"Ingat Queensha. Aku menikahimu hanya demi Aurora. Jadi jangan pernah bermimpi jika kamu akan menjadi ratu di rumah ini!" ~ Ghani.
Queensha Azura tidak pernah menyangka jika malam itu kesuciannya akan direnggut secara paksa oleh pria brengsek yang merupakan salah satu pelanggannya. Bertubi-tubi kemalangan menimpa wanita itu hingga puncaknya adalah saat ia harus menikah dengan Ghani, pria yang tidak pernah dicintainya. Pernikahan itu terjadi demi Aurora.
Lalu, bagaimana kisah rumah tangga Queensha dan Ghani? Akankah berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Tamu Tak Diundang
"Buka!" teriak seseorang sambil menggendor daun pintu dengan kencang. "Lita, buka pintunya kalau tidak mau pintu ini saya dobrak sekarang juga!" Suara bariton itu masih nyaring terdengar hingga membuat penghuni rumah terlonjak kaget dibuatnya.
"Sialan! Siapa sih yang berani ganggu tidur siang gue?" teriak Lita kesal. Kedua kaki jenjang gadis itu menendang selimut yang membungkus bagian bawah tubuhnya.
"Lita!"
Sang empunya nama bergegas turun dari pembaringan dan berjalan mendekati daun pintu. "Iya, tunggu sebentar." Akan tetapi, sosok di depan pintu justru semakin kencang mengetuk daun pintu.
Lita membuka daun pintu dan bola matanya terbelalak sempurna saat mendapati dua orang pria berbadan tegap, tinggi dengan wajah menyeramkan memandang sinis ke arahnya.
"K-kalian ... m-mau apa ke sini?" tanya Lita tergagap. Lita tak menyangka jika pria yang selama beberapa hari ini ia hindari berdiri tegap di hadapannya.
"Mau apa katamu? Tentu saja kedatangan kami ke sini menagih hutang. Cepat bayar sebelum kami menarikmu secara paksa dan membawamu ke hadapan Boss!"
"T-tapi aku belum punya uang untuk membayarnya. Bisakah kalian datang lagi bulan depan, nanti pasti aku bayar cicilannya." Lita memohon dengan penuh pengharapan.
Alih-alih luluh dan memberi kelonggaran kepada Lita, Poltak justru meludah ke samping kanan. "Cuih, memberi keringanan kepadamu? Jangan mimpi, Nona! Ini sudah jatuh tempo dan kamu harus segera membayar cicilannya. Atau ... kalau tidak, kami akan menyeretmu secara paksa dan menyerahkan kepada Boss kami!" tandas pria itu dengan tegas.
Wajah sangar pria itu semakin menyeramkan saat pantulan sinar matahari mengenai pipi sebelah kanannya yang terluka akibat luka sabetan benda tajam. Luka tersebut dijahit sepanjang lima centi meter hingga meninggalkan bekas di sana.
Lita menggeleng kepala cepat. "Tidak! Aku tidak mau bertemu dengan Boss kalian."
"Makanya, cepat bayar hutangmu!" bentak rekan Poltak, bernama Bonar. "Enak saja mau pinjam, tapi tidak mau bayar. Dipikir uang yang kamu ambil punya Nenek Moyangmu, heh!"
"Iya, tapi aku betulan tidak punya uang sekarang. Kakakku belum mengirimi aku uang jadi aku belum bisa bayar cicilannya pada kalian. Tolong beri aku waktu satu minggu untuk meminta uang kepada Kakakku." Lita masih berusaha bernegosiasi dengan dua anak buah bu Farida, Poltak dan Bonar.
Poltak dan Bonar saling bertatapan. Kemudian salah salah satu dari mereka menggerakan kepala dan detik itu juga dia pria berwajah sangar sigap mengunci tubuh Lita, menarik tangan gadis itu di samping kanan dan kiri.
Lita terlonjak kaget saat kedua tangannya di tarik secara paksa oleh anak buah Farida, rentenir kelas kakap yang terkenal kejam, culas dan tak segan-segan membuat perhitungan kepada para nasabahnya yang dinilai malas membayar hutang.
"Hei, lepaskan tanganku! Kalian tidak bisa membawaku begitu saja. Aku kan sudah bilang akan membayarnya minggu depan. Please, lepaskan aku!" jerit Lita histeris. Ia meronta, menjejakan kaki ke sana kemari saat Poltak dan Bonar membawanya secara paksa.
"Tolong, lepaskan aku! Kumohon, lepaskan. Jangan bawa aku menemui Boss kalian!" Bola mata Lita mulai berkaca-kaca saat membayangkan apa yang akan menimpanya jika kedua pria bertubuh tegap itu berhasil membawanya menemui Farida.
"Diam kamu!" bentak Poltak kesal. Ia semakin erat mencengkeram pergelangan tangan Lita.
Suara teriakan, raungan dan tangisan Lita sukses menarik perhatian semua orang. Para tetangga berbondong-bondong keluar rumah dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga suasana lingkungan sekitar menjadi ricuh.
"Walah, putrinya Bu Mia berani sekali ya pinjam uang ke rentenir. Emangnya dia enggak tahu akibatnya apa jika berurusan dengan Bu Farida? Bisa-bisa dia dijadikan kupu-kupu malam sebagai alat pelunas hutang." Salah satu tetangga Mia berbisik dengan wanita di sebelahnya.
"Benar. Aku aja mikir dua kali untuk pinjam ke Bu Farida. Kalau kepepet banget mending gadai surat tanah ke pegadaian daripada harus berurusan dengan rentenis bertangan dingin itu," timpal yang lainnya. Mereka semua berbisik tanpa berniat menolong Lita agar terlepas dari jeratan Bonar dan Poltak.
"Minggir! Awas, aku mau lewat." Mia meringsek di antara kerumunan orang banyak. Wanita paruh baya itu terpaksa turun dari motor karena jalanan menuju rumahnya tertutup oleh kerumunan orang banyak.
"Astaga, Lita! Hei, apa yang kalian lakukan pada putriku? Lepaskan dia!" pekik Mia histeris saat ia berhasil menerobos banyaknya orang yang menonton pemandangan langka di depan sana.
Akan tetapi, kedua pria berbadan kekar dan berpakaian serba hitam tak mengindahkan ucapan Mia. Mereka seolah membutakan dan menulikan telinga. Pandangan mata menatap lurus ke depan sambil terus menarik tangan Lita.
"Mama, tolongin aku. Aku enggak mau bertemu dengan Bu Farida. Aku enggak mau dijadikan wanita penghibur para lelaki hidung belang." Lita memelas di hadapan Mia. Air matanya terus berjatuhan di antara kedua pipi.
Sebagai seorang ibu tentu saja Mia tidak tega melihat buah hatinya disakiti oleh siapa pun. Lantas, dia berdiri di depan Bonar dan Poltak dengan kedua tangan terbentang ke samping kanan dan kiri.
"Langkahi dulu mayatku jika kalian mau membawa Lita, putriku!" tandas Mia sungguh-sungguh. Walaupun sejujurnya wanita itu cukup takut menghadapi mereka, tapi ia menyembunyikan rasa takut itu demi anak tercinta.
Bonar dan Poltak terpaksa menghentikan langkah mereka, kemudian keduanya menatap sinis ke arah Mia. Lalu detik berikutnya terdengar helaan napas berat berasal dari keduanya.
Poltak melepaskan tangannya dari lengan Lita. "Kalau tidak mau putrimu kami bawa ke hadapan Boss, bayar dulu cicilan hutang putrimu setelah itu baru kulepaskan dia."
Kedua alis Mia mengerut, menatap penuh tanda tanya. "Hutang? Hutang apa? Memangnya siapa yang berhutang?"
Sontak Poltak dan Bonar menyemburkan tawanya ke udara. "Tentu saja hutang anakmu. Memangnya Ibu tidak tahu kalau putrimu yang cantik ini pinjam uang kepada Boss kami?"
Mia mengalihkan pandangan ke arah Lita, tetapi saat kedua netra saling bersitatap, gadis cantik itu menundukan wajah ke bawah.
Menggelengkan kepala, tak habis pikir bagaimana bisa Lita meminjam uang tanpa sepengetahuannya. "Berapa uang yang dia pinjam?" tanya Mia singkat.
"Lima juta rupiah, total yang harus dibayarkan bulan ini. Itu sudah termasuk bunga dan denda karena dia telat membayar angsurannya," sahut Poltak.
Lita segera mendongakan kepala saat mendengar jawaban Poltak. "Gila, bukannya per bulan gue cuma bayar angsuran dua juta aja? Tapi kenapa jadi lima juta?"
"Diam! Kalau tidak mau tangan ini mendarat sempurna di pipimu yang mulus," bentak Bonar dengan suara tinggi.
Lita segera mengatupkan bibirnya dan kembali menundukan wajah. Ia tidak berani membuka suara karena takit jika ancaman Bonar benar-benar terjadi.
"Saya akan membayarnya, tapi tolong beri kami waktu sekitar satu minggu. Setelah satu minggu, kalian bisa menagihnya di rumahku."
Poltak menghunuskan tatapan tajam ke arah Mia. "Tidak bisa! Pokoknya kamu harus bayar sekarang jika tidak mau putrimu kamu bawa ke hadapan Bu Farida."
"Untuk saat ini kami betulan tidak punya uang. Lihat, di dalam sini tidak ada uang satu lembar pun, 'kan? Lalu isi ATM-ku pun saldonya hanya lima puluh ribu, tidak bisa menarik uang sama sekali," ujar Mia sambil membuka dompet miliknya. Di dalam dompet itu memang tidak ada uang lembaran apa pun. Jangankan lembaran uang seratus ribuan, lembaran uang dua ribuan pun tidak ada. Hanya ada KTP, ATM serta kartu asuransi kesehatan.
Lagi dan lagi Bonar dan Poltak menghela napas berat. Memang sulit menghadapi orang-orang macam Lita, yang dengan mudahnya meminjam uang, tetapi ketika diminta membayar maka banyak alasan untuk mangkir.
"Ya sudah, kami beri waktu satu minggu. Jika tidak, jangan salahkan kami jika putrimu yang cantik ini dijual Bu Farida untuk dijadikan budak napsu para lelaki hidung belang." Poltak menjentikan jari, memberi isyarat pada Bonar. "Lepaskan gadis itu!"
Mia berhambur mendekati Lita yang terduduk lemas di aspal jalan. Rambut gadis itu berantakan, sisa buliran kristal memenuhi wajah cantik jelita sang putri.
"Inilah alasannya kenapa mama melarangmu pinjam uang ke Bu Farida. Prosesnya memang mudah, tapi ada konsekuensi yang kita ambil setelah meminjam uang dari dia." Mia menghapus sisa air mata di sudut mata Lita.
Masih dengan posisi menunduk, Lita menjawab, "Maafkan aku, Ma. Aku kapok dan janji enggak akan mengulanginya lagi." Ada penyesalan terbesit dari setiap kata yang terucap. "Lalu, kita harus bagaimana? Apa kita akan menjual rumah peninggalan ibunya Queensha?"
Mia menggeleng kepala. "Tidak, rumah itu satu-satunya harta benda kita. Mama akan menjualnya di waktu yang tepat. Untuk saat ini kita hanya perlu menemui Queensha dan meminta uang padanya. Sudah hampir dua bulan dia tidak memberi uang kepada kita dan ini waktunya bagi kamu dan mama menemui wanita sialan itu di indekos-nya."
...***...
😂😂😂
Bahkan lulu sampai memperingati ghani harus menjaga queensha 🤔