kamu, aku anggap itu kamu. Kamu gak mikir Git? Hmmh? Gak ada yang bisa gantiin posisi kamu sebagai istri aku." Bukan hanya Aryan, deraian air mata terlihat di wajah Gita mendengar isi hati Aryan selama ini. Yang Ia pikirkan bukan perasaan Aryan, tapi Aruna. Bagaimana sakitnya hati Aruna jika selama ini Aryan menyentuhnya tanpa menganggap dirinya. Gita menangis tersedu-sedu merasakan kesakitan yang teramat dalam ketika membayangkan dirinya berada di posisi Aruna.
"Sayang... aku minta maaf. Aku banyak salah sama kamu. Aku gak jadi suami yang adil untuk kamu. Aku minta maaf karena kemarin aku malah fokus susul Aruna dari pada nemenin kamu ke klinik. Aku minta maaf karena kemarin pikiran aku cuma takut Ibu marah, tapi aku lupa sama rencana kita." Melihat Gita yang tak henti menangis, hati Aryan terasa remuk hingga Ia memeluk erat sang istri dengan penuh cinta. Entah apa yang membuat Gita begitu pilu, namun Aryan yakin jika istrinya ini memang menahan sakit sejak Ia menikahi Aruna. Meski wajahnya tersenyum, namun hatinya menjerit melihatnya bersanding dengan wanita lain.
...----------------...
"Bu... saya bawakan makanan. Ini sudah siang, tapi ibu belum makan." Ujar Bi Ima yang memasuki kamar Aruna dengan sopan.
"Simpan di sini saja Bi. Maaf ya merepotkan."
"Apa ibu sakit lagi?" Sontak Aruna sedikit terhenyak mendapati pertanyaan tersebut. Ingin Ia menjawab 'sakit sekali Bi. Majikanmu sudah gila menyiksaku.' Namun kalimat itu tak sampai di tenggorokannya. Ia menelan kembali dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Mungkin efek kemarin pulang, Bi. Jadi rasanya badan aku sakit." Jawabnya.
"Kalau ibu butuh sesuatu, saya ada di bawah."
"Iya bi. Makasih ya!" Ucapan itu ditanggapi anggukan oleh Bi Ima. Setelahnya ART tersebut berlalu meninggalkan Aruna yang langsung meringis kesakitan di atas ranjang sana. Ia baru teringat jika obat miliknya sudah hampir habis. Ia harus cepat-cepat membelinya tanpa sepengetahuan Aryan. Atau, semuanya akan sia-sia.
...----------------...
"Mas.. aku mau ketemu sama Aruna, boleh?" Tanyanya setelah suasana dirasa tenang.
"Untuk apa, sayang?" Sahutnya memeluk sang istri dari samping. Keduanya duduk begitu dekat hingga terlihat seperti tengah berpelukan, padahal Gita hanya bersandar saja.
"Ya... mau ngobrol aja. Kapan lagi aku punya adek. Kelihatannya dia emang baik sih Mas."
"Kenapa kamu mikir gitu?"
"Ya... jarang loh, bahkan gak ada istri kedua yang ngaku sepupu istri pertama di depan keluarga besar suaminya. Kebanyakan mereka bangga kalau mereka jadi perebut suami orang. Ini Aruna gak sama sekali."
"Namanya juga gak cinta. Aku juga gak mau kalau sampai dia akui aku suaminya di depan keluarga besar."
"Ih Mas kok ngomongnya gitu. Kasihan loh Aruna. Mau bagaimana pun, dia istri Mas juga."
"Iya tapi Mas gak cinta sama dia."
"Belum Mas. Bisa aja setelah kalian punya anak, cinta itu tumbuh di hati Mas sama Aruna. Iya kan?"
"Kenapa jadi bahas itu?"
"Ya habisnya Mas gak kerja."
"Hubungan aku gak kerja sama Aruna itu apa?"
"Ya gapapa. Nyambung aja ke sana." Sanggah Gita berusaha mengalihkan agar Aryan tak jadi merajuk. Ia tahu pasti jika Aryan tak ingin membahas Aruna bukan karena tak menyukainya, tapi karena dirinya yang mungkin akan merasa cemburu lagi.
"Berapa kali aku bilang kalau rasa cinta, sayang, kasih, rindu aku itu cuma buat kamu." Tutur Aryan lagi. Kali ini Gita hanya tersenyum menanggapi.
...----------------...
"Aruna... kamu serius belum hamil?" Tanya Sundari sesaat setelah Ia sampai di rumah Aruna. Terlihat menantunya itu mengeryit lalu menggeleng menanggapi pertanyaan mertuanya tersebut.
"Kalau sampai bulan depan kamu gak hamil juga, pasti-- emmm pokoknya ibu harap kamu cepat hamil ya!" Celoteh Sundari yang nyaris saja keceplosan di depan Aruna yang mulai mencurigainya.
"Pasti apa, Bu?" Tanyanya
"Eng-enggak. Ibu pengen cepat gendong cucu aja. Kamu kan menantu kesayangan Ibu. Harapan terbesar Ibu. Jadi, Ibu harap kamu bisa mengerti ya!" Sangat jelas terlihat wajah gelisah Sundari ketika mengelak dari pertanyaan Aruna. Ia tak bisa menutupi kepanikannya yang membuat Aruna menatapnya semakin lekat.
"Hampir saja. Kenapa dia belum hamil juga? Ini pasti ada yang salah. Kondisi rahim Aruna tercatat sehat tanpa ada gejala apapun yang membuatnya sulit hamil. Tapi kenapa sudah dua bulan dia belum mengandung juga." Batin Sundari terasa ingin mencari tahu sesuatu.
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..