Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Kedua mata Pandu membulat melihat penampilan Eva. Dia sangat cantik dengan balutan gaun merah di atas bahu.
"Pandu, sadar," batinya sembari menggelengkan kepala.
"Ada apa nih, malam-malam ajak ketemuan?" tanya Eva dengan senyuman yang manis.
"Pandu nih, lagi suntuk butuh hiburan," ujar Jimmy.
"Karena proyek baru kita ya?" tanya Eva dengan polosnya.
"Iya, aku cabut dulu ya. Mamaku mendadak minta anterin ke rumah saudara," dalih Jimmy sembari menggerakkan kedua alis saat bertatapan dengan Pandu.
Dia sengaja membuat mereka jalan berdua, sedangkan dia kembali ke rumah untuk melanjutkan istirahat.
Pandu dan Eva saling diam, mereka bingung mau mulai permbicaraan.
"Kamu belum pulang ya?" Eva juga sadar seperti Jimmy melihat bajunya yang masih sama.
"Iya, tadi sekalian cari angin dulu," katanya sembari mengusap tengkuknya.
Eva tersipu malu saat Pandu memandanginya, jantungnya berdebar keras. Dia senang bisa bersama dengan Pandu, dia juga tahu semua ini pasti ulah Jimmy.
"Istri kamu manis ya," kata Eva mencoba mencari topik pembahasan.
"Iya, tapi kamu juga cantik," gombal Pandu sembari tersenyum.
Pandu tidak sengaja menggobali Eva, tapi mulutnya reflek mengarakan semua itu.
Sedangakan Eva seperti diajak terbang tinggi mendengar pujian itu.
"Mbak Nada pasti senang setiap hari mendapatkan pujian seperti ini," ujarnya. Eva langsung ingat nama istri Pandu. Saat perkenalan itu langsung melekat pada dirinya.
Pandu hanya menjawab dengan senyuman yang membuat Eva semakin meleleh.
"Andai saja aku jadi Mbak Nada," ucapnya dengan wajah kagum kepada wanita berkerudung itu.
"Kenapa harus menjadi Nada?" Pandu mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti gadis secantik Eva masih menginginkan seperti istrinya. Yang menurutnya biasa saja saat ini.
Setelah dua tahun menikah, Pandu merasa istrinya biasa saja. Tidak ada yang spesial, dan rasanya tidak ada yang perlu membuat seseorang ingin menjadi Nada.
"Karena jadi istri kamu," katanya malu-malu, ia memainkan jarinya karena gelisah setelah mengatakan itu.
"Kamu ini bikin aku besar kepala saja. Cewek seperti kamu pasti akan mendapatkan orang yang jauh dariku." Pandu mencoba menyadarkan Eva, jika masih banyak orang yang lebih baik dari dirinya. Dan tentu saja belum punya anak dan istri.
"Tapi, tidak ada yang seperti kamu." Eva memanyunkan bibirnya. "Eh, maaf, aku jadi melantur seperti ini. Jangan dengarkan perkataanku." Eva meminta Pandu melupakan perkataannya.
"Tidak apa-apa, kita kan masih bisa menjadi sahabat. Kamu hubungi aku saja kalau butuh sesuatu," kata Pandu, dia tidak ingin menjadikan dia kekasih tetapi tidak buat jauh darinya.
"Baiklah, jadi saat ini kita lebih dari teman kerja ya," kata Eva memastikan hubungan mereka.
"Tentu, kita sahabat dekat saat ini," kata Pandu sembari memegang tangan Eva.
Eva rasanya ingin berjingkrak dipegang tangannya oleh Pandu.
Waktu semakin malam mereka berdua berbincang semakin nyaman. Tidak ada kecanggungan lagi diantara mereka berdua.
Eva melambaikan tangan ketika Pandu saat mobilnya melaju kembali setelah mengantarnya ke rumah.
Eva berlari masuk ke rumahnya, dia berdiri di depan cermin memandangi wajahnya.
"Jadi, aku lebih cantik dari istrinya. Berarti aku bisa masuk dong ke hatinya," katanya sembari menutup wajahnya karena malu dengan ucapannya sendiri.
Eva menjatuhkan tubuhnya di kasur sembari memeluk guling. "Ya, Tuhan, kenapa aku tidak bisa menolak pesona lelaki beristri itu."
Sejak pertama kali gabung di perusahaan Eva sudah memiliki rasa dengan Pandu. Perasaan itu patah saat tahu dia sudah menikah.
Namun, karena sering dalam satu team, ke mana-mana bersama membuat perasaanya tumbuh lagi.
Terlebih lagi didukung oleh Jimmy, dia semakin semangat untuk masuk ke hari Pandu.
"Maaf Mbak Nada, aku tidak akan merebutnya aku hanya ingin didekatnya saja," ucapnya dengan menutup mata.
...----------------...
Pandu memperlambat langkah kakinya saat melihat istrinya menggendong putrinya terlelap di sofa. Ia mengecek jam di tangan kirinya.
"Kenapa dia masih menungguku?" tanya Pandu melihat jam sudah menunjukan pukul satu pagi.
"Nada, sayang, kamu kenapa tidur di sini?" Pandu menggoyangkan tubuh Nada pelan.
Nada membuka matanya perlahan, "Mas, ini kamu?" tanya Nada sembari duduk dengan tegak.
"Iya, ini aku. Ada apa?" Pandu bingung melihat wajah istrinya panik.
"Alhamdulillah Mas, aku kira kamu kenapa-kenapa. Kamu kenapa jam segini baru pulang?" Nada berdiri membenarkan gendongannya.
"Aku lembur, harusnya kamu tidak perlu menungguku," ujarnya sembari mengajak Nada ke kamar.
"Aku cemas kamu tidak bisa dihubungi, mana Shanum rewel lagi," ujarnya sembari mengusap kepala Shanum.
Shanum seakan merasakan papanya melakukan hal yang tidak baik sampai dia rewel. Padahal, dia baik-baik saja, mendadak dia menangis dan tidak mau ditolong sampai akhirnya dia tidur karena kelelahan menangis.
"Shanum sakit?" Pandu mengecek kening Shanum.
Nada menggelengkan kepala, "Tidak, dia baik-baik saja."
Nada menidurkan Shanum dan bergegas mengambilkan minuman untuk Pandu.
"Mas, kamu mau aku pijitin?" tanya Nada sembari memberikan teh hangat.
"Tidak usah, kamu kan juga capek. Lebih baik kita tidur saja," ajak Pandu, ia sering menolak pijitan dari Nada.
Nada duduk di depan Pandu setelah menaruh cangkirnya.
"Mas," panggil Nada pelan.
"Iya sayang ada apa?" ucapnya lembut.
"Apa kamu sudah tidak menginginkanku lagi?" tanya Nada menatap tajam suaminya itu.
"Kenapa kamu ngomong seperti itu?" Pandu menyibakkan rambut Nada ke belakang telinga.
"Aku susah lama tidak diberi nafkah batin, apa kamu tidak mau berhubungan denganku?" Nada menginginkan hubungan itu. Sudah lama sekali dia tidak berhubungan intim dengan Pandu.
Dia selalu bilang kalau sibuk, capek dan segala macam alasan. Sehingga Nada hanya bisa menelan kekecewaan.
"Bukan begitu, Shanum kan masih kecil. Jadi, aku pikir kamu biar lebih fokus mengurus Shanum," dalihnya untuk menolak sang istri.
"Mas, kamu juga tahu cara agar aku tidak hamil dulu. Kenapa jadi Shanum yang jadi alasan?" ujar Nada merasa aneh.
Nada saat ini sudah menjalani program KB, dia tidak akan hamil saat melakukan hubungan suami istri.
"Aku tahu, tapi saat ini aku sedang capek dan tidak semangat untuk itu," ujar Pandu sembari mengusap kepala Nada.
Dia meminta istrinya mengerti, pekerjaannya saat ini hanya membuat dirinya ingin lekas tidur saat sampai di rumah.
Nada mengangguk, dia pindah ke sebelah kiri sisi ranjangnya. Dia kembali dibuat kecewa oleh Pandu.
Tiada malam tanpa air mata setiap hari ada saja yang membuatnya kecewa. Sedangkan Pandu tidak peka dengan ucapanya yang terus menyakiti istrinya.
Hati Nada sudah tidak terbentuk lagi, tapi sebisa mungkin dia berusaha untuk menyusun semua puing-puing hatinya.
Nada merebahkan tubuhnya, mengusap air mata lantas berguman, "Ya Allah, sampai kapan aku harus bersabar?"