Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Arumi hanya sedikit mengetahui kegiatan itu. Pengalaman pertama ini sangat berharga baginya.
"Biasanya dalam kegiatan family gathering, karyawan yang telah berkeluarga akan turut serta mengajak anak dan istri atau suami mereka." Aris kembali menjelaskan. Ia sudah memastikan mobilnya di posisi yang benar. Setelah itu, Arumi diajaknya menuju ruang yang sudah dipersiapkan.
Kibar gamis dan hijab panjang milik Arumi mengiringi langkah sang suami. Beberapa pasang mata menatap keduanya. Mereka adalah para bawahan Aris. Lalu berbisik-bisik begitu Aris dan Arumi melewati mereka. Baru kali inilah Aris sebagai atasan mereka, membawa keluar sang istri. Mereka hanya mendengar jika pria yang kerap menjadi idaman karyawan wanita itu sudah menikah. Bahkan, tidak menyangka jika Aris menikahi wanita bercadar.
"Acaranya di lantai paling atas. Nanti aku kenalkan dengan istrinya Evan. Kamu bisa mengobrol dengannya. Terus, kalau aku nggak nggak ada di dalam, berarti aku lagi gabung sama teman-teman. Kamu kalau mau pulang nanti chat aja."
"Loh, kita nggak sama-sama di dalam sana?"
"Nanti aku kenalkan sama istrinya Evan. Biar kamu punya teman."
Arumi paham sekarang, kenapa sikap Aris berubah sejak semalam, kenapa Aris mengajaknya cepat-cepat datang dan ia juga baru menyadari perdebatan tempo hari dan inilah ternyata jawabannya.
Arumi terdiam tanpa ingin memprotes. Terbesit kekecewaan, batin ingin menangis. Selama berjalan mengiringi langkah Aris, pandangannya tidak lepas ke arah lantai. Tak perduli beberapa orang yang menyapa Aris, ia tak harus ikut beramah tamah. Toh, kesimpulannya sudah pun jelas, Aris malu membawanya ke acara kantor ini. Dirinya bercadar, tidak menampakkan ketertarikan secara fisik, dan Aris berat mengakui karena alasan itu.
Sampai di lantai atas, tiba-tiba Aris menghentikan langkahnya.
"Kamu enggak apa-apa kan nanti barengan sama istrinya Evan?" tanya Aris. Sejak tadi, Arumi tidak terdengar menanggapi ucapannya.
"Ya, nggak apa-apa. Tenang saja, teman lainnya pasti juga banyak kok."
"Oke, kalau begitu kita langsung masuk." Aris menunjuk pintu tempat keluar masuk para karyawan dan keluarganya. Ia sudah berusaha berangkat sepagi mungkin, tetapi tetap saja suasana di tempat itu sudah ramai.
"Aris!"
Aris dan Arumi menghentikan langkah mendengar sebuah panggilan. Keduanya secara serentak
Nijar tergopoh-gopoh berjalan setengah berlari mendekati mereka. Akhirnya, kekhawatiran Aris terjadi juga. Pertemuan antara Arumi dengan sahabatnya itu tidak mungkin terelakkan lagi.
"Tenang saja. Biar aku yang menjawab pertanyaan dia," ucap Aris mewanti-wanti.
"Aku bareng kalian ya? Nggak enak masuk tanpa membawa gandengan," pinta Nijar begitu mendekat, nafasnya sambil
terengah-engah. Ia memandang Arumi sejenak, lalu menyenggol bahu Aris. "Wih, pengantin baru. Baru juga diajak keluar." Kelakarnya.
"Ayolah, barengan," sambut Aris.
"Enggak dikenalin dulu, nih!" Nijar melirik istri sahabatnya.
Dari ekor mata, Aris melihat gelagat Nijar yang mencoba menarik Arumi dalam percakapan keduanya.
"Em, Arumi, ini Nijar, teman kantornya mas," ucap Aris menyenggol tangan istrinya.
Arumi yang tersentak kaget, lantas mengatupkan kedua tangan. Dirinya tak berani mengeluarkan suara.
"Saya Nijar. Selamat bergabung di acara ini ya?"
Nijar juga melakukan gerakan yang sama seperti Arumi.
"Langsung masuk saja. Aku ada perlu denganmu." Tiba-tiba Aris menyela.
.
Mereka bertiga masuk dengan langkah bersamaan. Arumi berusaha tenang walaupun dadanya terus berdetak tak karuan.
Sampai di dalam ruangan, Aris mencari sosok wanita yang ingin ia jumpai-Bella, istri dari sahabatnya.
Setelah menemukan sosok tersebut, Aris izin berpisah dengan Nijar. Ia membawa Arumi pada Bella, lalu mengenalkannya. Barulah Aris beranjak menemui Nijar lagi.
Arumi berkenalan dengan Bella. Keduanya cukup akrab sebagai teman baru.
Bella juga mengenalkan Arumi pada tempat wanita yang ia kenal di acara itu.
Mereka mencoba mengajak Arumi membaur bersama, berbincang dan menikmati hidangan yang ada. Namun, Arumi tetap saja merasa asing. Sebab, di sana hanya dirinya sendiri yang mengenakan cadar.
Merasa minder, tentu tidak. Ia sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Berada di tengah-tengah pesta dengan penampilan yang berbeda. Ia cukup bisa memposisikan dirinya. Pesta keluarga hanyalah sebuah tuntutan kecil agar dirinya sedikit lebih aktif bertanya. Sebab, kebanyakan orang menganggap bahwa segan berteman dan berbincang karena berbeda penampilan.
Sudah cukup berbaur dan mendapatkan banyak teman, Arumi memilih menyingkir dari kerumunan. Di antara mereka yang ada tempat itu, hanya dirinya yang tidak didatangi dan diajak sang suami bercengkrama bersama, melibatkan istrinya dengan mengajak makan atau sekadar didatangi sebagai kesan sebuah perhatian. Hanya Arumi yang tidak mendapatkan hal itu.
Pesta yang ramai, penuh canda dan tawa itu merubah hatinya menjadi kecil. Arumi merasa berada di tengah-tengah tempat yang salah. Ia mundur menuju pintu keluar. Tanpa menoleh lagi langsung melangkah menuju lift.
"Aku tau kenapa kamu malu membawaku ke sini, meskipun kamu nggak ngomong. Aku memang berbeda dan kamu malu mengakuinya."
.
Batinnya begitu berisik memprotes keadaan yang dihadapinya. Saat ia menuju lift, seseorang tiba-tiba memanggilnya.
"Arumi, mau ke mana?"
Sontak ia menoleh. Nijar berjalan dari sisi kiri menuju ke arahnya. Ia bingung bagaimana cara menanggapi pertanyaan Nijar. Jika bersuara, pria itu pastilah mengenali dirinya.
"Mau pulang? Aris mana?" tebak Nijar. Ia melihat Arumi menunduk untuk menghindari pandangan. Ia maklum.
Arumi masih mencari-cari cara untuk bisa berkomunikasi dengan Nijar. Tapi ia bingung, bagaimana dirinya harus bersikap?
"Eh, maaf. Mungkin saya sudah kurang ajar atau nggak sopan. Maaf ya, Arumi?"
Nijar memundurkan langkahnya agak sedikit menjauhi Arumi. Merasa sungkan karena istri sahabatnya itu tidak menanggapi ucapannya. Ia tahu batasan, bahwa tidak mudah berinteraksi dengan wanita bercadar. Ia mengutuk diri sendiri, karena begitu gampang mengakrabkan diri tanpa melihat lawan bicaranya.
Nijar berniat melangkah. Namun, saat berbalik terdengar suara Arumi menjawab ucapannya.
"Mas Nijar mau masuk ke dalam? Bisa sampai pesan saya sama mas Aris kalau saya mau pulang lebih dulu?"
Nijar yang mendengar suara Arumi untuk yang pertama kali, lantas menoleh. Tatapannya mengarah pada wanita yang masih berdiri tanpa berpindah tempat.
"Bisa kan, Mas?" Arumi mengulang permintaan.
Suaranya sengaja dibuat sedikit ngebas sehingga Nijar tidak mengenalinya.
"Ya, bisa. Tentu saja bisa," balas Nijar sangat antusias, merasa anggapnya tentang diri Arumi adalah salah. "Ada pesan yang lain lagi, Arumi?" tanya Nijar memastikan.
"Sudah, Mas, itu saja?"
jawab Arumi.
"Beneran?"
"Iya, itu saja."
"Kenapa terburu-buru?
Kenapa menunggu Aris saja? Atau saya panggilkan dia, kamu tunggu saja di sini."
"Eh, nggak usah, Mas. Tadi di dalam memang tidak bertemu Mas Aris, tapi nggak apa-apa. Saya mau langsung pulang ke toko saja," balas Arumi menjelaskan alasannya.