JLEEEB!!!!
Hie Yang melempar pisau secara sembarangan dan tepat menancap di paha kanan petugas In Hae.
"Aku rasa sudah cukup, aku harus mengurus dua rekan perempuanmu di tempat lain." ujar Hie Yang dan berjalan dengan santai. "Ah, rayakan juga kegagalan kalian menangkapku, aku sudah meninggalkan kopi yang aku buat dengan tanganku sendiri, disana aku meramu dengan perbandingan latte dan sedikit pestisida 2:1."
(cut chpt 54)
Berbagai macam peristiwa pembunuhann misterius terjadi secara beruntun, dengan bukti dan jejak yang berbeda.
Mampukah polisi dan para detektif bekerja sama untuk mengungkap motif dan siapa dalang dari pembunuhann tersebut?
𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑖𝑛𝑖 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑔𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑖𝑚𝑎𝑗𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑢𝑡ℎ𝑜𝑟.
𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑡𝑜𝑘𝑜ℎ, 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, ℎ𝑎nya merupakan kebetulan yang tidak disengaja.
salam author Yoshua.
-semoga semua berbahagi-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BURN OUT>>>>14
JUMAT, PUKUL 13.17
Ketua Han dirumah sakit, masih mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Hong Areum.
"Tolong pindahkan Hong Areum ke ruangan khusus, dokter. Mohon perhatikan anak malang itu. Akan kami usahakan penjagaan ketat. Anak kecil ini adalah saksi kunci pembunuhan." ucap ketua Han.
"Baik, ketua Han. Akan kami usahakan yang terbaik." sahut dokter Mirae.
"Dokter, ijinkan aku meminjam ponsel. Ada banyak yang harus aku lakukan." pinta ketua Han.
"Oh, silahkan." jawab dokter Mirae sambil menyerahkan ponselnya.
Ketua Han menekan tombol-tombol nomor ponsel dengan sangat lancar.
"Kirimkan penjagaan, di Rumah Sakit ILLHYUK! Seorang gadis saksi kunci dirawat di sana. Aku tunggu!" kalimat cepat dari ketua Han tanpa memberi kesempatan pada ketua polisi Da Gwang Seok untuk menjawab.
Dokter Mirae yang masih berada disana, tertegun dengan ketegasan ketua Han.
Ketua Han kembali menekan nomor-nomor dengan lancar, seakan semua kontak dihapalnya dengan mudah.
"Periksa siapa polisi yang berjaga di rumah Hong Dang Seok dari hari Rabu, 18 Maret sampai hari ini!" ucap ketua Han dengan cepat.
Sekali lagi ketua Han membuat dokter Mirae semakin kagum melihat betapa cepat ketua Han mengingat nomor-nomor mana yang harus ia tekan.
Namun kali ini, tak ada sahutan dari nomor yang ditekan ketua Han. Setelah mengulangi panggilan beberapa kali namun tak ada jawaban, ketua Han menekan nomor lain.
"Periksa lokasi bersama! Cari tahu lokasi petugas Ahn, Dak Ho, dan in Hae! Susul dimana mereka berada!" ujar ketua Han dengan wajah sangat tegang.
Ekspresi tegang dan serius tak bisa dia sembunyikan. Otot rahangnya begitu jelas menjelaskan apa yang dipikirkannya.
Sementara itu ketua Han masih harus menunggu polisi yang ditugaskan untuk penjagaan kamar Hong Areum.
"Terimakasih, dokter." ketua Han menyerahkan ponsel pada dokter Mirae setelah menghapus riwayat panggilannya.
"Ketua,,, bagaimana ketua Han bisa dengan mudah mengingat nomor-nomor kontak beberapa orang?" tanya dokter Mirae tak bisa menahan rasa penasaran.
"Aku selalu mengingat semua angka-angka penting." jawab ketua Han sedikit canggung, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.
"Ah, seperti itu..." sahut dokter Mirae masih tak puas dengan jawaban ketua Han, namun tak berani lagi bertanya.
"Terbuat dari apa sebenarnya otak manusia ini." gumam dokter Mirae dalam hati sambil berjalan kembali menuju pasien-pasiennya. "Bagaimana bisa dengan mudah menekan tombol tanpa sedikitpun harus mengingat."
.
.
.
JUMAT, 20 MARET 2020
PUKUL 12.45
Petugas ill Hwa dan petugas Bae menyusur gang terakhir dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa ia bawa pulang ke kantor sebagai bukti.
"Tempat ini sepertinya tidak pernah terjadi kejahatan sebelumnya, sampai tak ada satupun bangunan yang memiliki kamera." ucap petugas Bae.
"Atau malah sebaliknya. Tapi daerah ini terlalu sepi dan terlalu damai, tak ada hal yang menarik perhatian di sini." sahut petugas ill Hwa.
"Bagaimana bisa tak ada orang berlalu-lalang?" ujar petugas Bae
"ini kan masih jam kerja." sahut petugas ill Hwa.
"Benar. Tapi sedikit sekali toko yang buka disini." petugas Bae kembali berujar.
"Benar. Entah kenapa, dari tadi kita selalu menemukan toko yang tutup. Hanya dua saja yang buka." petugas ill Hwa menyetujui pendapat petugas Bae.
Sebenarnya tak ada yang istimewa, tak ada juga yang menarik perhatian. Petugas ill Hwa hanya iseng mendekat ke jendela kaca lebar salon itu, untuk sekedar melihat wajahnya sendiri. Namun, ia malah melihat sekilas seperti kamera terpasang di dalam salon itu.
Petugas ill Hwa memastikannya dengan sengaja mengintip dari kaca riben yang terpasang di bagian depan salon itu.
"Petugas Bae..." ujarnya sambil melambaikan tangan agar petugas Bae mendekat.
Petugas Bae pun ikut mengintip ke dalam salon yang tutup. Tampak rapi dan bersih di dalamnya.
"Ada apa? Semua biasa saja." jawab petugas Bae.
"Lihat di pojok, diatas jam dinding." ucap petugas ill Hwa.
"Wah, kebetulan macam apa ini. Sepertinya Dewi Fortuna berpihak pada kita." ujar petugas Bae dengan senyum lega.
Kedua petugas itu menghela nafas sebagai ungkapan terimakasih pada keadaan yang menuntun mereka pada bukti yang akan membantu.
"Semoga ada sesuatu yang kita temukan disana." ucap petugas ill Hwa.
"Hm.. Semoga saja." sahut petugas Bae. "Kita cari tahu siapa pemiliknya, dari kelihatannya pemilik tidak tinggal disini."
"Apa yang kalian lakukan disana?" ucap seseorang dari belakang, yang tentunya mengagetkan petugas Bae dan petugas ill Hwa.
"Ah, kami hanya mau bercukur, kakek." jawab asal petugas ill Hwa, namun disambut dengan pukulan reflek dari petugas Bae.
"Memangnya apalagi yang mau dicukur?" tanya si kakek sambil menunjuk kepala petugas ill Hwa.
Petugas ill Hwa yang menyadari jawaban ngawurnya memegangi kepala plontosnya, sambil tersenyum tersipu.
"Maksudnya, saya yang akan sedikit bercukur, kakek." ujar petugas Bae.
"Kamu sudah cantik seperti itu, mau dibuat botak juga seperti dia? Dunia ini benar-benar aneh." kata si kakek dengan polosnya.
Kedua petugas menahan tawa mendengar ucapan si kakek yang mendekati pintu salon itu, lalu mengeluarkan kunci.
Kedua petugas saling pandang dengan mata membulat, antara terkejut dan merasa bersyukur. Ternyata si kakek adalah pemilik salonnya.
"Ayo, masuk. Kalian pasti sudah menunggu lama." ujar si kakek mempersilahkan kedua petugas.
"Terimakasih kakek." jawab petugas Bae.
"Bagaimana kakek bisa tahu kami sudah menunggu lama?" basa-basi petugas ill Hwa.
"Keringat kalian menjelaskan semuanya." jawab kakek singkat lalu tertawa terbahak diikuti kedua petugas.
"Kakek, sudah berapa lama kakek membuka salon ini?" tanya petugas Bae sambil duduk di kursi yang disiapkan kakek untuknya.
"Sudah sejak aku masih muda. Ini satu-satunya hal yang aku bisa. Lihat. Itu semua piagam yang aku dapatkan. Piagam pertama aku dapatkan sewaktu aku masih kuliah. Mungkin sekitar 55 tahun yang lalu." begitu bangga si kakek bercerita.
"Waah, kakek benar-benar hebat." puji petugas ill Hwa.
"Biasa saja." jawab si kakek tanpa ekspresi, namun segera terbahak kemudian. Hal itu membuat kedua petugas canggung dan merasa sedikit aneh.
"Kakek tinggal dimana?" petugas Bae berusaha basa-basi.
"Tak jauh dari sini. Jalan kaki cukup 20 menit, sambil olahraga."jawab si kakek. "Mau diapakan rambutmu ini?" tanyanya kemudian.
"Dirapikan saja kakek. Tolong." jawab petugas Bae.
"Ah, kakek memasang CCTV? Bukannya daerah ini sepi dan sangat damai? Buat apa CCTV kek?" petugas ill Hwa pura-pura polos bertanya.
"Kamu ini banyak tanya, seperti polisi saja." ujar si kakek dengan nada sedikit meninggi.
"Bukan begitu kakek, maksud dia hanya sedikit tak masuk akal saja, mengingat daerah ini begitu damai." petugas Bae berusaha mengambil kepercayaan sang kakek.
"Oh, begitu. Bukan kakek yang memasangnya." jawab si kakek membuat kedua petugas saling bertatapan melalui cermin besar di depan petugas Bae.
Jemari lincah sang kakek memainkan gunting di atas kepala petugas Bae. Gerakan tangan cepat yang berbanding terbalik dengan usia dan kulit keriputnya, membuktikan piagam dan penghargaan yang terpasang rapi berjejer itu bukan hanya kabar bohong.
"Lalu siapa yang memasang CCTV itu kek?" petugas ill Hwa memberanikan diri kembali bertanya.
...****************...
To be continue ...
apalagi di korsel semuanya sudah serba digital.
kan tidak mungkin negara tidak menyimpan identitas warganya.
faktanya sidik jadi manusia di dunia ini tidak ada yang sama.
kalau masih buntu dicari saja orang tuanya. cocokan dna.
apakah lelaki yang dibunuh oleh roy jung di rumah lama dak ho atau bukan ?
secara prosedur pun penyelidikan seharusnya dimulai dari keluarga terdekat dan orang orang terdekat korban.
aku rasa bab itu perlu direvisi.
atau ini cha en kyung yang lain ? 🤔