Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mbah Tejo
Selepas subuh, Tabah berpamitan pada istrinya. Laki-laki itu tidak menjelaskan secara detail kemana dia akan pergi. Pokoknya aku akan mencari obat untuk anak kita, begitulah yang dikatakan Tabah untuk meyakinkan Mumun.
Andre menemui Tabah di rubanah rumah sakit. Wajah Andre yang baru bangun tidur terlihat kusut. Laki-laki itu mengenakan hoodie berwarna merah terang.
"Kurasa semua yang terjadi berhubungan dengan villa. Tolong nanti katakan 'padanya' soal villa," pinta Andre. Sesekali dia menguap lebar. Meskipun belum mandi, juga gosok gigi, bau mulut laki-laki tampan ternyata tidak beraroma menyengat. Seperti perpaduan mint dan ayam goreng. Ada gurih-gurihnya.
"Kenapa kamu tidak ikut saja? Dibandingkan aku harus sendirian, besar kemungkinan untuk kesasar. Bukankah lebih baik kita berangkat berdua?" ajak Tabah. Andre menghela napas, menggaruk pelipisnya.
"Ada satu masalah yang belum kuceritakan. Sebenarnya sebelum meninggal, kakek sempat berseteru dengan dukun ini," jawab Andre. Dia menyandarkan punggungnya di dinding rubanah yang sepi.
"Masalah? Bukankah kamu mengatakan dukun ini adalah sahabat kakekmu?" sergah Tabah. Tatapan Andre mengawang jauh. Dia terlihat enggan bercerita, tetapi tentu Tabah akan mendesaknya.
"Kakekku sesepuh yang menyukai hal-hal berbau klenik. Tapi dia bukanlah seorang dukun. Dalam perdukunan ada yang disebut dengan pulung atau mungkin bisa juga kita sebut bakat ya. Orang yang mengetahui dan hafal sebuah mantra belum tentu manjur digunakannya. Kakek bersahabat dengan Mbah Tejo. Dukun yang sulit untuk didekati. Tinggal di tempat terpencil jauh dari keramaian," ucap Andre memulai penjelasannya.
"Rupanya kakek dan Mbah Tejo cepat akrab karena keduanya tertarik pada keindahan bebatuan akik. Sebenarnya Mbah Tejo memutuskan untuk tinggal sendirian di dalam hutan bukan tanpa alasan. Dia dituduh mengirim penyakit pada salah seorang istri dari perangkat desa. Mbah Tejo dijauhi, dan dikucilkan. Hanya Kakek lah satu-satunya rekan yang dimiliki. Namun nyatanya manusia selalu memiliki sisi buruk. Tidak ada manusia yang benar-benar baik sempurna. Pun dengan kakek juga Mbah Tejo." Andre menghela napas.
"Apa yang terjadi?" tanya Tabah penuh selidik.
"Kakekku orang berada, dan cukup pelit serta perhitungan soal uang. Mbah Tejo meminjam uang untuk biaya hidupnya. Sedikit demi sedikit dan terus menerus meminjam pada Kakek. Setahuku hutangnya terkumpul sekitar lima juta. Nominal yang mungkin tidak besar bagi sebagian orang. Mungkin Mbah Tejo berpikir demikian juga, mengingat Kakek orang berada. Namun nyatanya Kakek mencatat setiap hutang piutang, tak peduli sahabat, saudara, bahkan mungkin dirinya sendiri. Lalu, Mbah Tejo yang kesulitan membayar pada akhirnya menyerahkan koleksi batu akiknya pada Kakek. Batu akik yang sekarang kujadikan liontin ini. Setelah kejadian itu Kakek jatuh sakit. Dan entah benar atau tidak, Kakek sepertinya menyalahkan Mbah Tejo. Entahlah, aku sendiri juga tidak yakin. Namun aku merasa belum siap bertemu lagi dengan Mbah Tejo," tukas Andre. Tabah kini menghela napas. Sepertinya dia memahami kegundahan yang dirasakan Andre.
"Berarti sebaiknya aku tidak menyinggung tentangmu saat menemui Mbah Tejo," sahut Tabah. Andre mengangguk mengiyakan.
"Meski tertuduh sebagai dukun santet, Mbah Tejo adalah orang yang tepat untuk kejadian yang kita alami sekarang. Kurasa tidak ada orang di daerah ini yang sebanding dengan Mbah Tejo," sambung Andre meyakinkan.
"Baiklah. Aku berangkat. Sungguh aku tidak peduli lagi soal kasus yang sedang kita tangani. Kamu boleh mengatakan seniormu ini tidak profesional, tapi tetap saja kenyataannya anakku, keluargaku adalah prioritas nomor satu," ucap Tabah masuk ke dalam mobil.
"Aku mengerti Pak Dhe. Aku paham. Aku selalu mendukungmu," sambung Andre.
Tabah menginjak pedal gas. Mobil bergerak keluar rubanah. Menghempaskan kabut dan embun pagi yang dingin. Suasana jalanan masih lengang, Tabah cukup berani berkendara dalam kecepatan tinggi.
Dua puluh menit berada di jalan kabupaten, mobil yang Tabah kendarai berbelok masuk ke sebuah jalan desa yang berada di perbatasan dengan Kabupaten lain. Tabah memeriksa maps yang tadi dikirimkan oleh Andre. Melewati pedesaan yang cukup ramai, banyak mata memandang ke arah mobil Tabah.
Sampailah Tabah di lapangan desa yang berada di tepi hutan pinus. Tabah keluar dari mobil sembari mengedarkan pandangan. Tidak jauh dari tempat Tabah berdiri, tampak seorang laki-laki yang sedang merumput. Dia menghentikan aktivitasnya, memandang Tabah dengan tatapan sinis.
Tabah mendekati laki-laki yang tengah merumput. Dia mengulas senyum se ramah mungkin. Namun sayangnya tidak mendapatkan balasan senyuman yang sesuai harapan Tabah.
"Maaf, permisi. Apakah benar jalan setapak ini merupakan jalan menuju ke rumah Mbah Tejo?" tanya Tabah masih mengulas senyum.
Laki-laki yang sedang merumput mengamati Tabah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bola matanya naik turun memindai.
"Iya, benar. Jika kamu mencari seorang dukun santet, maka langkah kakimu sudah berada di jalur yang tepat," jawab laki-laki yang sedang merumput dengan ketus.
Tabah mengangguk sambil tetap tersenyum kemudian beringsut mundur. Kini dia benar-benar percaya pada cerita Andre. Warga desa benar membenci Sang dukun.
"Kalian pembawa penyakit. Karma itu nyata!" teriak laki-laki yang merumput.
Tabah mengabaikannya. Dia terus berjalan menyusuri jalan setapak yang kering. Beruntung hujan tidak turun, sehingga Tabah tidak kesulitan melangkah pada tanah liat yang basah.
Udara segar menyambut Tabah. Lebatnya hutan pinus memang memberikan suplai oksigen yang melimpah. Namun pada saat yang sama, sinar matahari pagi susah masuk ke dalam hutan. Sehingga suasana menjadi redup temaram, membawa kengerian tersendiri.
Hampir setengah jam mengayun langkah akhirnya di hadapan Tabah berdiri sebuah rumah usang bergaya joglo. Mirip dengan bangunan balai desa Karang. Di bagian halaman depan berdiri dua pohon beringin besar seolah menjadi pagar hidup rumah bernuansa seram itu.
Seorang laki-laki tua tampak menghisap rokok di teras rumah. Di hadapannya tergeletak cawan dari tanah liat dengan arang yang dibakar di atasnya. Kedatangan Tabah tidak menarik perhatian sang pemilik rumah. Mbah Tejo tetap asyik dengan rokok kretek di mulutnya.
"Permisi Mbah," ucap Tabah ragu-ragu. Ada sebagian kecil bagian dari hati Tabah yang meminta untuk mengurungkan niat menemui sang dukun.
Bukankah kamu seorang polisi? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan, setiap hal yang dikerjakan harus mengutamakan logika berpikir? Lalu untuk apa sekarang kamu berada di tempat kakek tua angkuh yang dikucilkan warganya karena tuduhan santet?
Batin Tabah bergejolak. Dia yang sering menertawakan Andre karena mempercayai sesuatu yang bersifat klenik nyatanya pagi ini menjilat ludah sendiri. Namun, saat bayangan Siska, putri kecilnya terbaring di rumah sakit tekad Tabah kembali bulat. Jangankan harga diri, jangankan menjilat ludah sendiri, demi putri kecilnya nyawa pun akan Tabah berikan.
"Mbah Tejo, nama saya Tabah. Saya datang kemari ingin meminta pertolongan pada Panjenengan," ucap Tabah tanpa keraguan. Kali ini Mbah Tejo menoleh. Laki-laki sepuh itu menyeringai.
"Mari masuk ke rumah," sahut Mbah Tejo berdiri dari duduknya.