Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 14
Tiba di rumah, Mia merebahkan tubuh nenek di kamar mewah. Dia urut perlahan-lahan sekitar kaki yang sakit dengan minyak urut. Minyak yang dia minta dari bibi. Diawal mengurut, nenek sesekali teriak karena sakit, tetapi lama kelamaan telapak yang awalnya kaku kini urat-uratnya mulai lemas hingga rasa sakit pun berkurang.
"Kamu ini serba bisa Nak" nenek menatap Mia kagum. Jamu buatan Mia manjur, mengangkat tubuhnya yang beratnya 55 kg dengan mudah. Lalu sekarang mengurut kaki kekilir yang awalnya kaku pun sudah bisa nenek gerakan.
"Ibu sepuh bisa saja" Mia merendah, lalu menutup minyak yang selesai dia gunakan.
"Oh iya, nama kamu siapa, Nak?" Nenek sejak tempo hari bertemu wanita di depanya tetapi belum sempat berkenalan.
"Nama saya Sumiati Ibu sepuh, tapi biasa dipanggil Mia,"
"Nama yang bagus" puji nenek.
Mia berterimakasih lalu minta izin ke dapur akan membuatkan obat agar sirkulasi darah kaki nenek lancar.
"Permisi Bi" ucap Mia ketika tiba di dapur, tiga orang art tengah bekerja. Ada yang memasak, ada yang mencuci piring, ada pula yang sedang beres-beres.
"Ada apa Mbak?" Tanya bibi. Di antara tiga orang tersebut baru bibi yang tahu keberadaan Mia di rumah ini.
"Bibi menyimpan kunyit?" Mia balik bertanya.
"Ada" Bibi pun membuka kulkas ambli kunyit yang sudah bersih yang bibi simpan di dalam wadah tertutup.
"Terimakasih Bi" Mia pinjam parut, kemudian memarut tiga jari kunyit. Setelah selesai dia siram kunyit dengan air panas sebelum akhirnya menyaring ke dalam gelas.
Setengah gelar air kunyit yang sudah Mia rebus, kemudian dia antarkan ke kamar Paulina. "Ibu sepuh sebaiknya minum kunyit dulu" Mia sudah tiba di samping tempat tidur nenek.
Kunyit mempunyai antiinflamasi dan membantu memperbaiki sirkulasi darah serta mencegah pembekuan darah. Kunyi juga dapat mempercepat penyembuhan akibat terkilir seperti yang dialami nenek.
"Kok rasanya pahit" nenek mengecap rasa tidak seperti biasanya.
"Kunyit ini tidak menggunakan gula seperti jamu kunyit asam ibu sepuh" Mia menjelaskan.
Nenek mengangguk, dia percaya Mia adalah dokter yang kirimkan Allah untuk menyembuhkan penyakitnya.
Waktu sudah siang, Nenek pun akhirnya tidur. Perlahan-lahan Mia meninggalkan kamar, lalu pesan kepada bibi agar menyampaikan bahwa Mia sudah pulang dan akan kembali nanti sore membuatkan obat berikutnya.
"Tapi belum saya buatkan minum Mbak" sesal bibi, sampai Mia pulang dia belum menyuguhkan minuman.
"Tidak haus kok Bi, permisi..." jujur Mia, lalu keluar pagar. Karena di komplek tersebut tidak ada pangkalan ojek, Mia pun mengeluarkan handphone yang jarang sekali dia aktifkan jika bukan karena penting sekali.
Tin tiin tiiinnn...
Belum sempat memesan ojek, suara klakson terasa memenuhi gendang telinga Mia. Mata Mia menyipit melihat ke dalam mobil melalui kaca yang kurang jelas.
Pria keluar dari mobil tersebut, nampak terburu-buru menutup pintu. Dia adalah Vano, mungkin saja tahu jika sang Mama sakit.
"Kamu disini?" Tanya Vano kaget.
"Iya" Mia lalu menceritakan jika ibu sepuh terkilir.
"Lain kali Ibu sempuh jangan di biarkan jalan-jalan sendiri Mase," Mia heran di rumah Vano ada tiga asisten, jika tidak ada Dona seharusnya ada salah satu dari mereka yang menjaga nenek.
"Iya" Vano pun bercerita tentang Paulina sambil bersandar di mobil. Entah mengapa Vano bisa secepat itu percaya kepada Mia yang baru dia kenal. Dia juga menceritakan kadang sang mama kalau pergi tidak pamit, tahu-tahu nyelonong. Dan setiap punya kemauan tidak bisa dibantah.
"Lalu sekarang bagaimana keadaan Mama?" Vano sampai lupa menanyakan ini, padahal saat perjalanan pulang diserang rasa panik. Karena sang mama tadi telepon mengabarkan seperti yang diceritakan Mia.
"Kata Ibu sepuh rasa nyerinya sudah berkurang Mase, sekarang beliau lagi tidur" Mia mengatakan nanti akan datang lagi mengobati kaki ibu sepuh dengan catatan tidak ada Dona di rumah nenek.
Mia pun akhirnya pamit akan melanjutkan pulang.
"Terimakasih Mbak, rumah kamu dimana? Nanti sore saya jemput" Vano ingin mengucapkan terimakasih dengan cara menjemput Mia.
"Sama-sama Mase, tapi saya tidak usah di jemput, karena rumah saya di bawah pohon beringin," jawab Mia asal tanpa menatap Vano karena tanganya mengetik memesan ojek.
Vano terkesiap tetapi menahan tawa.
"Berarti kamu makluk halus" Kelakar Vano.
Belum dijawab oleh Mia, ojek pun sudah tiba. Mia segera naik lalu motor melesat meninggalkan Vano. Di salah satu taman yang khusus menjual bibit dan pupuk, Mia berhenti di tempat itu.
Mia pun membeli bibit apotek hidup di tempat yang kwalitasnya tidak di ragukan lagi. Satu karung bibit dia angkat ke atas becak yang sudah dia panggil saat melintas di jalan.
Bukan hanya tukang becak yang kaget akan kekuatan Mia, tetapi penjualan bibit pun ternganga. Padahal dua pedagang yang semuanya pria itu biasanya jika mengangkat karung selalu mereka gotong.
Kret kret kret.
Tukang becak menggoes becaknya dengan terengah-engah sebak jalanan menanjak. Merasa jalannya lambat Mia minta agar ojek menepi.
"Ada apa Mbak"
"Bapak sepertinya lelah sekali" Mia pun turun mendekati si bapak yang berbadan kurus itu agar pindah ke depan lalu Mia yang akan menggantikan menggoes becaknya.
"Tapi Mbak" pak becak kaget, mana ada penumpang yang harus di ratukan tetapi justru sebaliknya.
"Bapak sebaiknya di depan saya keburu siang nanti" Mia menjalankan becak hingga tiba di depan rumah. Setelah membayar ongkos, kemudian menggendong karung ke belakang rumah.
Mia mengenakan pakaian yang tadi pagi ketika mencangkul. Waktu sudah jam 11 pagi matahari pun mulai terik. Namun, tidak mengurangi semangat Mia.
Dengan cangkul kecil Mia menggali lubang-lubang kecil. Dia beri jarak agar jika tumbuh nanti rapi dan jika sudah ada umbi akan tumbuh dengan sempurna.
Barisan lubang sudah selesai, Mia lantas memasukkan jahe, kunyit, kencur dan sere ke dalam, kemudian di tutup dengan tanah.
"Alhamdulillah... selesai" Mia senang sekali melihat hasil yang sudah membuat keringat nya bercucuran karena membungkuk di tengah matahari sedang panasnya.
Setelah duduk selonjor di lantai ruang tamu menunggu keringatnya kering, Mia lanjut makan siang.
Jeduuurrr...
Geluduk pengantar hujan pun menggelegar, hujan yang awalnya gerimis menjadi lebat, bahkan sampai sore tidak kunjung reda.
Mia merasa bersalah karena mengurungkan niatnya untuk kembali ke kediaman ibu sepuh. Jika tahu akan begini dia tentu tidak berjanji dengan bibi dan juga Vano.
"Aku punya ide" Mia lalu memesan taksi online, sekali-sekali mengeluarkan ongkos lebih tak apa demi menolong orang lain. Pikir Mia.
Sepuluh menit kemudian, Mia mendapat telepon, rupanya taksi sudah menunggu di jalan utama. Mia ambil payung lalu menembus derasnya hujan berlindung di bawah payung tersebut.
"Hujan begini kok pergi Mbak"
"Iya, penting soalnya" jawab Mia lalu masuk ke dalam mobil. Dia melipat payung menyimpannya di bawah jok.
Mobil pun berangkat berjalan sedang hingga tiba di depan rumah yang di tuju, tetapi hujan belum juga reda. Di depan pagar Mia kebingungan, karena tidak punya remote untuk membuka pagar. Mia melongok dari lubang, di dalam sana sangat sepi.
"Bismillah"
Mia menjepit gagang payung di leher lalu memanjat pagar.
...~Bersambung~...