Dari Benci Jadi Suami
Bagaimana seharusnya acara pernikahan itu terlihat? Sepasang mempelai berdiri berdampingan, sang wanita menggandeng mesra lengan si pria dengan senyum sedikit terpaksa. Ah, benar. Setelah mendapat sedikit cubitan, mempelai wanita tersadar jika senyum tadi memudar. Dia segera menarik kembali kedua sudut bibir hingga memperlihatkan lesung pipit di kedua pipi. Namun, terasa belum cukup bagi sang mempelai pria. Kini dia menyikut pinggang si istri sambil berbisik lirih.
“Hey, yang benar saja. Lekas perbaiki senyumanmu!” Kalimat bisikan penuh tekanan dari si pria tanpa melonggarkan senyum di wajah.
“Jangan berisik, hadap depan!” Si wanita tak ingin mengalah, sambil mempertahankan posisi senyuman.
Keduanya saling beradu perintah. Sedangkan yang lain sibuk mengambil posisi untuk foto bersejarah dalam pernikahan sakral kawan mereka. Setelah aba-aba dari fotografer terdengar, sejurus kemudian lampu kilat menyala dan kamera telah mengabadikan momen sekali seumur hidup bagi pasangan tersebut. Pernikahan yang berlangsung terkesan khidmat dan damai. Meski dua insan utama yang terlibat dalam gemuruh hati masing-masing. Tak ada yang menyangka, mereka berakhir di pelaminan. Mengingat hubungan kedua mempelai bak air dan minyak sejak masa sekolah.
“Ciye, beneran hater to lover. Selamat ya, kalian.” Seorang perempuan muda, terlihat seumuran menyalami dua mempelai bergantian.
Beberapa orang lain juga ikut menyeletuk dan menggoda. Ada yang bahkan, mencubit hingga memukul pelan mempelai pria. Bagaimanapun ini adalah hari yang bahagia, seharusnya.
Terlihat raut wajah cerah di wajah orang tua mempelai wanita tentu saja, begitupun sang kakek dari mempelai pria yang terasa telah menggenapi tugas setelah menyaksikan cucu kedua kini memiliki pasangan. Hampir semua orang di dalam gedung tengah bersukacita, menyisakan dua hati yang sedang saling melempar tatapan pedas dengan gerutuan tiada henti. Seperti biasa.
***
“Ayah hanya ingin melihatmu menikah, agar yakin. Ada seorang yang menjaga putri berharga Ayah setelah Ayah tiada.” Suara ayah mempelai wanita terdengar serak, tengah berbaring di ranjang rumah sakit kala itu.
“Ayah, jangan bilang begitu! Jadi, sembuh dan berumurlah panjang agar bisa menyaksikan pernikahanku. Mengerti?” Delilah Atmaja—sang putri tunggal—menggenggam erat jemari sang Ayah dengan air menggantung di ujung mata.
Kalimat bujukan yang berhasil menjebak putri tunggal pasangan Dion Atmaja dan Abigail Wijaya untuk mengiyakan tawaran terakhir. Setelah banyak penolakan sang putri dari sekian calon yang hendak meminangnya. Permintaan terakhir si Ayah yang tengah sakit keras membuat dia tak bisa menghindar dan bersedia bertemu calon suami yang telah disepakati. Namun, betapa terkejut saat dia menemukan pria yang begitu dia benci berada di nomor meja tempat mereka membuat janji temu.
“Hai, Delilah. Masih ingat padaku?” Suara berat si pria menyedot atensi Delilah.
“Tentu, bagaimana bisa aku melupakanmu? Tapi, tunggu. Sedang apa kau di sini?” Delilah masih berusaha menggali informasi, berharap ini hanya kesalahan.
“Menunggumu, tentu saja. Duduk dan mari tetapkan tanggalnya.” Senyuman memikat dari si pria tentu saja sangat mempesona, sayang sekali Delilah tak tertarik.
Lalu disinilah mereka sekarang. Sedang menggenapi janji dan kesepakatan yang telah berhasil mereka buat setelah drama panjang. Acara yang digelar cukup megah bagi Delilah yang tak begitu menyukai keramaian. Cukup menguras energi. Seusai acara, dia segera masuk ke kamar ganti dan merapikan diri dengan pakaian yang lebih nyaman. Seharian mengenakan riasan tebal membuat wajah si jelita terasa memakai topeng.
“Hhhh … akhirnya, aku bernapas.” Delilah berkata dengan penuh kelegaan.
“Ck, memang sejak tadi kau menyelam?” Suara pria yang kini berstatus suami itu terdengar sedikit kasar sambil melepas jas yang dikenakan.
Delilah segera menoleh ke sumber suara, “berhenti!” titahnya.
Pria dengan wajah rupawan tadi menghentikan aktivitas dan memandang balik sang istri. Sekian detik manik mereka berjumpa tanpa suara.
“Kau bisa mengganti baju di sana. Kau lupa? Kita hanya berpura-pura. Jadi, ku ingatkan lagi. Jangan melewati batas!” Delilah tak menundukkan pandangan, mata si wanita justru berkilat tajam.
Cih, tunggu sampai di rumah! Tebak, apa kau masih bisa menolak tubuhku? Sang mempelai pria—Ananda Dirgantara—beralih ke ruang kecil di kamar tersebut dengan seringai di wajah.
Masih tak menyangka, sekarang mereka telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Yah, meski hanya diatas kertas. Akan tetapi, tetap saja mereka harus menyelaraskan isi kepala demi peran di atas pentas yang akan disaksikan orang lain. Setidaknya, untuk tiga tahun kedepan begitulah yang harus mereka jalani. Padahal tak ada seharipun pasangan Tom & Jerry itu rukun saat berada di bangku sekolah.
Selesai berbenah dan merapikan diri masing-masing. Dua mempelai jadi-jadian itu meninggalkan ruangan dan menyusul langkah keluarga mereka. Berpamitan pada orang tua mempelai wanita karena hendak langsung dibawa ke kediaman Dirgantara sesuai kesepakatan. Suasana haru mengiringi langkah pertama Delilah sebagai istri dari calon penerus tahta perusahaan. Dia harus rela melepas pekerjaan yang dicintai dan telah membersamai ia sekian tahun. Dia juga berpisah dari orang tua yang telah membesarkan dan menjadikan dia hingga seperti sekarang.
“Baik-baik ya, Nak.” Abigail mengusap lembut wajah sang putri tunggal. Delilah mengangguk sambil menatap sang Bunda.
“Sering-sering berkunjung, kami tentu akan senang.” Suara berat Dion bergetar saat menepuk bahu Nanda, hendak melepas anak gadis kesayangan.
“Tentu, Ayah tak perlu khawatir. Saya akan menjaga Delilah, cukup istirahat dan jaga kesehatan. Bunda juga.” Nanda memandang kedua orang tua Delilah bergantian, tentu dengan senyum tipis khasnya.
“Ehem, jangan lupa segera buatkan kami cucu yang lucu.” Pesan Dion sambil mendekatkan diri pada Nanda dan menepuk punggung si pria.
“Untuk hal itu, biar kami yang membereskan.” Nanda berkelakar, membuat hampir semua orang terkikik kecuali Delilah sang istri.
Bola mata si jelita berputar malas, “Ayah, sudah. Kami pergi kalau begitu, kasihan Kakek menunggu terlalu lama.” Kalimat Delilah terdengar sedikit pedas, meski ada benarnya juga.
Lambaian tangan keluarga Delilah masih nampak. Jemari si wanita berada di cengkraman tangan besar si suami yang membimbing. Langkah Delilah sibuk mengejar kaki jenjang Nanda, sesekali dia masih melihat ke belakang lagi dan lagi. Meski memang tak begitu jauh dia berjarak dengan rumah ayah dan bunda. Akan tetapi, Delilah sama sekali belum pernah terpisah dari mereka. Meski memang benar dia adalah putri yang keras kepala, tetapi tidak bisa juga menghilangkan hawa manja seorang anak tunggal penuh cinta.
Mereka segera beralih ke mobil yang telah tersedia dan melaju menuju kediaman Dirgantara bersama sang Kakek—Wisnu Dirgantara—pemilik perusahaan yang hendak diwariskan pada sang cucu. Delilah memilih hening menatap ke luar kaca mobil yang sedang melaju.
“Kau tak apa, Delilah?” tanya Wisnu setelah mengamati cucu menantu yang hening.
“Ah, saya baik-baik saja, Kek.” Delilah sedikit gugup.
“Kurasa dia hanya sedikit lelah, benar?” Nanda menatap Delilah dari samping.
“Ya, tentu. Sedikit.” Delilah kembali menatap jalanan, mengalihkan semua rasa yang sedang berkecamuk di pikiran.
Setelah berkutat cukup lama di jalanan padat. Mobil mereka memasuki kawasan elite tempat kediaman Dirgantara berada. Tak butuh lama untuk sampai di halaman luas dengan banyak pepohonan berbunga warna-warni. Wisnu sangat suka berkebun akhir-akhir ini, menyiapkan masa pensiun di depan mata. Selesai mobil terparkir, dua pengantin baru tersebut menuju kamar mereka.
BRAK!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Zee✨
hay kak nicki, aku mampir hehe semangattttt💪💪
2024-06-06
2
Zee✨
dih kepedean amat bang😏
2024-06-06
1