NovelToon NovelToon
Bosku Duda Arogan

Bosku Duda Arogan

Status: tamat
Genre:Tamat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Romansa
Popularitas:2.2M
Nilai: 4.9
Nama Author: dtyas

“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.

“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.

Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.

Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!


===
IG : dtyas_dtyas

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 14 ~ Masih Ada Urusan

“Ada beberapa hal tentang konsep penampilan stage untuk syuting besok yang perlu kalian jelaskan pada saya,” ujar Pak Gentala

“Ajeng yang akan temani tour Bapak, saya harus meeting dengan produser,” ujar Fabian lalu mengangguk pada Pak Gentala dan menepuk bahuku.

“Hahh, Pak Fabian,” ujarku memelas saat pria itu beranjak.

Aku merasa horor, sumpah horor banget.  Mencoba menghilangkan rasa takut, karena rasa bersalah sempat mengejek Pak Gentala beberapa hari lalu.

“Ehm, mari Pak.” Aku mempersilahkan Pak Gentala untuk masuk ke studio.

Ternyata bersama Pak Gentala yang terus menanyakan konsep program dengan penampilan stage cukup menguras emosi dan kecerdasan yang jelas lebih menegangkan dari suasana sidang skripsi aku.

Pertanyaan pak Gentala antara bercanda dan serius menurut aku atau memang dia menganut kepercayaan feng shui yang mengatur mengenai posisi, tempat dan segala macamnya. Bahkan posisi sofa untuk wawancara saja dia tanya kenapa ada di sebelah kiri bukan di kanan.

“Nggak sampai segitunya Pak, kita kerjasama dengan tim lainnya untuk masalah view dan pengambilan gambar,” ujarku ngeles.

Pria itu hanya menoleh sekilas dan kembali bersedekap menatap beberapa pekerja yang mengatur penerangan dan backdrop stage.

“Kamu menghindari saya?”

Hah, pertanyaan apa ini? Iya sih, aku memang menghindari pria di sampingku.

“Nggak Pak, untuk apa saya menghindar,” jawabku dusta tanpa menatapnya. Takut gaes, nanti Pak Gentala bisa tahu kalau aku nervous mudah terintimidasi dengan tatapannya.

“Takut saya tagih tanggung jawab kamu dan ulah tidak sopan kamu beberapa hari yang lalu.”

Aku mengusap tengkuk, mengingat kejadian aku masuk ke ruangan Pak Gentala tanpa permisi dan melihat ulahnya bersama Natasha juga mengejek pria itu untuk meneruskan ulahnya.

“Hm. Salahkan pintunya, kenapa malah terbuka padahal saya belum ketuk. Lagian bapak juga aneh, pangku-pangkuan di kantor pake ciuman pula. Jangan-jangan kalau saya nggak  datang berikutnya malah enak-enak,” tuturku lirih tapi aku yakin didengar oleh om messum ini.

Gimana aku nggak sebut dia messum coba?

“Kenapa? Kamu iri dengan Natasha dan mau merasakan juga ciuman denganku?”

Wah bener, udah gesrek nih orang. Kalaupun mau ya bukan dengan dia juga kali. Paling nggak harus dengan makhluk tertampan dan tercute di muka bumi. Ya sebelas dua belas dengan Lee Min Ho.

“Harusnya Bapak nggak tersinggung dong waktu saya sebut Bapak, Om messum dan c4bul.”

“Bibir kamu memang harus dikasih pelajaran ya. Saat itu Natasha yang menggoda dan langsung duduk di pangkuan saya. Saat kamu masuk tepat saat dia menyambar bibir saya,” tuturnya menjelaskan.

Buat apa coba dia jelaskan secara rinci adegan silaturahmi bibirnya dengan Natasha ke aku.

“Asal kamu tahu, saya pria dewasa dan normal. Disuguhi hal seperti itu di depan mata, nggak mudah untuk menolak dan kebetulan saya sedang bergair*h karena ada gadis nempel dan peluk saya di lift.”

Tunggu, yang dia maksud itu kayaknya aku deh. Aku membelalakan mata menatapnya yang acuh sedang menatap ke stage dengan gaya khasnya, tangan berada di saku celana.

“Ayo.”

Pak Gentala berjalan menuju pintu keluar studio.

“Ke mana Pak?” tanyaku sambil berusaha mensejajarinya, langkahnya terlalu lebar membuatku agak kesulitan agar tidak tertinggal.

“Aku akan keliling.”

Terus, apa hubungannya denganku. Keliling ya keliling aja.

“Oh, saya balik ke ruangan ya pak,” ujarku dan Pak Gentala menghentikan langkahnya.

“Kamu temani aku, tidak dengar intruksi Fabian kalau kamu harus menjadi tour guide saya.”

“Kenapa nggak dengan Pak Anton aja Pak?”

“Kamu perintah saya?”

Aduh mulut, kenapa sih gampang banget komentar.

“Bukan perintah pak, Bapak ‘kan punya asisten sendiri,” sahutku.

Pak Gentala menatapku, aku jadi merinding lagi. iya kali ada setan lewat, bahkan aku sempat menoleh kiri dan kanan. Hanya ada beberapa kru yang hilir mudik.

“Kamu masih bawahan saya ‘kan?”

“Ya … iya sih.”

“Jadi, masalahnya di mana?”

Masalahnya Bapak tuh mesuum dan nyeremin dan parahnya Bapak tuh ganteng banget. Aku hanya bisa menggaruk kepalaku.

“Sepertinya kamu harus ke salon dan lakukan perawatan untuk rambut kamu ini,” ujar Pak Gentala sambil mengacak rambutku. “Dari tadi garuk-garuk terus,” ujarnya lagi.

“Ck, gaji asisten mana cukup untuk perawatan tubuh.”

“Menikahlah dengan jutawan atau jadi sugar baby,” ujar Pak Gentala lalu melanjutkan langkahnya menuju lift.

“Saya nggak se putus asa itu, pak.”

Pria di sampingku ini menekan tombol 7. Untuk apa dia ke lantai tujuh. Kalau mau jadikan aku tour guide untuk masallah studio dan penyiaran mungkin masih masuk akal, tapi ini lantai tujuh divisi keuangan dan personalia.

Saat aku dan Pak Gentala menjejakan kaki di lantai tujuan, langsung heboh karena kehadiran Pak Gentala seperti sidak membuat karyawan malas dan selalu mencari celah untuk kerja santai menjadi kalang kabut.

“Pak Gentala, kenapa tidak berkabar kami jadi tidak ada persiapan,” ujar Bu Ita.

Aku ingin terbahak mendengar ucapan Bu Ita yang panik, bahkan Anik yang merupakan staf Bu Ita terlihat pucat karena takut jika Bu Ita akan menyalahkannya kalau Pak Gentala menemukan hal yang tidak sesuai.

Pak Gentala berdiri di tengah ruangan di mana banyak meja yang digunakan oleh staf keuangan. Semua terlihat menyibukkan diri setelah menyapa Gentala.

“Kalau saya berkabar akan mengunjungi lantai ini, kamu akan merencanakan apa?” tanya Pak Gentala.

“Ehm, bukan begitu Pak. Kami jadi tidak ada persiapan,” sahut Bu Ita lagi.

“Mempersiapkan apa? Aku akan memeriksa pekerjaan kalian apa adanya bukan ada apanya.”

Sepanjang mengenal Pak Gentala setelah insiden di stasiun kereta dan ternyata pimpinan tertinggi di Go TV, kalimat tadi adalah kalimat paling masuk akal aku dukung beliau sebagai pimpinan. Berikutnya Pak Gentala bicara pada Bu Ita dan seorang pria, entah asisten atau wakil Bu Ita aku kurang mengenalnya.

Aku menunggu di pantry sambil sesekali menoleh ke arah luar memastikan Pak Gentala masih berada di sana.

“Ajeng, gila kamu ya. Pak Gentala sidak nggak ngasih kabar, sekarang kamu asisten Pak Gentala bukan? Karena tampang kamu seperti pembantunya Pak Gentala,” ujar Anik ujung-ujungnya mengejekku.

“Mana aku tahu dia mau sidak atau nggak. Kita habis dari studio memastikan persiapan syuting program baru terus aku diminta ikut.”

“Mbak Ajang, dipanggil Bapak.”

Aku melesat dari kursi yang ada di pantry, jangan sampai Pak Gentala menunggu terlalu lama.

“Ingat itu! Ini bukan masalah siapa pemimpinnya tapi prosedur standar yang harus dilakukan oleh bagian keuangan,” ujar Pak Genta sebelum meninggalkan tempat ini.

Jam kerja pun berakhir enam puluh menit yang lalu saat aku masih menemani Pak Gentala di divisi pemasaran.

“Kita lanjutkan besok,” cetus Pak Gentala membuat beberapa orang di hadapannya menghela nafas lega.

“Aku sudah boleh pulang ya pak?” tanyaku lirih.

“Ajeng.”

Bukan hanya aku yang menoleh, Pak Gentala juga. Ternyata Fabian, pria itu menghampiri kami. Fabian kembali menunjukan senyum dan memperlihatkan deret giginya yang rapi dan putih.

“Malam Pak Gentala. Ajeng sudah boleh pulang?” tanya Fabian.

“Hm.”

“Ayo, aku antar kamu pulang,” ajak Fabian.

Jantungku yang sejak tadi berdebar tidak karuan bahkan aku berniat memeriksakan kesehatan setelah ini, khawatir ada masalah dengan jantungku. Kalau boleh berteriak kegirangan, pasti sudah aku lakukan tapi aku harus tetap cool dan sok jual mahal padahal diskon juga belum tentu ada yang mau.

Aku baru akan menjawab ucapan Fabian tapi sang prabu kembali memberikan titah seenak jidat.

“Jangan, aku masih ada urusan dengan Ajeng. Kamu pulang saja dulu, biar Ajeng nanti diantar Pak Budi,” tutur Pak Gentala tanpa perasaan.

 

1
Arieee
Luar biasa
Arieee
mantap 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣👍👍👍👍👍👍
Arieee
bunga bangkai 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Arieee
kasian si Ajeng sial Mulu🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Sintia Dewi
bisa gitu mau marah nunggu istri mood dimarahin wkwkwk ajeng2 ada2 aja
Aishaldira
nah kena mental kan /Tongue//Tongue//Tongue/
Aishaldira
dinikahin pasti
Aishaldira
hhhhhhhh gentala putra petir
Aishaldira
/Joyful//Joyful//Joyful//Joyful//Joyful/
Aishaldira
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Aishaldira
kurain nolak ternyata e ternyata mau juga /Facepalm/
Aishaldira
😂😂😂😂😂😂
Yusuf Alabror
/Curse//Joyful//Joyful//Joyful//Joyful/
Dewi Sri
cerita yg bagus kayak beneran kehidupan sehari hari
Ratri Gustanti
Luar biasa
Sintia Dewi
ngapain jg ayahnya ajeng sampek nyuruh2 gentala nengok cucunya yg udh pulang aneh bgt keluarga si ajeng ini
Mei Prw
luar biasa
ariyatti
udah kepededean aja dikira diajakin pulang bareng taunya urusan ganti rugi mobil yg lecet /Facepalm//Facepalm/
momo2
bagus tau ceritanya
Rose 19
wkwkwk pintunya tang harus kebuk sempurna Gen.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!