Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Diantar Pulang
Alfi telah sampai di bilik ruangannya, lantas memberikan satu botol kunyit asam pada Aghnia.
"Terimakasih pak Alfi", sahut Aghnia sembari tersenyum menerima jamu dari Alfi.
"Pekerjaan saya sudah selesai, setelah ini saya boleh pulang?", tanya Aghnia ragu.
"Boleh", jawab Alfi singkat.
Pria itu membuka gado gadonya di hadapan Aghnia. Membuat gadis itu tertarik ingin mencicipi, namun tak punya keberanian.
"Kamu bawa mobil?", tanya Alfi sembari menyuap sepotong lontong.
"Mobil saya dipake Monica, tadi saya diantar Monica. Saya bisa pesan ojek online", ujar Aghnia, membuka botol jamu dan meneguknya.
"Tunggu saya selesai makan, saya antar pulang", ujar Alfi.
"Nggak perlu pak, saya bisa pulang sendiri", tolak Aghnia. Ia benar-benar tak ingin merepotkan banyak orang.
"Naik tangga saja kamu kesulitan, saya nggak mau ambil resiko Aghnia. Saya antar kamu pulang", ujar Alfi dengan tegas.
Nyali Aghnia menciut, ia menyetujui tawaran Alfi dengan terpaksa. Gadis itu merapikan berkas yang telah ia koreksi lalu menyusunnya seperti semula. Ia mengambil kantong plastik berisi sampah makannya, lantas bersiap untuk pulang.
Alfi telah menyelesaikan makan siangnya, pria itu mengambil minum di ransel dan mulai meneguknya. Aghnia tiba tiba mengambil kertas bungkus bekas gado gado Alfi di meja lalu memasukkan ke dalam kresek sampah miliknya. Alfi tertegun melihat tingkah gadis itu.
"Ayo", ajak Alfi setelah mengemasi laptop dan menggendong ranselnya. Dengan setia Alfi menunggu Aghnia beranjak dari duduknya lantas menyuruh Aghnia jalan terlebih dahulu.
"Mau pulang pak Alfi?", tanya Soraya yang berada di seberang mejanya. Alfi tak menyahut, pria itu hanya tersenyum. Lalu melangkah mengikuti Aghnia.
"Siapa nih cewek? Kayaknya dia cuma mahasiswi bimbingannya", lirih Soraya, melihat Alfi tidak merespon pertanyaannya. Perempuan itu terus menatap Alfi dan Aghnia dengan rasa cemburu.
Sesampainya di tangga, Aghnia bersender ke pembatas tangga terlebih dahulu sebelum turun. Alfi tetap menunggu di sampingnya dengan memberi jarak dua lantai.
"Pak Alfi", Aghnia menjeda ucapannya, memandang Alfi.
"Jika pasangan telah ditakdirkan, lalu bagaimana hasil dari ikhtiar kita meminta pasangan yang lebih baik? Apa semua itu akan sia sia?", Aghnia ingin tahu. Gadis itu mengingat pertanyaan yang Alfi lontarkan di taman.
"Pasangan memang sudah digariskan, tapi Tuhan tetap berhak mengubahnya. Doa dan kualitas diri memang adalah unsur yang menjadi sebab diubahnya takdir, tapi tetap tangan Tuhan lah yang mengutak atik hati manusia.
Juga, Tuhan sudah membuat kecenderungan frekuensi hingga mempertemukan yg sefrekuensi", jelas Alfi memandang lekat mata Aghnia.
"Lalu bagaimana dengan Asiyah istri fir'aun yang tidak mendapatkan pasangan sefrekuensi?", tanya Aghnia lagi.
Alfi mengusap bulu halus di bawah dagunya, pria itu terkesan dengan pertanyaan Aghnia.
"Khusus kasus Asiyah-Firaun, Tuhan ingin frekuensi Asiyah memengaruhi Firaun sebagai alat agar skenario Tuhan lancar menjadikan Musa sebagai anak angkat", terang Alfi.
"Itu karena Asiyah adalah resonator yang kuat dan firaun sefrekuensi dengan Asiyah sebenarnya. Hanya saja, firaun juga resonator yg cukup kuat, bahkan didatangkan iblis untuk menguatkan resonansinya", imbuh Alfi.
Aghnia terdiam mencerna ucapan Alfi.
"Jadi, sampai kapan kita berdiri disini?", tanya Alfi memecah lamunan Aghnia.
"Eh, itu. Ayo pak", ujar Aghnia gelagapan.
Mereka berdua kembali berjalan dengan posisi seperti sebelumnya, Aghnia di depan dan Alfi di belakang.
Sesampainya di parkiran, Aghnia masuk ke mobil Alfi dan duduk di jok tengah. Gadis itu masih saja melamun, seakan banyak sekali pertanyaan yang bersarang di pikirannya.
"Lalu bagaimana dengan mereka yang dijodohkan atas dasar bisnis dan kekuasaan? Apa mereka bisa dibilang sefrekuensi? Atau memang takdir mereka seperti itu?", cecar Aghnia, memandang Alfi yang sedang fokus menyetir.
"Semua manusia sudah digariskan jodohnya, kita hanya disuruh terus berbenah untuk menjemput jodoh terbaik", jawab Alfi, memandang Aghnia lewat spion dalam mobilnya.
Aghnia menghela nafas panjang.
"Jangan terlalu berat memikirkannya Aghnia, semua butuh proses. Kamu juga harus mengingat kesehatanmu", ujar Alfi.
Alfi berhenti di depan kontrakan Aghnia, menunggunya keluar hingga masuk ke dalam kontrakan. Perhatian ini membuat Aghnia salah tingkah.
"Perempuan yang pemberani dan kuat memang", lirih Alfi, lantas melajukan mobilnya kembali ke kampus.
Di dalam kontrakan, Aghnia tidak segera masuk ke dalam kamarnya. Ia malah menatap Alfi dari balik kaca one way.
"Dia ini sebenarnya baik atau cuma kedok sih? Kadang baik, kadang jutek, kadang marah ngga jelas", lirih Aghnia.
Saat Aghnia masih asyik memandang Alfi, Risti menepuk pundak Aghnia hingga gadis itu terperanjat.
"Apa sih Ris? Asal tepuk aja!", keluh Aghnia, seolah terpergok mencuri.
"Kamu yang ngapain Nia? Kamu jatuh hati sama si killer?", telisik Risti.
"Jatuh hati? Nggak lah. Cuma bingung aja sama sikapnya yang berubah-ubah seperti bunglon", ujar Aghnia.
"Itu sih gejala jatuh cinta namanya", sahut Risti, seraya melangkah pergi meninggalkan Aghnia.
"Tunggu Ris! Gejala bagaimana?", cegah Aghnia. Risti pun menoleh lantas mengendikkan bahu dan kembali berlalu.
"Absurd!", celetuk Aghnia. Gadis itu pun melangkah kembali ke kamarnya dan merebahkan diri.
"Aku ini, labil atau sakit jiwa sih sebenarnya?", benak Aghnia. Ia bingung dengan hatinya sendiri. Baru saja dikecewakan orang yang dicintai, namun dengan sentuhan kelembutan hati Alfi, ia merasakan kehangatan yang membuat candu.
Wajah Alfi yang tengah tersenyum, jakun Alfi yang naik turun, juga cara Alfi memberi perhatian tanpa banyak untaian kata, membuat wajah Aghnia memerah malu.
"Tuh kan, kamu jatuh hati kan sama si killer", telisik Risti. Suara Risti mengejutkan Aghnia.
"Apaan sih! Ngga ah. Orang cuma teringat aja kok", elak Aghnia.
"Mana ada orang terngiang lantas wajahnya memerah tersipu begitu kalau ngga ada rasa suka coba?", tanya Risti, matanya fokus memandang mata Aghnia, menelisik kejujuran dari bening netra Aghnia.
"Ya, itu karena kamu yang pakai tanya-tanya. Kalau kamu abaikan saja, kan ngga ada tuh tersipu", elak Aghnia.
"Oh, sudah pintar mengelak sekarang. Semakin menjelaskan kalau kamu memang jatuh hati tapi tak berani mengakui", telisik Risti.
"Enggak ah, itu cuma prasangkamu saja pasti", Aghnia semakin gusar, seakan takut diketahui isi hatinya.
"Ya sudah. Apapun itu, ingat lah batasanmu, Nia. Kamu sudah dihinakan oleh Bimo dan Malik. Jangan sampai kamu terjebak lagi karena menurutkan nafsumu dengan pembenaran", pesan Risti.
"Iya iya, nyai Roro Jonggrang", sahut Aghnia, sontak Risti melempar wajah Aghnia dengan bantal. Mereka pun berbincang dan bercanda. Aghnia tahu kesalahannya dan bersungguh-sungguh ingin memperbaiki dirinya.
Di ruang dosen, Soraya menelisik hubungan Alfi dengan Aghnia.
"Dia cuma asisten saya bu. Saya mohon untuk tidak membahasnya lagi atau ikut campur urusan kami sebagai profesional", ujar Alfi, jengah dengan tingkah para perempuan di sekitarnya.
"Justru agar profesionalitas terjaga, pak Alfi perlu membatasi diri, kalau perlu ganti asisten pria saja", nampak Soraya benar-benar cemburu. Sudah beberapa bulan dia mengejar cinta Alfi.
Pria itu tak ingin melanjutkan perdebatan dan memilih pergi ke lapangan basket untuk berolah raga, menunggu jadwal mengajarnya.