Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Langkah Di Puncak Asmara
Tidak terasa sudah tiga bulan berlalu sejak aku berkuliah di Universitas Muhammadiyah Cilacap. Awalnya, hari-hariku terasa biasa saja, hanya berkutat dengan kelas dan tugas kuliah. Namun, semuanya mulai berubah sejak aku mulai aktif dalam kegiatan organisasi kampus, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Hizbul Wathan. Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan organisasi, tetapi Dinda lah yang selalu memaksaku untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan hingga aku akhirnya terjun dan benar-benar aktif dalam organisasi.
Dinda, dengan caranya yang santai namun meyakinkan, selalu berhasil membuatku merasa bahwa ikut organisasi adalah hal yang penting. “Coba saja dulu, Mas Alan. Siapa tahu Mas suka,” katanya suatu waktu dengan senyum andalannya.
Aku hanya menghela napas sambil tersenyum kecil. “Tapi, Din, aku nggak yakin bisa konsisten. Lagian, aku kan nggak terlalu suka kegiatan ramai-ramai.”
“Mas Alan ini gimana sih? Kalau nggak dicoba, mana tahu cocok atau nggak?” balasnya sambil melipat tangan di dada, pura-pura kesal.
Aku tertawa kecil. “Ya sudah, aku ikut. Tapi jangan protes kalau aku malah bikin ribet nanti.”
“Tenang saja, Mas. Aku yang akan bantu Mas supaya nggak ribet,” jawab Dinda dengan nada penuh percaya diri.
---
Ternyata, keputusan itu menjadi salah satu hal terbaik yang pernah aku lakukan. Dengan ikut organisasi, aku mendapatkan banyak teman baru dan pengalaman yang berharga. Tidak jarang aku harus pulang malam karena mengikuti acara-acara organisasi, mulai dari rapat hingga kegiatan sosial. Meski lelah, aku merasa senang karena hari-hariku menjadi lebih bermakna. Aku mulai memahami pentingnya berkontribusi untuk lingkungan kampus dan masyarakat sekitar.
Hubunganku dengan Daniel juga semakin membaik seiring seringnya kami bertemu dalam berbagai kegiatan organisasi. Aku mulai melihat sisi lain dari Daniel, yang sebelumnya hanya aku kenal sebagai senior yang protektif terhadap Dinda. Ternyata, Daniel adalah orang yang cukup berpengaruh di kampus. Kini, dia menjabat sebagai Ketua IMM Universitas Muhammadiyah Cilacap, sebuah posisi yang membuatnya dihormati banyak orang. Selain itu, dia juga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi lainnya, seperti Hizbul Wathan dan Forum Mahasiswa Nasional.
Daniel adalah sosok pemimpin yang karismatik. Dia selalu mampu menghidupkan suasana dalam setiap pertemuan dan membawa ide-ide segar yang menginspirasi. Awalnya, aku merasa sedikit canggung berada di dekatnya, mengingat percakapan kami di malam keakraban beberapa waktu lalu. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai nyaman berbicara dengannya. Dia sering memberikan nasihat yang membantuku memahami dunia organisasi lebih dalam.
Suatu hari, IMM mengadakan kegiatan bakti sosial di salah satu desa terpencil di Cilacap. Aku dan Dinda ikut dalam rombongan yang berangkat pagi-pagi sekali menggunakan bus kampus. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam, tetapi suasana di dalam bus sangat meriah. Daniel, sebagai ketua IMM, duduk di depan bersama panitia lainnya. Dia terlihat sibuk dengan beberapa berkas, tetapi sesekali tersenyum dan melontarkan candaan untuk mencairkan suasana.
“Mas Alan, nanti bagian dokumentasi, ya,” kata Dinda saat kami tiba di lokasi. “Mas kan jago foto-foto.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Bos Dinda. Kalau fotonya jelek, jangan marah ya.”
Dinda tertawa. “Yang penting Mas serius. Mas Daniel juga pasti setuju, kan?” katanya sambil menoleh ke arah Daniel.
Daniel yang mendengar percakapan kami hanya tersenyum. “Alan, dokumentasi itu penting. Jadi, jangan asal-asalan, ya. Tapi aku yakin kamu bisa.”
Hari itu berjalan dengan lancar. Kami membantu membersihkan lingkungan, membagikan sembako, dan memberikan edukasi kepada anak-anak desa. Aku merasa bangga bisa menjadi bagian dari kegiatan yang bermanfaat seperti ini. Dinda juga tampak sangat menikmati perannya sebagai koordinator acara. Dia dengan cekatan mengatur semua hal, dari mengarahkan peserta hingga memastikan logistik tersedia.
Saat kegiatan hampir selesai, Daniel mendekatiku. “Alan, terima kasih sudah bantu banyak hari ini. Foto-fotomu bagus banget. Dokumentasinya nanti bisa kita pakai untuk laporan kegiatan.”
Aku tersenyum. “Sama-sama, Mas Daniel. Ini juga berkat arahan Dinda. Dia yang banyak bantu aku.”
Daniel mengangguk. “Dinda memang hebat. Tapi kamu juga jangan merendah. Aku lihat kamu punya potensi besar. Jangan ragu untuk lebih aktif di organisasi, ya.”
Ucapan Daniel membuatku tertegun. Selama ini, aku hanya mengikuti organisasi karena ajakan Dinda. Tetapi, perlahan, aku mulai merasa bahwa ini adalah sesuatu yang benar-benar ingin aku lakukan. Aku ingin belajar lebih banyak dan menjadi seseorang yang dapat memberikan dampak positif bagi sekitarku.
Selain IMM, aku juga mulai aktif di Hizbul Wathan. Organisasi ini lebih fokus pada kegiatan kepanduan dan kebangsaan. Aku belajar banyak hal baru, seperti cara memimpin kelompok, membuat keputusan cepat, dan bekerja sama dalam tim. Salah satu kegiatan yang paling aku nikmati adalah hiking. Suatu hari, Hizbul Wathan mengadakan pendakian ke Gunung Srandil sebagai bagian dari program pengembangan diri.
Pagi itu, aku bersama Dinda dan Daniel serta anggota Hizbul Wathan lainnya berkumpul di kaki gunung. Setelah berdoa bersama, kami mulai mendaki. Perjalanan cukup melelahkan, tetapi pemandangan alam yang indah membuat semuanya terasa sepadan. Dinda, seperti biasa, selalu berjalan di depan sambil sesekali menyemangati kami yang tertinggal.
“Ayo, Mas Alan, jangan kalah sama aku!” teriaknya sambil tertawa.
Aku hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. “Santai, Din. Aku kan menikmati pemandangan dulu.”
Dinda mendekatiku, menatapku dengan mata menyipit. “Mas Alan ini suka alasan ya. Kalau capek bilang saja, aku tungguin kok,” katanya sambil tersenyum jahil.
Daniel, yang berjalan di sampingku, menepuk pundakku. “Dinda itu memang nggak pernah kehabisan energi. Tapi kamu juga hebat, Alan. Nggak banyak yang mau terjun langsung kayak kamu.”
Aku mengangkat bahu sambil tersenyum. “Terima kasih, Mas. Tapi aku masih belajar banyak dari kalian semua.”
Pendakian itu menjadi salah satu momen tak terlupakan bagiku. Kami mencapai puncak saat matahari hampir terbenam, dan pemandangan dari atas gunung begitu memukau. Rasanya semua lelah terbayar lunas. Kami menghabiskan malam dengan berkemah di puncak, menikmati obrolan ringan di sekitar api unggun.
Dinda duduk di dekatku sambil menyeruput teh hangat. “Mas Alan, aku senang Mas mulai aktif di organisasi. Ternyata Mas bisa serius juga, ya?” katanya sambil tersenyum tipis.
Aku tertawa kecil. “Kamu ini gimana sih? Aku kan memang serius kalau urusan penting.”
“Tapi dulu Mas Alan kayak nggak tertarik apa-apa,” balasnya cepat. “Sekarang malah lebih rajin dari aku.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Kamu yang bikin aku berubah, Din. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku masih malas-malasan.”
Dinda tersipu. “Ah, Mas bisa saja. Tapi aku senang kok kalau Mas jadi lebih baik.”
Saat malam semakin larut, satu per satu dari kami mulai kembali ke tenda untuk beristirahat. Dinda yang duduk di dekat api unggun berdiri sambil meregangkan tubuhnya. “Aku mau balik ke tenda dulu, Mas. Udah ngantuk,” katanya sambil tersenyum kecil.
Aku mengangguk. “Oke, Din. Hati-hati ya jalannya.”
Namun, ketika Dinda mulai melangkah pergi, tiba-tiba kakinya tersandung sebuah akar yang mencuat dari tanah. Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke arahku. Refleks, aku langsung menangkapnya sebelum dia terjatuh sepenuhnya.
Dalam posisi itu, Dinda ada di pelukanku. Mata kami saling bertemu, begitu dekat hingga aku bisa melihat kilauan cahaya api unggun di matanya. Kami saling tatap dalam diam, seolah waktu berhenti sejenak.
“Cieeee... cieee...” suara teman-teman kami yang masih berada di sekitar api unggun membuyarkan momen tersebut. Mereka bersorak dan tertawa melihat kejadian itu.
Aku hanya tersenyum malu, sementara wajah Dinda langsung memerah. Tanpa berkata apa-apa, dia segera bangkit dan berlari menuju tendanya. “A-aku duluan ya!” katanya terbata-bata sebelum menghilang di balik tenda.
Aku hanya menggeleng, Setelah Dinda pergi teman-teman yang lain mulai meledeku. Aku hanya bisa tersenyum meladeni ledekan mereka yang tidak ada hentinya.