Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4
Tidak menunggu lama, esok harinya ayah langsung menginterogasi, mungkin semalam ibu sudah menceritakan segalanya. Dengan tegas aku berkata bahwa aku sudah dewasa dan ibu tidak perlu banyak tahu persoalan yang kujalani selama itu tidak melampaui batas. Mengeraskan suara mungkin bisa membuat ayah sedikit paham pada apa kemauanku.
"Tapi kamu melampauinya, De." Ayah berusaha lembut namun penuh penekanan.
"Ibu hanya berlebihan, yah. Aku masih kayak gini kok." aku masih kekeh dalam mempertahankan sesuatu yang menurutku benar. Lagi pula melampaui batas seperti apa yang ayah maksud, aku tidak melakukan tindakan aneh selama dekat dengan Trio, tidak ada normal yang kulanggar sedikit pun.
*****
Sejak saat itu, semua mulai terasa canggung. Aku, ayah dan ibu seperti hilang keharmonisan. Ibu seperti sangat tertekan sedang ayah seolah memiliki beban berat yang ditanggung. Aku tidak tahu pasti kenapa, yang jelas. Aku tahu ini bukan karena aku!
"De," ayah menyebut namaku ketika kami selesai sarapan. Aku hanya melirik ringan.
"Ayah ada perlu sama kamu." katanya lagi pelan.
"Apa ayah?" kutarik napas panjang, menelan ludah getir juga menyiapkan mental. Aku tahu sesuatu yang akan dikatakan ayah pasti sedikit menyinggung membuatku kecewa.
"Setelah pertimbangan besar. Ayah dan ibu sepakat akan mengirimmu ke asrama. Ini demi kebaikanmu ke depannya."
"Kebaikan apa maksudnya, aku udah nyaman kayak gini yah."
"Tidak De, kamu bukan Devani yang ayah rindukan. Maaf, nak." sentak ayah sambil menggoncangkan pundakku begitu kasar.
"Gak yah, aku gak mau dimasukkan ke asrama. Di sana gak bebas. Aku masih Devani yang dulu. Emang aku kesurupan apa, aku gak ada yang berubah kok." aku masih mempertahankan ketidak mauan-ku.
"Nurut, De. Ini demi kamu juga nak." Ibu mendukung apa yang menjadi keputusan ayah.
"Gak adil!" aku melempar sendok ke permukaan meja dan langsung meninggalkan area sarapan untuk menuju kamar dan melaporkan kejadian hari ini pada Trio. Sayangnya handphone-ku tidak ditemukan.
"Mba, mbaaaaaa." teriakku memanggil asisten rumah tangga.
"Iya Non." mba Hana datang dengan kekakuannya seperti biasa.
"Liat hp aku gak?" aku semakin tidak terkendali.
"Tidak neng. Mba Hana belum sempet beresin kamarnya Non malah."
"Sialan!" kata-kata kasar itu lantas keluar begitu saja dari bibirku karena termakan rasa kesal. mengumpat sejadi-jadinya, aku tidak bisa mengendalikan emosi, sumpah serapah juga kuterbangkan dari mulut yang sebelumnya tidak pernah berkata kotor.
"HP-nya ayah tahan, De." Teriak ayah dari bawah dengan suara lantang.
"Ngapain sih ayah. Ayah gak perlu berlebihan begini. Tolong lah ayah." aku semakin kalang kabut dan berteriak tidak terkendali hingga ibu datang untuk menenangkan.
Ibu memeluk erat agar aku berhenti tantrum. Kenapa ibu dan ayah tidak memahami kondisiku. Aku sudah besar dan mulai dewasa. Kenapa mereka ikut campur dengan privasiku, kenapa mereka tidak mau berhenti dalam mengganggu. Di mata ayah dan ibu aku masih seperti anak.kecil.yang mereka timang, itu sebabnya kekhawatiran keduanya ternilai berlebihan bagiku. Aku bukan lagi anak bocah yang ke mana-mana diantar, aku tahu mana yang baik dan harus kupilih dan yang buruk membuatku harus menjauhinya. Apakah ayah dan ibu tidak percaya bahwa cara pikirku masih jernih.
Ternyata tangis dan teriakanku tidak membuahkan hasil. Mereka semakin kuat untuk mengirimku ke asrama yang bahkan bukan di kotaku. Tapi ke luar kota yang mungkin aksesnya cukup jauh. Aku harus pergi sebelum semuanya terlambat, aku harus mendatangi Trio untuk meminta solusi. Barangkali ia ada teman perempuan yang mau menampung untuk sementara waktu. Aku akan membuat ayah dan ibu menyesal karena telah memaksakan kehendak karena alasan yang kurang tepat. Aku tidak suka dengan kekangan, aku sudah cukup bahagia tinggal di rumah, apa fungsinya jika aku pindah ke asrama?
Tanpa pikir panjang, sore menjelang malam aku sudah memasukkan semua baju ke dalam tas gendong. Tidak lupa uang di tabungan usai dikantongi. Aku lantas melompati jendela dengan mudah karena tadi siang sengaja menyiapkan tangga di bawah balkon. kedua orang tuanku menyadari kepergian anak gadis semata wayang karena mengira aku masih ada di kamar. Mereka juga mungkin sedang melakukan ibadah atau sekedar mendiskusikan keberangkatanku besok, di dalam kamar.
Aku melompat pelan lalu melewati gerbang dengan sangat hati-hati. Satpam memang akan istirahat untuk beribadah di senja hari sehingga pos kosong, pak Syarif juga biasa ada di belakang di jam istirahat. Aku harus mendatangi kediaman pria yang kurasa dia lah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanku dari niat kedua orang tua, ternyata tidak jadi apa pun yang mereka ekspetasikan. Kebetulan beberapa waktu lalu Trio mengajakku ke rumahnya sehingga aku tidak perlu bingung mencari keberadaannya.
Tok, tok, tok. Daun pintu diketuk. Seseorang seperti berjalan cepat menuju pintu untuk tahu siapa yang datang. Tidak ada kecurigaan sedikit pun bahwa yang akan datang adalah kekasihnya sendiri, ia tidak tahu bahwa karenanya lah sebuah keluarga kecil menjadi berantakan.
"Devani?" Trio menyebut namaku membuatku langsung memeluknya. Benar adanya, ia bak penyemangat di kala aku merasa kalut dan takut.
"Kak, bantu aku." rengekku memohon.
"Kenapa? Ayok masuk dulu ya." aku mengikuti langkah Trio memasuki rumah mungil yang sederhana.
Tatanan rumah yang kecil namun terlihat rapi itu memang terasa nyaman. Sekeliling temboknya berwarna putih cerah, senada dengan warna sofa yang kududuki. Di berbagai sudut terlihat list warna kuning emas membuat ya terkesan aesthetic. Foto semasa kecil Trio dan saudaranya diabadikan di figura khusus untuk mengenang kejadian beberapa tahun silam. Piala dn piagam penghargaan juga ikut menghiasi lemari kaca khusus tempat bukti sebuah prestasi. Vas bunga berwarna putih dan diisi dengan target bunga yang terlihat asli.
Rumahnya wangi khas Indonesia dan sebagian manusia mengarah pada wangi yang sama, yakni wangi jeruk. Menyengat namun menyegarkan. Trio cengengesan dan sesekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Raut wajahnya terlihat pusing, apakah sebetulnya ia kurang berkenan dengan kedatanganku.
Trio masih tertegun sampai ibunya datang dan menanyaiku menggunakan bahasa daerahnya yang tidak kupapahami. Aku tahu mereka sedang membicarakanku karena sesekali melirik bahkan menatapku penuh kebencian, namun perasaan itu ku-tepis, aku berusaha menjaga sikap dan tidak menuduh macam-macam pada keluarga Trio, khusunya seorang perempuan yang dipanggil ibu oleh Trio.
Perempuan paruh baya itu mendelik dan mengamati dari bawah ke atas ke bawah lagi seperti tidak ada keseganan atau sekedar basa-basi menanyakan nama dan dari mana. Aku tidak nyaman dengan kondisi ini, tapi mana perduli, yang kumau hanya anaknya, Trio. Persetan dengan semua keluarga bahkan ibu sekali pun.