Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Ch 1

Candra berdiri di tepi jendela, menatap hujan yang jatuh dengan deras. Air turun dari atap, menciptakan genangan di halaman. Suara petir memecah kesunyian. Ia membalikkan tubuhnya, mendengar langkah suaminya, Arman, mendekat.

"Kau tidak lelah menunggu?" Arman berdiri di ambang pintu, dengan raut wajah datar.

“Aku tidak menunggu,” jawab Candra, suaranya rendah. “Aku hanya tidak ingin membiarkan hujan masuk ke dalam rumah.”

Arman mendengus, lalu melangkah masuk. Ia melepas sepatu kotor, mengabaikan genangan air di lantai.

“Kau punya cara yang aneh untuk mengekspresikan perasaan,” katanya, mengangkat bahu.

“Perasaan? Kau tak pernah memikirkan itu, kan?”

Arman menatap Candra, kerutan muncul di pelipisnya. "Apa maksudmu?"

“Kenapa kau menikahi aku jika kau tak mencintai aku?” Candra menantang, matanya bersinar dengan ketidakpuasan.

Arman menggerakkan bahunya sekali lagi, menghindari tatap Candra. "Pernikahan adalah tentang komitmen, bukan hanya cinta."

“Jadi, apa? Kita terjebak dalam kontrak? Kau tidak merasakannya? Tidak pernah merasa sedikitpun?”

Arman berjalan menuju lemari, membuka pintu kayu yang berderit. "Kadang-kadang, perasaan itu tidak penting saat semuanya berjalan baik."

Candra mengepalkan tangan. "Mungkin bagimu. Tapi aku merasa sepi. Seperti ruangan ini—kosong."

“Kau terlalu dramatis,” Arman menjawab, tanpa menoleh.

Candra melangkah mendekat, suaranya menggetarkan. "Aku berusaha untuk memahami mengapa aku ada di sini. Apa yang kau inginkan dariku?"

Arman berhenti sejenak, lalu berbalik. "Kau menjalani tugasmu dengan baik. Dan aku melakukan apa yang harus dilakukan sebagai suami."

“Merawatku seperti proyek? Atau sebuah kewajiban?” Candra tersenyum pahit. “Katakan padaku, Akankah kau terjaga saat aku pergi dari hidupmu?”

Arman mengerutkan dahi. “Kau memang aneh. Kau membicarakan hal-hal cenderung tidak masuk akal.”

“Apakah tidak masuk akal untuk berharap suami mencintai istrinya?” Candra bertanya, suaranya nyaring, penuh perasaan.

“Cinta tidak selalu harus ada dalam pernikahan.”

“Lalu, apa yang ada?” Candra melangkah mundur , matanya menyelidik. "Lalu, apa yang kau cari?"

Arman menatapnya, namun pandangannya kosong. "Stabilitas. Kesetiaan. Itu cukup."

“Cukup?” Candra mengerutkan alisnya. “Apa kau benar-benar percaya itu?”

“Betul,” sahut Arman, lebih percaya diri. “Cinta bukan segalanya.”

“Dan tanpa cinta, apa artinya ini semua?” suara Candra bergetar. “Kau menuntut dari aku, tetapi apa yang kau berikan?”

Arman menarik napas panjang. “Aku memberi ruang dan perlindungan.”

“Perlindungan dari apa?” Candra menggeleng, frustrasi. “Jangan katakan kita hanya bertahan untuk terlihat baik di mata orang lain.”

“Tepatnya,” Arman menjawab, nada suaranya tenang. "Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, itu tidak perlu diketahui orang lain."

“Jadi, kita hanya akting di depan orang-orang di luar sana? Apa kita benar-benar tidak lebih dari sekadar pasangan palsu?”

Arman terdiam, pikirannya seolah terperangkap dalam labirin. Ia meraih cangkir kopi di meja dan meneguknya.

“Candra, hidup tidak sesederhana itu,” jawabnya pelan.

“Ya, kita seharusnya berbicara lebih sering. Seharusnya kau tidak menganggapku seperti ini,” Candra melangkah kembali, semakin dekat. "Kita bukan teman. Kita bahkan tidak saling mengerti."

“Bisa jadi kita tidak perlu pemahaman yang dalam,” Arman memotong, sedikit kesal.

“Jadi ini apa? Hubungan tanpa kedalaman? Apa ini yang kau inginkan?”

Arman mengeluh, tampak frustrasi. "Lihat, aku tidak suka mengulangi hal-hal yang tidak ada artinya. Ini kehidupan kita, dan kita punya pilihan."

“Pilihan? Apa yang bisa kutentukan di sini?” Candra menatap lekat. "Kau ingin memperlakukanku seperti ini selamanya?"

Arman menatap jendela, tidak bisa menghadapi dirinya sendiri. “Kita bisa melakukan rutinitas ini, dan semuanya akan baik-baik saja.”

Candra merasakan kepedihan. “Jadi aku seorang yang menjalani rutinitas? Seorang puppeteer dalam sandiwara ini?”

“Begitu juga kau. Kita tidak bisa melawan arus,” Arman menambahkan, suara menjadi parau.

Mereka saling terdiam, dikelilingi oleh hening yang kian berat. Suara hujan tetap menggema di luar, menambah ketidakpastian dalam diri mereka.

“Tapi aku ingin lebih dari sekadar rutinitas,” Candra berbisik, nadanya melunak. "Kenapa kau tak berjuang sedikit untukku?"

Arman berpaling lagi, sorotan matanya beberapa detik bergetar. "Aku tidak tahu apakah aku mampu, Candra."

“Mulailah dari berbicara,” Candra mendesak, jari telunjuknya menunjuk ke arah Arman. “Jangan berpura-pura tidak pernah ada yang salah.”

Arman menengadah, mengombang-ambingkan pikirannya. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”

“Apa saja. Biarkan aku mendengarnya. Kau berhak bersuara di sini,” Candra bersikeras.

Mendengar suara permohonan itu, wajah Arman seolah memberi sedikit tepi harapan. Namun, ragu masih menyelubungi jiwanya.

“Hari itu—aku menikahimu. Itu keputusan yang tetap harus kujalani.”

Seolah disambar petir, Candra merasa sakit. “Tapi kau seharusnya tidak menikahiku tanpa cinta.”

“Cinta yang kau bicarakan tumbuh seiring waktu,” Arman mencoba menjelaskan, gemetar dalam kata-katanya. “Aku percaya itu.”

“Apakah begitu? Mungkin kau hanya berusaha meyakinkan dirimu sendiri agar tidak merasa bersalah.”

Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, tangannya menggenggam sudut meja.

“Kau membuatku merasa seperti penjahat,” Arman merespons, tidak berdaya. “Tapi aku tidak tahu bagaimana mencintai dengan cara yang kau inginkan.”

"Dan itu menyakitkan. Setiap hari, aku menunggu sesuatu berubah, tetapi tidak ada."

Arman tertegun, ketika Candra melangkah lebih dekat. “Apa pun itu, kau bisa memberikan kesempatan untuk mencoba.”

“Coba merasakan cinta?” Arman bertanya, nada suaranya dikepalkan.

“Ya,” sahut Candra yakin. “Atau mungkin melihat apakah kita bisa menemukan cinta itu bersama-sama.”

Candra tersenyum, harap mengular di hatinya, sekaligus merasakan ketakutan. Arman menghela napas, keraguan melintas di wajahnya.

“Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa,” jawabnya pelan.

“Setidaknya kita mulai berbicara. Itu langkah pertama.”

Dan dalam riuh hujan yang tak kunjung berhenti, dua jiwa merasa diambang pilihan—mulai dari sebuah harapan.

Arman menatap Candra, merasakan beban dalam setiap tatapannya. Pergulatan antara rasa bersalah dan keinginan untuk terbuka menyiksanya.

“Kau tahu, aku melihat posisiku sebagai suami itu berbeda,” Arman mulai berani membuka diri. "Ada banyak ekspektasi di pundakku."

Candra merenggangkan jarak sedikit. “Dan aku merasakannya. Setiap hari, kau lebih terjebak dalam dunia sendiri.”

"Bagaimana bisa aku membagi dunia ini denganmu jika aku sendiri tidak tahu dimana batasnya?" Arman berusaha menyampaikan keraguan yang menghimpitnya.

“Berbagi adalah langkah pertama, bukan?” Candra berkata dengan lembut. “Aku di sini, menanti, tetapi kau tersesat dalam pikiranku.”

Arman menggelengkan kepala, bingung. “Dan kau pikir berbagi bisa mengubah segalanya?”

“Bukan segalanya, tapi bisa jadi awal baru.” Candra mendekat, wajahnya dipenuhi harapan. “Kita kadang lupa alasan kita bersatu.”

“Namun, bisa jadi itu adalah kesalahan terburuk dalam hidupku,” Arman menjawab, suaranya penuh penyesalan. “Kau pantas mendapat lebih.”

“Mungkin,” kata Candra, suaranya semakin pelan. “Tapi aku ingin berjuang untuk ini. Untuk kita.”

Detak jantung Arman melambat. Ia merasa terpaksa menjawab, disertai rasa takut kehilangan yang menusuk. “Apa yang kau inginkan dariku?”

“Keberanian untuk menghadapi ini. Bukan hanya menjalani rutinitas yang kau anggap baik,” Candra berkata menegaskan. “Beranilah untuk mencintaiku, meski perlahan.”

Arman terdiam, hening kembali menyelubungi mereka. Ia menyesap krisis pikirannya, merasa tidak mampu menyampaikan apa yang selama ini terpendam.

“Candra, tidak semua orang mampu mencintai dengan semangat seperti kau lakukan,” ia akhirnya mengakui, penuh kejujuran.

“Lalu, apa artinya semua ini?” Candra berusaha menjaga emosi. "Jika kita terus berputar seperti ini, kita akan saling menghancurkan."

Arman merenung, sikapnya lebih serius, “Kau benar. Tapi cinta yang seperti apa yang kau inginkan?”

Candra mengambil napas dalam-dalam, berusaha merangkai kata-katanya. "Cinta yang tulus. Yang membuat kita saling mengerti, bukan sekadar berbagi ruang dan waktu."

Arman melempar pandangannya ke luar, berpikir keras. "Tapi, apakah kau yakin bisa menemukan cinta itu di antara kita?"

Candra mengangguk, meski hatinya bergetar. "Aku yakin. Asalkan kita berdua berusaha."

"Hanya itu? Berusaha?" Arman memandang Candra dengan penuh keraguan. "Apa itu cukup?"

"Kau tidak bisa hanya berdiam diri dan berharap semuanya berubah," Candra menjawab, suara tegas. "Kita harus menciptakan momen-momen itu, bahkan di tengah kebiasaan-kebiasaan yang monoton ini."

Arman terlihat berpikir. Ia berjalan mundur, menyandarkan punggung ke dinding. “Momen seperti apa yang kau maksud? Apa yang bisa membuat kita tiba-tiba... terhubung?”

Candra mengerutkan dahi, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Mungkin, mulai dengan saling mendengarkan. Menghabiskan waktu tanpa ponsel atau tayangan televisi. Kita bisa memasak bersama, atau hanya bercakap-cakap di teras. Sesuatu yang tidak terbebani oleh rutinitas harian.”

Arman terdiam, raut wajahnya menunjukkan kebingungan. "Jadi, buat semua ini terasa lebih 'normal'?"

Candra menggeleng, menekan jari telunjuknya ke dadanya. "Bukan normal, Arman. Lebih dari itu. Kita butuh keaslian, koneksi yang nyata."

Dia mengalihkan pandangan keluar jendela, mendengar suara hujan yang tak berhenti. “Apakah kau ingat saat pertama kali kita pergi ke taman, sekadar berjalan-jalan?” Suara Candra lembut, penuh nostalgia.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!