Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Malam itu, suasana rumah Alvin dan Meyra begitu hangat. Mereka baru saja selesai makan malam bersama Cessa, anak perempuan kecil yang ceria dan menjadi cahaya dalam kehidupan mereka. Tawa Cessa memenuhi ruang tamu, membuat kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Namun, ketenangan itu pecah ketika suara ketukan di pintu terdengar. Meyra, yang sedang membereskan meja makan, berjalan ke pintu dan membukanya. Di balik pintu, berdiri sepasang suami istri yang tak dikenal.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya Meyra dengan ramah namun sedikit heran.
Alvin, yang mendengar suara istrinya berbicara, berjalan menghampiri. "Siapa yang datang, sayang?" tanyanya sambil melirik tamu tak diundang itu.
Lelaki yang berdiri di depan pintu, dengan wajah penuh beban, menjawab, "Selamat malam. Bisakah kami masuk? Ada hal penting yang ingin kami sampaikan… tentang Cessa."
Mendengar nama Cessa disebut, dahi Alvin mengernyit. Ekspresi wajahnya berubah dingin seketika. "Ada apa?" tanyanya, suaranya terdengar berat.
Lelaki itu memperkenalkan dirinya, "Nama saya Romi. Saya… ayah kandung Cessa. Kami datang untuk mengambilnya."
Meyra terkejut. "Loh, kenapa? Anda siapa? Berani sekali ingin mengambil anak kami?" tanyanya, suara gemetar.
Alvin melangkah maju dan tanpa ragu menarik kerah baju Romi. "Bajingan!" bentaknya. "Kenapa baru datang sekarang? Kau ayah yang tak berguna!"
Meyra memandang mereka dengan bingung. "Apa maksudnya, Pa? Tolong jelaskan," ucap Meyra lirih, hampir tak sanggup berkata-kata.
Alvin menatap tajam Romi dan istrinya. "Pergi kalian dari rumah ini! Cessa anak kami."
Romi menatap Alvin dengan tenang. "Tolong pikirkan baik-baik. Kami akan datang lagi."
Pasangan itu pun pergi meninggalkan kebisuan yang menyesakkan di dalam rumah. Meyra terduduk lemas di sofa, tubuhnya gemetar. "Apa maksudnya, Pa? Aku bingung…"
Alvin menggandeng tangan istrinya dan membawanya ke kamar. Setelah mereka duduk, Alvin menarik napas dalam dan menatap Meyra dalam-dalam.
"Cessa bukan anak kandungku, Mey. Dia… hasil dari perselingkuhan Sarah, mantan istriku, dengan lelaki itu."
Meyra terbelalak, menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya mulai menggenang. "Kenapa bisa seperti itu… Pa, aku tidak mau Cessa pergi. Dia anak kita. Aku tidak sanggup kehilangan dia."
Tangis Meyra pecah. Alvin mendekapnya erat, berusaha menenangkan. "Tenang, sayang… Cessa tidak akan pergi. Walaupun Romi menunjukkan tes DNA, dia tidak punya hak atas Cessa. Dia tidak pernah muncul sebelumnya. Aku akan melindungi kalian."
Tangis Meyra perlahan mereda, kelelahan membuatnya tertidur dalam pelukan Alvin. Namun, Alvin sendiri tidak bisa tidur. Malam itu ia hanya duduk di tepi ranjang, memandangi wajah istrinya yang damai dalam tidur.
Ketika pagi tiba, Meyra terbangun dan melihat Alvin masih menatapnya. "Papi tidak tidur semalam?" tanyanya lembut sambil menyentuh pipi Alvin.
Alvin tersenyum tipis. "Lagi ingin melihat wajahmu saja."
Meyra menghela napas, bangkit dari tempat tidur. Namun Alvin menahannya dan menariknya ke dalam pelukan hangat. "Pagi ini papi yang beli sarapan. Mommy jangan repot. Hari ini papi mau lebih lama memeluk istri papi."
Meyra tersenyum kecil, meski hatinya masih menyimpan kecemasan tentang Romi dan ancamannya.
---
Hari demi Hari, Kebahagiaan yang Tak Terusik
Hari-hari berlalu, dan meski bayang-bayang Romi masih menghantui, Alvin dan Meyra berusaha mengisi rumah mereka dengan kebahagiaan. Alvin semakin sering meluangkan waktu untuk Cessa. Mereka bermain di taman, membaca buku sebelum tidur, dan menghabiskan akhir pekan bersama.
Meyra merasa cinta Alvin kepada Cessa begitu tulus. Ia tidak melihat ada perbedaan dalam cara Alvin memperlakukan Cessa meskipun ia bukan anak kandungnya. Cessa tetaplah putrinya, cahaya dalam hidupnya.
Suatu sore, Alvin membawa Cessa bermain layang-layang di taman dekat rumah. Meyra hanya tersenyum melihat keduanya tertawa.
"Mommy! Lihat, layangannya terbang tinggi!" seru Cessa dengan gembira.
Meyra mengangguk. "Cessa hebat, sayang!"
Alvin mendekat, merangkul bahu Meyra. "Lihat mereka. Bagaimana aku bisa melepaskan kebahagiaan ini, Mey?"
Meyra menggenggam tangan suaminya erat. "Kita tidak akan pernah melepaskannya, Pa. Cessa milik kita."
Malam itu, setelah Cessa tertidur, Meyra dan Alvin duduk di ruang tamu.
"Pa, aku masih takut Romi akan kembali," ujar Meyra pelan.
Alvin menarik napas panjang. "Biarkan saja kalau dia datang. Aku tidak akan menyerahkan Cessa begitu saja. Dia tidak pernah hadir di hidup Cessa. Aku lah yang selalu ada untuknya."
Meyra menatap suaminya dengan kagum. Baginya, Alvin bukan hanya seorang suami yang baik, tetapi juga ayah yang luar biasa.
Beberapa minggu kemudian, Romi benar-benar datang lagi. Kali ini, dia tidak datang dengan kemarahan, melainkan dengan kerendahan hati.
"Alvin, aku tidak ingin merebut Cessa. Aku hanya ingin meminta maaf dan… jika diizinkan, aku ingin sesekali bertemu dengannya," ujar Romi dengan suara bergetar.
Alvin memandang Romi lama. "Aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Tapi aku akan bicara dengan Meyra."
Malam itu, Alvin dan Meyra berdiskusi panjang. Alvin tahu bahwa memisahkan Cessa dari masa lalunya bukanlah solusi terbaik.
Keesokan harinya, Alvin mengajak Romi bertemu di taman tempat ia dan Cessa sering bermain. Romi melihat Cessa dari kejauhan, dan air matanya jatuh.
"Cessa sudah bahagia dengan keluarga kami, Romi. Aku harap kau bisa menghargainya," ucap Alvin dengan tegas.