Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Katerine duduk di ruang tamunya yang mewah, memandangi ponselnya dengan tatapan penuh kebencian yang sulit disembunyikan. Perasaan marah dan sakit hati yang telah lama ia pendam akhirnya memuncak. Dengan tangan gemetar, ia memutuskan untuk menelepon David, seorang pria ambisius yang dikenal punya pengaruh besar di dunia bisnis.
Ponsel David berdering, dan ia segera mengangkatnya. "Katerine? Tumben kau meneleponku. Ada apa?"
Katerine menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "David, aku membutuhkan bantuanmu. Ini penting."
David, yang sedang duduk di kantornya, bersandar di kursinya sambil memainkan pena di tangannya. "Tentu, katakan saja. Selama itu sesuatu yang bisa kubantu."
"Ini tentang Ferdinan," kata Katerine dengan suara rendah namun penuh emosi.
David mengerutkan kening. "Ferdinan? Bukankah dia..."
"Ya," potong Katerine dengan nada tajam. "Dia yang menghancurkan hidupku. Dia yang mengkhianatiku, mempermalukanku, dan sekarang dia berjalan dengan bangga seperti tidak ada yang terjadi. Aku tidak bisa membiarkan itu, David. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan."
David terdiam sesaat. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku ingin kau membantuku menghancurkan perusahaannya," jawab Katerine tegas. "Kau tahu Ferdinan memiliki banyak musuh di dunia bisnis. Jika kita bergerak dengan strategi yang tepat, kita bisa membuat perusahaannya runtuh."
David mendesah pelan, lalu berdiri dari kursinya. "Katerine, aku tahu kau sedang emosi, tapi ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja. Menghancurkan perusahaan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika Ferdinan memiliki koneksi kuat."
"Aku tidak peduli seberapa sulitnya," tegas Katerine. "Aku tahu kau punya sumber daya dan kemampuan untuk melakukannya. Aku hanya butuh kau di pihakku, David. Aku rela membayar berapa pun."
David mengangkat alis. "Kau yakin ini yang kau inginkan? Jika kita melangkah ke jalan ini, tidak ada jalan untuk mundur."
"Aku yakin," kata Katerine dengan penuh keyakinan. "Aku ingin dia kehilangan segalanya, seperti bagaimana dia membuatku kehilangan segalanya."
David tersenyum tipis, penuh makna. "Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan, aku akan membantumu. Tapi, Katerine, pastikan kau siap menghadapi semua konsekuensinya."
"Percayalah, aku sudah lebih dari siap," jawab Katerine, suaranya terdengar dingin dan penuh tekad.
Setelah percakapan itu berakhir, Katerine merasakan sedikit kelegaan.
"Tapi ini semua enggak gratis kate,"David menatap dengan memicingkan matanya.
"Maksudmu?"Katerine mengernyitkan keningnya."
"Tentu saja aku, akan melakukan semua keinginanmu asalkan kau, mau menemaniku malam ini."David langsung meraup bibir Katerine yang merah dan bervolume itu, melumat bahkan menarik dengan ganas. Katerine yang sudah pro itu membalas pagutan David tanpa penolakan . Hingga mereka pun menuntaskan hasrat mereka di sofa yang ada di ruang tamu tersebut. Tanpa ada yang mengganggu, karena Katerine tinggal di apartemen sendirian.
Meski ia tahu jalannya akan sulit, ia tidak peduli. Baginya, menghancurkan Ferdinan adalah satu-satunya cara untuk membalas semua luka yang telah ia derita.
Ferdinan dan Alzena tengah dalam perjalanan menuju kampung halaman Alzena, yang juga mereka selingi dengan waktu bersama. Di tengah perjalanan, mereka memutuskan untuk berhenti di sebuah rest area yang memiliki fasilitas lengkap, termasuk masjid yang nyaman.
"Mas, sudah sampai di rest area, kita istirahat dulu." ajak Alzena.
"Iya sayang, sekalian kita makan siang disana."Ferdinan mengangguk pelan dan tersenyum ke arah wajah istrinya.
Sesampainya di sana, Ferdinan langsung memarkir mobilnya di dekat masjid. "Kita sholat Dzuhur dulu, ya," katanya sambil tersenyum pada Alzena.
Alzena mengangguk. "Baik, setelah itu kita makan. Aku sudah lapar," balasnya sambil merapikan hijabnya.
Mereka berjalan menuju masjid, melewati beberapa toko kecil dan warung makan yang berada di sekitar rest area. Masjidnya bersih dan cukup luas, dengan arsitektur modern yang membuatnya terlihat megah. Ferdinan mengambil wudhu terlebih dahulu, kemudian bergabung di saf depan. Alzena menuju area khusus wanita, mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dengan khusyuk.
Setelah sholat, mereka bertemu kembali di luar masjid. Alzena tersenyum melihat Ferdinan yang menunggunya sambil duduk di bangku taman kecil dekat masjid. "Ayo makan," katanya ceria.
Mereka memilih salah satu warung makan yang terlihat ramai. Menunya sederhana namun menggugah selera—nasi, ayam goreng, sayur lodeh, dan sambal khas daerah setempat.
"Tempat ini terlihat sederhana, tapi makanannya pasti enak," ujar Ferdinan sambil memesan makanan untuk mereka berdua.
"Sepertinya begitu," jawab Alzena, matanya memperhatikan aktivitas di dapur terbuka warung tersebut.
Ketika makanan datang, aroma lezatnya langsung membuat mereka tak sabar untuk mencicipinya.
"Ini enak sekali," komentar Alzena sambil menyuap nasi ke mulutnya.
Ferdinan mengangguk setuju. "Benar. Makan di tempat seperti ini memang punya keunikan tersendiri."
Sambil menikmati makanan, mereka berbicara santai tentang perjalanan mereka dan rencana yang akan mereka lakukan di kota tujuan. Meskipun sederhana, momen ini terasa hangat dan penuh kebersamaan.
Setelah menempuh perjalanan panjang selama empat jam, mobil mewah Ferdinan akhirnya memasuki jalan kecil yang dikelilingi hamparan perkebunan teh hijau yang indah. Udara segar khas pedesaan Garut mulai terasa, membawa ketenangan setelah perjalanan panjang. Alzena terlihat antusias, wajahnya berseri-seri sambil menunjuk beberapa tempat kenangan masa kecilnya kepada Ferdinan.
"Mas, itu jalan menuju sawah tempat aku sering main waktu kecil!" kata Alzena dengan semangat, membuat Ferdinan tersenyum melihat kebahagiaannya.
"Hmm, pemandangannya keren banget, Sayang. Nggak nyangka tempat kamu tumbuh seindah ini," balas Ferdinan sambil sesekali melirik ke arah Alzena dengan penuh kasih.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana tapi asri, Alzena segera turun dengan senyuman lebar. Rumah itu terbuat dari kayu dengan halaman penuh tanaman bunga berwarna-warni. Seorang wanita tua yang memakai kebaya sederhana keluar dari rumah dengan langkah pelan, namun penuh semangat.
"Nenek!" teriak Alzena sambil berlari memeluk wanita tua itu.
"Cucu nenek, Alzena! Kamu pulang juga akhirnya!" jawab sang nenek dengan mata berkaca-kaca.
Ferdinan keluar dari mobil, tersenyum sopan sambil membawa beberapa bingkisan yang telah disiapkannya. Dia mendekati sang nenek dengan penuh hormat.
"Assalamualaikum, Nek. Saya Ferdinan, suami Alzena," ucapnya sambil menunduk dan mencium tangan sang nenek.
Sang nenek tersenyum lebar, mengangguk penuh kehangatan. "Waalaikumsalam. Alhamdulillah, akhirnya nenek bisa lihat suami Alzena. Terima kasih sudah mau mengantar cucu nenek pulang."
"Masuk dulu, ayo, ayo. Capek pasti dari perjalanan jauh," ajaknya sambil menggandeng tangan Alzena masuk ke rumah.
Di dalam rumah, suasana hangat menyambut mereka. Alzena terlihat sibuk membantu neneknya menyiapkan teh hangat dan kudapan tradisional, sementara Ferdinan duduk dengan tenang, menikmati suasana pedesaan yang damai. Mata Ferdinan tak lepas dari Alzena, yang tampak begitu ceria.
"Mas, kamu suka nggak di sini?" tanya Alzena sambil menuangkan teh.
"Suka banget. Tempat ini bikin hati tenang, kayak kamu," jawab Ferdinan sambil tersenyum lembut, membuat wajah Alzena sedikit memerah.
Malam itu, mereka menikmati makan malam bersama sang nenek, ditemani suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana semakin hangat dan tak terlupakan.