Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 PULANG KE RUMAH
Sisa-sisa hari bulan madunya, ia habiskan di kamar saja. Ia mengunci pintu dari dalam, memberi akses masuk untuk para karyawan hotel saja yang akan mengantarkan makanan. Vania hanya menyibukkan diri di kamar. Memandangi pemandangan dari jendela kamarnya saja.
David pun setelah kejadian Vania masuk ke kamarnya, pria itu tak ada usaha untuk menemuinya. Ia sepertinya sama menutup diri di kamar. Karna Vania tak pernah melihatnya berada di luar hotel lewat jendelanya.
"Nyonya, saya bantu kemasi barang-barang Anda. Karna nanti sore Anda akan pulang." Vania yang kala itu sedang menyantap makanannya seketika terkejut. Matanya langsung melihat pada kalender yang ada di atas meja.
"Masih lama kok. Belum satu minggu," ujarnya.
"Tapi tadi tuan David menyuruh saya membantu Anda kemasi barang-barang. Karna sudah ada tiket untuk pulang."
"Oh," jawabnya acuh.
Vania tak mau terlalu memikirkan, kalaupun harus pulang hari ini juga tak masalah.
Drrtt ... Drrtt ...
"Hallo, Ma." Larissa menelponnya, ia terkejut karna baru sekarang ditelpon ibu mertua.
"Vania sayang, nanti sore kamu pulang ya. Maaf ternyata ada kesalahpahaman, ada sedikit kesalahan teknis. Jadi, yang seharusnya kalian berbulan madu satu minggu malah cuma lima hari. Maafkan Mama ya."
"Ya gak apa-apa, Ma. Lima hari juga waktu yang lama. Vania sudah bersenang-senang di sini," jawabnya .
"Syukurlah. Mana David?" tanyanya.
"Hm, mas David lagi keluar, Ma. Mungkin lagi beli sesuatu," ujarnya setelah sejenak berpikir mencari alasan.
"Oh, ya sudah. Dia bersikap baik terhadap kamu, kan? Kalau ada apa-apa bilang Mama ya."
"Iya, Ma."
Telepon pun terputus, ia masih memegangi ponselnya dengan pikiran yang tak karuan.
"Kenapa sifatnya berbeda sekali dengan mamanya?"
.
.
.
Terlihat lalu lintas orang-orang di sekitar bandara, terpantau cukup ramai. Matanya sedari tadi melihat ke kanan dan ke kiri mencari seseorang.
"Nyonya, ini minuman untuk Anda." Tiba-tiba datang seorang pelayan rumah entah darimana asalnya. Yang tadinya ia berangkat ke bandara bersama supir seorang diri, di sini ia ditemani oleh seorang pelayan.
Ia pikir David sudah menunggunya di sini tapi sampai pesawat akan lepas landas, pria itu tak kunjung kelihatan.
"Kemana tuan David? Apa dia sudah pulang lebih dulu?" tanyanya setelah ia menepis egonya untuk bertanya.
"Untuk itu saya kurang tahu, Nyonya. Saya datang ke sini atas perintah saja dan disuruh menemani Anda," jawab pelayan tersebut.
Setelah ia mengetahui bahwa David tak memakai cincin pernikahan mereka, entah kenapa hatinya terus saja sakit saat mengingatnya.
"Aku ingin menginap di rumah ibuku." Vania mengatakan akan pulang ke rumahnya. Ia merindukan sosok ibunya. Jika ia sedang bersedih dan ada masalah, ia akan bercerita kepada ibunya.
Di kediaman Temmy, suasana rumah terlihat lengah. Halaman rumah yang sejuk dengan adanya beberapa tanaman hidup. Rumah sederhana yang dibeli Temmy dengan uang tabungan yang ada saat itu. Mereka merantau dari desa ke kota, demi kehidupan yang lebih baik. Keinginan Sissy untuk bersekolah di kota akhirnya terwujud juga.
"Vania ...." Amira memeluk putri sulungnya dengan haru. Baru saja ia mengatakan merindukan putrinya dan ingin bertemu, ternyata Tuhan langsung mengabulkannya.
"Ibu ...." Keduanya sama-sama haru, entah karna Vania juga ada sedikit masalah ia jadi lebih sensitif. "Aku merindukan Ibu. Aku pulang dari bulan madu langsung ke sini. Aku ingin menginap di sini untuk beberapa waktu."
Ekspresi Amira langsung terkejut. "Tidak, Bu. Aku tidak ada masalah apa pun dengan mas David. Aku juga sudah ijin akan menginap di sini. Mas David juga sedang ada perjalanan bisnis di luar kota." Vania baru saja diberitahu oleh Larissa bahwa David ada pekerjaan di luar kota.
"Oh begitu. Ya sudah, ayo makan dulu. Ibu sudah selesai memasak."
Vania lekas duduk, dimana kursi yang biasa ia tempati. Ia merasakan lebih nyaman duduk di sini dibanding duduk di meja makan mewah di rumah mertuanya.
Senyum Amira terus mengembang. Beliau benar-benar tidak menyangka bahwa putrinya akan datang.
"Sering-sering mengunjungi ibu ya, Nak. Ibu merindukan kamu, kamu yang selalu membantu pekerjaan rumah. Kini Ibu sendiri yang mengerjakan."
Perkataan ibunya membuat Vania lekas berpikir. "Ya sudah. Nanti Vania carikan pembantu ya. Buat bantu-bantu di sini."
"Tidak usah, Nak. Ayah memang sudah berencana untuk mencarikan pembantu. Tapi nanti nunggu ayah ada waktu. Akhir-akhir ini sangat sibuk di kantor. Apalagi ayahmu yang harus selalu mendampingi tuan Marshel."
Kehidupan keluarganya memang lebih baik, sejak ayahnya bekerja di perusahaan Papa mertuanya. Ia menyadari dengan perubahan ekonomi mereka. Juga Sissy yang bisa bersekolah di sekolahan yang mewah dengan uang bulanan yang tak sedikit. Juga segala peralatan dam fasilitas sekolahnya sudah lengkap.
"Vania, istirahat di kamar dulu ya, Bu."
Kamar pribadi yang sudah ia tinggal beberapa waktu sejak pernikahan, terlihat masih bersih dan rapi. Ia berpikiran bahwa ibunya selalu membersihkan kamarnya setiap hari. Bahkan letak benda-bendanya tidak berubah sama sekali.
"Tidak ada yang berubah. Yang berubah hanyalah status aku."
Pernikahan yang ia idamkan akan bahagia, tapi ia cukup terluka. Ia sudah menemukan tentang sikap David yang selalu dingin, itu karna ada wanita lain di hatinya. Terbukti bahwa ia tak mau memakai cincin pernikahannya.
Air matanya tak terasa menetes. Dia menangisi nasibnya.
"Vania, kamu kenapa?" Amira tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Awalnya ia ingin memeriksa apakah putrinya sudah beristirahat apa belum.
Dengan cepat ia menghapus air matanya. "Aku terlalu merindukan Ibu," ujarnya setengah berbohong.
"Ya Tuhan, Nak." Amira mengelus-elus kepalanya lembut. "Kalau kamu tidak sempat ke sini, nanti Ibu yang ke sana. Kirim pesan saja ke ponsel ayah," tuturnya kemudian. Karna di rumah ini yang memiliki ponsel hanya Temmy. Sissy pun tak diperbolehkan pegang ponsel. Temmy hanya membelikannya sebuah laptop saja untuk belajar.
"Ibu ...." Vania merasa nyaman di pelukan ibunya. Ia ingin berlama-lama di dalam pelukannya. "Aku ingin bertanya soal rumah tangga, Bu."
"Iya, Sayang. Kenapa?"
"Apa selama pernikahan Ibu pernah salah paham dengan ayah?"
Amira tersenyum. "Sering, Nak. Namanya permasalahan rumah tangga pasti ada saja ujiannya. Tinggal ego kalian saja yang diatur. Kalau satunya lagi marah, satunya membujuk. Begitu sebaliknya."
"Kamu sedang salah paham dengan suami mu? Nak, pernikahan kalian masih seumur jagung. Awal pernikahan pasti akan banyak ujiannya. Tapi ibu pesan, tetaplah jadi istri yang berbakti pada suami. Jalani kewajiban kamu sebagai istri. Jangan sampai kamu tidak melakukannya hanya karna sedang marahan," tuturnya dengan lembut.
"Kewajiban seperti apa?" tanya Vania bingung.
"Ya contoh kecil seperti menyiapkan segala keperluannya seperti pakaian kantor untuk David, mengambilkan makanan, dan lainnya. Kalian memang sudah punya banyak pelayan, tapi ada contoh-contoh kecil yang tak mungkin bisa dilakukan seorang pelayan. Kamu harus tahu itu. Dan juga memberikan nafkah batin untuk suami."
DEG.
"Nafkah batin? Hingga saat ini dia belum menyentuhku," ujarnya getir dalam hati.