NovelToon NovelToon
Dari Benci Jadi Suami

Dari Benci Jadi Suami

Status: tamat
Genre:Tamat / Berbaikan / Ibu Pengganti / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Diam-Diam Cinta / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: nichi.raitaa

Tolong bantu support dan jangan lompat bab saat membaca ya, terima kasih 💗

Delilah Atmaja—seorang perempuan—yang sama sekali tak berkeinginan menikah, terpaksa menuruti kemauan sang ayah. Justru bertemu kembali dengan Ananda Dirgantara—musuh semasa SMA—dan justru berakhir di pelaminan. Tak berhenti sampai di sana, Rakanda Dirgantara—mantan cinta pertama Delilah—menjadi sang kakak ipar. Hadir juga hari dimana Raka menerima bantuan dari si jelita, Delilah. Membuat keruh hubungan rumah tangga Nanda dan Delilah yang telah menjadi seorang istri.

Dapatkah mereka akan melewati drama pernikahan dan pergulatan hati masing-masing? Akankah mereka berdamai dengan keadaan dan menemukan akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nichi.raitaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14

Pagi hari setelah hujan memang yang terbaik. Hawa sejuk masih terasa, bahkan taman belakang terlihat masih menyisakan kabut tipis yang digemari oleh si pembuka jendela. Delilah sengaja membiarkan cahaya matahari mengusik kedamaian tidur sang suami yang masih terlihat lelap. Padahal dia hampir tak bisa kembali terlelap setelah satu bunyi guntur membuat jantung melompat dari sarang. Sedikit heran, Nanda terlihat tenang melanjutkan mimpi.

Delilah yang gagal tidur kembali malah sibuk memikirkan kepindahan mereka sebentar lagi dari rumah megah yang beberapa waktu lalu masih terasa asing. Saat mulai nyaman, justru mereka harus bersiap berpisah. Bagaimana bisa waktu begitu kejam hendak menyudahi kisah yang mulai menghangat ini?

Alih-alih kesal, dia justru teringat seseorang yang menurutnya patut untuk dijadikan teman berkisah dalam keluarga baru tersebut—Felicia—istri Raka. Lagipula si lembut satu itu pasti akan senang menerima tamu, mengalihkan kesepian di rumah. Delilah juga berusaha melenyapkan kebosanan. Maklum, belum juga terbiasa dengan keseharian baru. Lagi, sang suami super sibuk dari pagi hingga larut.

Jika ada pun percuma, hanya memicu perang saja, desis hati Delilah.

Setelah mendapat izin Nanda dan mengantar sang suami ke pintu depan sebagai formalitas, dia bersiap juga hendak pergi. Menemui Felicia tentu saja, mereka bahkan sudah mengobrol beberapa saat lalu. Suara Felicia terdengar cerah ketika mendengar Deli hendak mengunjunginya.

***

Seorang satpam menerima amplop coklat besar tanpa nama pengirim. Sedikit bergidik dia menerima dari seorang tak dikenal dengan mengenakan masker dan topi. Seolah memang sengaja menutup identitas diri. Namun, nama penerima jelas tertera di sana. Tak ingin berlama, dia segera naik ke ruangan yang dimaksud dan meletakkan hati-hati amplop tersebut. Kemudian lekas kembali ke tempat dinas.

Beberapa saat kemudian, Melinda datang ke ruangan yang sama dengan langkah mengendap. Meletakkan perlahan bingkisan buah yang dikemas rapi dan sepucuk surat. Dia juga harus bergegas sebelum pemilik ruangan menyuruhnya membawa kembali sogokan.

“Deuh, padahal tinggal nerima doang apa susahnya, sih. Swombong amat, heran. Mentang-mentang dah dokter spesialis, dih. Kalo nggak butuh nilai, gua ogah deh ngemis gini.” Melinda mengomel sendirian sambil berjingkat-jingkat pergi dan menutup pintu perlahan.

Beberapa lama kemudian, Nanda sampai dan langsung menuju ruang operasi. Dia menitipkan tas dan barang bawaan yang lain pada perawat. Sudah tak sempat mampir ke ruangan. Mengingat pasien dalam kondisi yang tak cukup baik. Nanda sudah terbiasa menangani pasien dengan berbagai keluhan jantung lumayan rumit. Akan tetapi, kali ini dia sedikit khawatir karena operasi bypass yang hendak dilakukan pada pasien berusia diatas 70 tahun.

Semua tim telah lengkap dan bersiap, tak lupa berdoa terlebih dahulu sebelum memasuki ruang steril. Nanda masuk paling akhir, hawa dingin menyambut si dokter. Dia masih sempat bertukar sapa dengan pasien sebelum tak sadarkan diri karena efek bius total. Ruangan terang itu kini hanya terfokus pada lampu besar di tengah yang menyoroti bagian dada pasien yang sengaja terbuka. Kain hijau menutupi bagian tubuh lain dari pasien. Berbagai selang dan kabel terpasang di sana. Kalimat terakhir yang didengar Nanda menggetarkan hati si dokter utama.

“Dok, saya sebenarnya sudah memiliki banyak bonus waktu. Hanya saja, anak saya masih bersikeras.” Netra pasien—Bimo—berlinang air mata saat menyampaikan kalimat, Nanda menyimak dengan baik.

“Jika masih bisa ditambah bonus, boleh kok, Pak. Mohon restui saya, ya?” Nanda menjabat erat tangan Bimo.

“Silakan, Dok. Semoga dokter bisa membantu saya, jujur saya sudah cukup lelah.” Bimo membalas erat jabatan tangan Nanda. Si dokter mengangguk singkat dengan senyuman.

Seharusnya operasi berjalan selama tiga hingga enam jam kedepan. Dokter utama dan asisten telah menempati posisi, setelah bertukar tatap. Pisau bedah diberikan pada Nanda dan operasi resmi dimulai. Semua terlihat lancar dan berjalan teratur.

“Matthew, fokus!” Suara tegas Nanda terdengar.

“Ya, Dok. Maaf, tertutup … suction, please!” Degup jantung Matthew sendiri hampir terhenti, dia hampir salah memotong arteri. Suara mesin penyedot terdengar.

Mereka kembali hening dan fokus mencari titik pembuluh darah yang rusak. Namun, di jam kedua tiba-tiba alat berbunyi. Alarm peringatan menandakan tubuh pasien sedang dalam kondisi tidak stabil, serangan jantung mendadak menjadi pemicu sekarang. Mata Matthew bergetar menatap layar, telinga si asisten dokter tersumbat. Suara panggilan dari Nanda sama sekali tak terdengar. Hingga seorang perawat menepuk pelan bahu Matthew dan dia berjingkat.

Cras! Darah arteri memercik tak sengaja terpotong, menambah masalah baru. Netra Nanda terpejam rapat, kacamata operasinya terciprat darah barusan.

“Matthew, sudah kubilang fokus! Kau—” Nanda menahan segala buncahan emosi, berusaha sebaik mungkin mengendalikan diri.

Dia harus segera mencari sumber sumbatan yang memicu serangan jantung, di kasus pertama. Sebelum bertambah kacau saja kondisi di dalam. Bunyi alat suction terus terdengar. Namun, darah membanjir di dalam rongga jantung membuat dokter utama kesulitan menemukan titik sumbatan. Sedikit panik, Nanda akhirnya meraba langsung tanpa menunggu alat menyedot habis cairan. Dia berusaha mencari sumber aliran darah yang membuat banjir terlebih dahulu pada akhirnya, agar pembuluh darah dapat nampak kembali.

Matthew masih berusaha memperbaiki kesalahan dengan terus menyedot habis cairan terus menerus. Manik milik asisten dokter itu bergetar, berulang kali dia menengok pada layar monitor di atas pasien yang terbaring lemah.

“Matthew, jika kau menengok sekali lagi akan kucongkel biji matamu!” Nanda sudah geram. Dia belum berhasil juga menemukan sumber kebocoran yang tak sengaja dilakukan asisten hari ini.

“Siap, Dok.” Matthew fokus kembali menatap genangan cairan merah.

Harapan mereka setipis tisu, semua dalam ketegangan. Nanda berulang kali menghela dan menghembuskan napas tanpa mengalihkan pandangan. Sampai peluh membasahi kening si dokter utama.

“Dapat!” Netra Nanda membeliak, “suction, cepat!” sigap seluruh cairan disedot dan pembuluh bocor tadi segera dijahit.

Mereka harus segera menangani serangan jantung yang masih berlangsung. Operasi yang dijadwalkan selama empat jam memanjang. Sudah lewat lima jam mereka berjibaku di dalam ruang operasi. Keluarga pasien memucat, harap-harap cemas menunggu kabar. Seorang perawat diutus memberi kabar pada keluarga karena operasi hampir selesai.

Akan tetapi, hari sial memang tak pernah tercatat di kalender. Setelah berhasil menangani kebocoran yang tak sengaja hingga serangan jantung sudah berhasil mereda. Sekarang, saat alat bantu hendak dilepas justru si jantung tak mau berdetak. Dada pasien masih menganga begitu pula bibir Nanda di balik masker. Organ di dalam dada tak bergerak sedikitpun.

“Shit!” Nanda sudah hilang arah melihat jantung diam di hadapan.

“Defibrilator!” Matthew meminta tolong pada perawat untuk menyiapkan.

Sejurus kemudian, “clear, Dok!” salah satu perawat menatap dan bertukar anggukan.

“Dokter Nanda, mundur!” Ganti suara Matthew yang terdengar samar, hingga seorang perawat lain harus menyeret Nanda ke belakang.

Sial, dia benar-benar lelah rupanya. Tapi, kenapa harus hari ini, Pak Bimo. Kumohon! Nanda bergeming dengan batin yang terus menggema.

Terbayang wajah ramah Bimo setiap menyambut kedatangan Nanda dalam ruangan. Mereka kerap bertukar kisah tentang kehidupan. Nanda sendiri bahkan, telah menganggapnya sebagai kakek kedua. Si dokter utama masih menatap tubuh lemah Bimo tanpa denyut jantung membuat dia hilang akal.

Dia tak bisa terus hening, sudah dua kali alat pemacu dijalankan. Akan tetapi, jantung Bimo masih diam. Nanda bergerak kembali mendekat dan meraih jantung pasien. Terpaksa dia melakukan pijat jantung terbuka demi menyelamatkan nyawa. Air yang terkumpul di pelupuk mata mulai mengaburkan pandangan Nanda.

Dasar bodoh! Jangan sekarang! Apapun itu kumohon jangan sekarang! Nanda terus berteriak dalam hati sambil memompa jantung Bimo.

Setelah sekian menit bergelut dengan pertolongan darurat terakhir yang bisa dilakukan. Akan tetapi, tak ada tanda vital yang kembali. Pasien menyerah kali ini dan kembali pada takdir masing-masing. Dokter juga hanya perantara, manusia biasa. Sering kali lupa, semua yang ada di dunia bersifat terbatas dan berbatas. Matthew meraih tubuh Nanda yang masih bersikeras di tempat memijat jantung pasien. Mereka terlihat berebut peran, tetapi banyak yang lebih membantu keputusan Matthew menjauhkan dokter utama dari organ pasien.

“Tidak … kumohon bertahanlah! Lepaskan aku! Biarkan aku menolongnya!” Nanda berteriak dan meronta, air mata tak berhenti mengalir deras.

Tubuh Nanda memanas, hingga wajah si dokter memerah dan bahu terguncang hebat. Dia masih berusaha memberontak sekali lagi dari cengkraman Matthew dan perawat yang mengekang tubuh. Dia masih ingin berharap dan menolong Bimo sekali lagi. Akan tetapi, beda kepala beda pula isinya. Suara Matthew terdengar berbarengan dengan topangan kaki Nanda melemah dan ambruk ke lantai.

***

Yash, mohon dukungan untuk author yaa.

Caranya tekan tombol like dan tinggalkan komentar kalian, terima kasih🥰

Papay, see you next part ....

1
Ripah Ajha
sungguh keren kata2mu Thor, aku jadi terhura eh terharu maksutnya🥰
nichi.raitaa: aw, terima kasih ya kakak juga sudah baca sampai akhir ... aku meleyot nihh 🫣🫠😘
total 1 replies
Krismargianti Andrean
lanjut thor nunggu nih ampe tambah es teh jumbo 5kali
nichi.raitaa: waduh kak ... apa nggak kembung 🤧 btw timamaciw sdh mampir, nih aku kasih 2 hati akuh 💗💗🫦
total 1 replies
Zee✨
hay kak nicki, aku mampir hehe semangattttt💪💪
nichi.raitaa: nyehehhee okidoki kak 💗 aku telhalu loh😵‍💫🫠
Zee✨: sama², nanti ye mau ngepel dulu😂😂
total 3 replies
Zee✨
dih kepedean amat bang😏
Zee✨: pantesan aku cari² nggak kelihatan, taunya di sana toh🤭
nichi.raitaa: 🤧😶‍🌫️ aku ampe ngumpet dibalik awan kakk
total 2 replies
Ripah Ajha
like Thor, tetep semangat update ya🥰
nichi.raitaa: terima kasih supportnya kak, wait ya 💗😘
total 1 replies
Ripah Ajha
gitu tu, kalok oasangan suami istri blom prnah mp, bawaannya emosi teros🤣
nichi.raitaa: aw ... si kk tau ajah 🤧🫣
total 1 replies
Ripah Ajha
keren karyamu thor
nichi.raitaa: terima kasih sdh membaca kak, semoga betah ya 💗
total 1 replies
·Laius Wytte🔮·
Kisahnya bikin baper, jadi terlarut sama ceritanya.
nichi.raitaa: terima kasih sudah membaca, Kak 💗 teruskan lagi yuk kakk 🥰
total 1 replies
Sandy
Seru banget, gak bisa berhenti baca😍
nichi.raitaa: terima kasih, sudah membaca kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!