Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 14
Candra berdiri di dapur cafe, menyusuri meja-meja yang baru saja dibersihkan. Aroma kopi dan roti panggang masih mengendap di udara, tapi hari itu tak ada niat untuk membuka. Dia menatap papan nama cafe, mata yang tadinya cerah, kini memancarkan kebimbangan.
"Dira, bagaimana kalau kita tutup hari ini?" Suaranya nyaris bergetar, palet emosi memuncak dalam dirinya.
Dira, yang mengecek persediaan bahan, berhenti sejenak. Dia menatap Candra dengan eyebrow terangkat.
"Kau serius? Kenapa tiba-tiba seperti ini?"
Candra mengalihkan pandangnya, matanya terarah pada jendela. "Aku butuh istirahat. Sepertinya semua yang terjadi akhir-akhir ini... terlalu berat."
Dira mendekat, menepuk punggung Candra lembut. "Mungkin pantai bisa lebih menenangkanmu. Nia juga sudah siap. Mari kita pergi."
Suasana hati Candra sedikit menghangat. Goresan perasaan kesepian mulai pudar. "Kau yakin Nia mau ikut?"
"Kau tak tahu betapa dia suka bermain di pantai." Dira tersenyum lebar, keceriaan bergetar di suaranya. "Dia sudah bilang, tidak diizinkan bekerja hari ini."
"Baiklah." Candra menghela napas, senyumnya merayap muncul. "Kita tutup hari ini."
Dira meraih telepon dan mulai menghubungi Nia.
***
Satu jam kemudian, mereka bertiga meluncur menuju pantai. Ombak berpadu, sesekali menyentuh kaki mereka yang tak sabar mendekati pasir keemasan. Candra menghirup aroma laut, menanggalkan beban di pundaknya sejenak.
“Lihat! Ombak di sini lebih besar dari yang biasanya!” Nia melompat, hatinya bergetar penuh ceria.
Candra tertawa melihat semangat Nia, meski dalam hati ada rasa sakit yang diam-diam membekas.
"Nia, jangan terlalu jauh!" Dira memberikan peringatan saat Nia berlari ke arah ombak yang semakin mendekat.
“Ya, ya! Aku hanya ingin merasakan!” Nia berteriak, wajahnya dipenuhi kebahagiaan.
Candra menatap Nia dengan rasa nostalgia, ingat saat dia sendiri berlari tanpa beban. Dira berjalan mendekat, dalam diam berbagi perasaan yang sama.
"Bagaimana perasaanmu, Candra?"
“Keputusan berpisah itu sulit, Dira,” Candra menatap cakrawala. “Tapi aku merasa lebih ringan saat aku menjauh dari Arman. Dia tidak pernah menganggap aku ada.”
Dira mengangguk, memahami. "Kau bukan hanya seorang istri, Candra. Kau berhak untuk bahagia."
“Entahlah.” Candra meremas pasir dengan tangannya. “Kadang aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri.”
Dira memeluknya. “Seharusnya kita merayakan kebebasanmu. Kita bisa buka lembaran baru di cafe, dan hidup kita pun harus penuh warna.”
Candra tersenyum, panas sinar matahari menyorot wajahnya. “Kita akan melakukannya, kan?”
"Ya, waktu yang tepat untuk menyalakan kembali semangat kita." Nia mendekat, menepuk punggung Candra. “Ayo kita berenang!”
Suara ceria Nia membangkitkan semangat di hati Candra.
“Berenang? Baiklah, siapa yang lebih cepat ke air?”
Candra mengejar Nia yang berlari menuju laut.
***
Sore itu, mereka terjatuh di pantai, lelah namun berbahagia. Hembusan angin laut membawa ketenangan. Candra mengamati gelombang yang berkejaran, tak jauh dari tempat mereka berbaring.
"Candra, kau mau apa setelah ini?" Dira bertanya ketika mereka saling bertukar pandang.
“Jujur, aku ingin memiliki sesuatu untuk diri sendiri. Sesuatu yang tidak aku lakukan hanya karena Arman,” jawab Candra, memikirkan impian yang lama tersembunyi.
“Seperti cafe kita? Kau harus menyuarakan idemu, Candra!” kata Dira penuh semangat.
Candra merasakan getaran optimisme rumit. “Tapi… jika aku gagal?”
"Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu," Nia menyusul. "Ayo, satu langkah kecil saja."
“Apakah kalian akan bersamaku?” Candra bertanya, harap mengembang dalam dadanya.
"Demi apapun, kami akan ada bersamamu," jawab Dira.
Candra tersenyum lebar, mengenang persahabatan yang datang dengan komitmen.
“Baiklah, aku akan memikirkan lebih jauh tentang cafe ini,” Candra menegaskan, semangat baru terlahir dalam dirinya.
Senyuman di wajah Dira dan Nia menebarkan cahaya, menembus kerumitan masa lalu.
“Besar kecilnya langkah itu, kita akan jalani bersama-sama.” Nia menggenggam tangan Candra.
Hari itu berlalu. Matahari merunduk pelan, melukis cakrawala dengan warna oranye dan ungu.
Candra merasakan harapan baru dalam pekerjaannya, jauh dari bayang-bayang hidupnya di rumah bersama Arman. Pikirannya melayang ke masa depan, ke cafe yang penuh aroma kopi dan tawa pelanggan.
Dan, seiring mentari yang tenggelam, cinta dan kasih sayang mulai mekar kembali dalam dirinya.
Suara ombak membuyarkan lamunannya, menggantikan keheningan dengan ritme yang menenangkan. Candra melemparkan pandangannya ke arah laut, menengadah ke langit yang semakin merona.
“Dira, ingatkah kita waktu kecil, berlari di pantai?” Candra tiba-tiba menyuarakan kenangan, wajahnya berseri.
Dira mendengus, mengingat momen itu. “Tentu! Kita membuat istana pasir yang sangat besar hingga ombak menghancurkannya. Kita justru tertawa ketika itu terjadi.”
“Ya, kita tidak peduli dengan apa pun. Semua terasa mungkin.” Candra menggenggam pasir dan melepaskannya perlahan. “Seperti saat ini.”
“Daripada terus-terusan memikirkan hal yang menyakitkan, seharusnya kita fokus pada momen ini. Hidup itu kini!” Nia semangat mengingatkan.
Candra mengangguk. “Kau benar, Nia. Tidak ada gunanya terjebak dalam masa lalu.”
Dira merebahkan diri di pasir, melirik ke langit. “Kita harus merencanakan hari-hari seperti ini lebih sering. Ini bisa menjadi ritual baru kita.”
“Ritual bersama untuk melupakan yang menyakitkan, atau merayakan yang baru?” Candra menggoda.
“Merayakan!” Dira melakukannya dengan suara riang. "Kita layak untuk bahagia."
Mereka bertiga tertawa dan mengubah suasana menjadi lebih ceria. Kekuatan persahabatan memompa nyawa ke dalam jiwa Candra, mendorongnya untuk merangkul masa depan tanpa ketakutan.
Senyuman masih terukir di wajah Candra saat dia mengamati ombak bercengkerama dengan pasir. Dira pun menggelengkan kepalanya, matanya berkilau penuh semangat.
Nia mencelupkan kakinya ke dalam air, merasakan dingin yang segar. “Candra, kau harus bergabung! Ini sangat menyenangkan!”
Candra menatap Nia yang berputar lincah di tepian. “Kau tidak takut dingin?”
“Tak ada yang perlu ditakuti selagi kita bersama!” kata Nia, melambai dengan ceria.
Dira tersenyum. “Ayo, Candra. Jangan biarkan gelombang mengalahkanmu!”
Candra mengernyit, lalu mengambil langkah kecil ke arah ombak. Rasanya sejuk ketika air menyentuh kaki.
Candra menginjak ke dalam, air laut merambat perlahan ke betisnya, membawa sensasi dingin yang membangkitkan semangat. Senyumnya melebar ketika air melambai, mengingatkan pada saat-saat indah yang mungkin akan kembali.
“Lihat betapa cerahnya!” Nia berteriak, air menyiprat ke seluruh tubuhnya saat dia melompat-lompat. “Kau harus merasakannya!”
Dira ikut masuk, menantang ombak yang datang. “Candra, ayo! Bergabunglah! Kita bisa berlomba!”
“Berhati-hati!” Candra memperingatkan, meski semangatnya terpanggil untuk bersenang-senang.
Gelombang terakhir menggulung, membawa tawa mereka ke angkasa. Candra berlari lebih jauh, aroma garam laut menggoda ingatannya. Dia merasakan beban yang mulai memudar, seolah ombak menghapus semua rahasia dan sakit hati.
“Siap? Satu… dua… tiga!” semua serempak melompat ke ombak. Tubuh mereka mendekap air, tawa pecah menggema, dan seisi pantai menghangat oleh keceriaan.
Malam menjelang, langit bertransisi menjadi kelam dengan bintang-bintang berkedip. Mereka kembali ke pantai, mengelilingi api unggun kecil yang menari. Nia mulai menyusun makanan kecil, sementara Dira dan Candra saling berbagi cerita.
Nia menggenggam sepotong jagung bakar, aroma manisnya memenuhi udara pantai. “Kau ingat, saat kita berkemah di belakang rumahmu? Kita mengolah makanan yang kalah enak dibandingkan ini!” Nia tertawa, mengingat kenangan masa kecil.
Candra menoleh, sorot matanya tampak cerah. “Ah, iya! Itu resep yang kita tiru dari ibu, padahal hasilnya selalu gagal.” Candra menepuk bahu Dira. “Tapi kita tetap berpura-pura enak.”
“Bukan berpura-pura. Kita memang bahagia!” Dira menambahkan, terawa bersama mereka. “Itulah yang terpenting.”
Candra mengamati wajah-wajah ceria teman-temannya. Air laut beralma dan hangat menyentuh kaki mereka yang telanjang, meremajakan kenangan yang hilang. Dia merasakan hangatnya api unggun, serupa dengan dukungan teman-teman yang selalu ada di sampingnya.
“Kau tidak merasa kesepian lagi, kan?” Dira bertanya pelan, terdengar ragu.
Candra menggeleng, bibirnya melengkung menjadi senyuman. “Aku bimbang. Tapi kalian membuatku merasa semuanya lebih mudah. Rasanya, mungkin aku bisa melepaskan semuanya.”
“Rasa nyaman itu harus kau jejaki. Kau tidak harus berjuang sendirian,” ujar Dira, mempermainkan nyala api dengan tongkat kecil.
Nia mengangguk, menambahkan, “Jika pernikahan tidak berhasil, bukan berarti hidupmu harus berakhir di sana. Kau bisa jadi lebih dari sekadar istri.”
Kata-kata itu menyentuh inti keberanian di hati Candra, menyalakan semangatnya untuk memulai bab baru. “Aku ingin lebih. Lebih dari sekedar hidup dalam bayang-bayang Arman.”
Dira menjentikkan jarinya, memberi sinyal kepada Nia. “Lepaskan semuanya, Candra. Kita akan membangun cafe yang indah. Kita akan membuat impian kita nyata!”
Candra menatap bintang-bintang yang bersinar dalam keremangan malam. “Mungkin di cafe kita nanti, semua rasa pahit ini bisa terobati,” gumamnya, merasa harapan melambung tinggi.
Dira bertepuk tangan, menciptakan ritme di udara. “Satu langkah kecil menuju impian kita!”
Candra merasakan semangat menyusup dalam dirinya saat dia mengarahkan pandangannya ke masa depan.
“Nia, kita harus membuat menu yang unik,” Candra mulai bersemangat menyusun ide-ide yang mulai tumbuh di kepalanya.
“Seperti kue cokelat dengan rasa kelapa?” Nia melontarkan usul ceria sambil mengunyah potongan jagung bakar.
“Bisa jadi! kombinasikan rasa manis dan asin itu akan menggugah selera,” Candra membayangkan, matanya berb sparkling dengan semangat baru.
“Dan smoothies mangga dengan sentuhan jeruk nipis! Segar!” Nia menambahkan, bersemangat. Ia menggenggam potongan jagung bakarnya, seolah itu adalah bahan rahasia terbaik untuk menu mereka.
“Kesegaran dari alam, itu yang kita butuhkan,” Candra menyambung, sisa keraguan dalam diri mulai mencair.
"Aku bisa bayangkan pelanggan berbaris hanya untuk mencoba smoothie mangga kita," Nia berseri-seri, mulutnya masih penuh dengan jagung bakar.