Reffan Satriya Bagaskara, CEO tampan yang memiliki segalanya untuk memikat wanita. Namun, sejak seorang gadis mengusik mimpinya hampir setiap hari membuat Reffan menjadikan gadis dalam mimpinya adalah tujuannya. Reffan sangat yakin dia akan menemukan gadis dalam mimpinya.
Tanpa diduga terjebak di dalam lift membuat Reffan bertemu dengan Safira Nadhifa Almaira. Reffan yang sangat bahagia sekaligus terkejut mendapati gadis dalam mimpinya hadir di depannyapun tak kuasa menahan lisannya,
“Safira…”
Tentu saja Safirapun terkejut namanya diucapkan oleh pria di depannya yang dia yakini tidak dikenalnya. Reffan yang mencari dan mengikuti keberadaan Safira di hotel miliknya harus melihat Bagas Aditama terang-terangan mendekati Safira.
Siapakah yang berhasil menjadikan Safira miliknya? Reffan yang suka memaksa atau Bagas yang selalu bertindak agresif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisy Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang yang Sama
Berada di ruang perawatan sendirian dan tanpa smartphone membayangkannya saja pasti membosankan dan hal itulah yang dialami Safira saat ini. Safira menikmati makan malam di dalam kamarnya sendirian, sejak keluar tadi Reffan belum kembali. Safira benar-benar seperti orang yang dikurung, tidak bisa kemana-mana dan tidak bisa menghubungi siapapun. Dikurung dengan fasilitas hotel dan makanan enak, sampai kapan? Hanya Tuhan dan Reffan yang tahu.
“Kemana ya dia, apa dia marah? Ah, kenapa aku peduli bukankan tidak ada dia lebih menyenangkan. Lebih baik sendirian di sini daripada di awasi sepasang mata elang.”
Safira tersenyum sendiri, tangannya masih sibuk menyuapkan makanan ke mulutnya. Tidak butuh waktu lama untuk memindahkan makanan ke mulutnya karena selain dia lapar makanan di depannya juga sangat enak. Sejak kapan ada steak daging dalam menu rumah sakit. Safira tersenyum lagi, “Reffan, kejutan apa lagi yang menantiku? Semoga tidak benar-benar mengejutkanku.” Senyum indah yang terukir di wajah cantiknya tiba-tiba menghilang. Sekarang hati Safira diselimuti kekuatiran, dia menyadari orang yang baru ditemui beberapa hari ini sanggup melakukan apapun yang tidak ada dalam pikirannya.
Safira meletakkan nampan berisi piring kosong ke atas nakas kemudian meminum obat yang sudah disediakan, nyeri di tubuhnya memang masih terasa karena memar dan bengkaknya juga masih belum hilang. Sekali lagi Safira menoleh ke pintu ada perasaan aneh memercik di hatinya entah rasa kuatir atau yag lain, Safira tidak ingin memastikannya. Dilihatnya jam dinding, jarum pendeknya sudah menunjukkan angka delapan. Safira bingung harus melakukan apa, dipandangi televisi di hadapannya, tapi dia tidak ingin menonton televisi yang baru dimatikannya satu jam yang lalu. Akhirnya dia menarik selimut sampai lehernya dan menyamankan posisinya untuk tidur.
“Aku bisa gemuk kalau habis makan langsung tidur gini, biarlah hanya di sini memang apalagi yang bisa aku lakukan.” Wajahnya tersenyum dan matanya mulai terpejam, lima menit kemudian Safira sudah terlelap sangat nyenyak.
Safira tidur sangat nyenyak dan tidak menyadari pintu kamarnya terbuka, seorang pria dengan badan tegap masuk dan menutup pintunya kembali. Sesuai dugaannya Safira pasti sudah tidur, langkahnya mengarah ke tempat tidur Safira dan sekarang dia sudah berada di samping kanan Safira memandangi wajah terlelap di depannya. Hanya wajahnya yang terlihat karena Safira menarik selimut hingga ke lehernya dan lagi hijabnyapun terus melekat di kepalanya.
Reffan memang sengaja kembali ke kamar setelah menduga Safira sudah terlelap karena tidak ingin mendengar Safira memohon lagi padanya.
Bibir Reffan tertarik membentuk senyum di wajahnya menyaksikan pemandangan seorang gadis tidur dengan sangat lelap, “Kamu cantik Safira, tanpa make up pun kamu cantik dan hatiku terasa nyaman memandanginya. Seandainya saja aku bisa menyentuhmu.” Reffan mengusap wajahnya kasar, mencoba menghilangkan keinginan dalam pikirannya yang sudah tersalurkan ke tangannya. Tangannya begitu ingin menyentuh Safira, namun ditahannya. Dia tak ingin membuat Safira marah. Safira pasti sangat marah jika dia sampai menyentuhnya dan kemarahan Safira akan merusak rencana yang sudah disusunnya. Tangan kanannya menyentuh dadanya yang bergemuruh, seolah mencoba menenangkan dengan menyentuhnya.
“Bersabarlah Reffan!” Reffan menghembuskan nafas kasar kemudian melangkah membelakangi Safira menuju sofa. Dihempaskannya tubuhnya ke sofa, Reffan harus menahan diri tidak berlama-lama memandangi Safira, karena memandanginya hanya akan membuat keinginan untuk memiliki semakin kuat.
Reffan mengeluarkan handphone Safira dari sakunya. Dilihatnya ada beberapa pesan dari aplikasi hijau yang masuk. Matanya fokus mengarah pada pesan dari satu-satunya laki-laki yang belum terbaca, Bagas. Telunjuk Reffan menyentuh nama itu membuat rentetan kalimat yang dikirim Bagas terlihat olehnya.
Assalamu’alaikum Safira
Sekarang lagi ada dimana? Bersama siapa?
Safira. Lagi dimana sih kenapa tidak membuka pesan
-panggilan tak terjawab-
Safira
Kamu baik-baik saja?
Ira bilang dia juga tidak bisa menghubungimu.
Safira kamu dimana? Aku di depan rumahmu tapi lampunya tidak menyala.
Kamu tidak ada di rumah? Dimana?
-panggilan tidak terjawab-
Ting – pesan masuk
Akhirnya kamu online juga
Angkat telponku ya
Ponsel Safira bergetar. Panggilan masuk
Reflek Reffan menggeser tombol menolak panggilan
Kenapa gak diterima Safira
Kamu dimana?
Dalam hati Reffan tertawa karena membuat Bagas sangat kuatir dan tidak bisa melakukan apapun.
Namun Reffan berfikir sejenak, dia harus membuat teman-teman Safira tidak cemas agar tidak mencari Safira. Jarinya kemudian mengetik sesuatu di kolom chat bertuliskan nama Ira
Ira, aku baik-baik saja
Sekarang lagi belum bisa telpon nanti aku kabarin lagi ya.
Oh ya tolong kabarin Bagas juga aku baik-baik aja.
Reffan tersenyum, dengan begini teman-teman Safira tidak akan bingung mencari Safira. Besok dia tinggal menyuruh Bayu untuk mengatur izin ke kantor Safira.
Reffan mulai merebahkan kepalanya ke sofa, lelah menusuk raganya namun wajahnya kembali menatap Safira, wajah yang bersinar dalam pencahayaan lampu tidur, wajah yang membuatnya damai namun di saat bersamaan membuat debar di dadanya tak terkendali.
"Safira, tunggulah saat aku bisa menyentuh wajahmu itu. Sampai saat itu tiba aku tidak akan memberikan celah sedikitpun kau menjauh dariku."
Akhirnya keduanya terlelap dalam ruang yang sama, ruang yang hening tak ada kata dan suara hanya ada senyum manis tersimpul di kedua insan yang hanya mereka yang tahu mimpi apa yang membawanya saat ini.
Safira membuka mata, mencari bayangan jam dinding yang bisa memberi tahu waktu untuknya.
“Sudah jam tiga lebih.” Kelopak matanya berkedip-kedip mengusir kantuk yang masih bergelantungan di kelopak matanya. Namun saat menangkap bayangan seseorang rasa kantuknya lenyap seketika, seorang laki-laki tertidur dengan nyenyak di sofa yang nyaman.
“Ah Reffan jadi semalam dia tidur di sini juga. Ya Allah, apa kata dunia Safira tidur satu ruangan dengan laki-laki yang bukan muhrim.” Tubuhnya seketika jadi merinding, dipeluknya tubuhnya sendiri, wajahnya benar-benar frustasi. Safira begitu menjaga diri dan kehormatannya, dia tidak pernah berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrim dan sekarang dia bermalam dalam satu ruangan dengan Reffan.
Tubuhnya yang terasa nyeri dipaksanya turun, Safira ingin ke kamar mandi, satu-satunya ruangan yang tak bisa melihat dan dilihat Reffan. Safira memeluk tubuhnya lagi di depan cermin, meremas lengannya. Merasakan nyeri yang semakin menjalar di tubuhnya. Safira lupa meremas lengannya yang masih bengkak, kini bukan hanya pikirannya yang kalut tubuhnyapun menegang.
Safira masih memandang bayangan wajahnya di depan cermin. “Ini yang terakhir! Aku harus pergi dari sini hari ini juga, aku harus tegas padanya. Reffan tidak boleh memaksaku seperti ini, dia bukan siapa-siapa yang bisa menahanku di sini.” Safira menelungkupkan telapak tangannya ke wajahnya sambil menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba mengalirkan kekuatan dan keberanian untuk mengakhiri belenggu Reffan hari ini juga. Safira sudah memutuskan hari ini juga dia akan keluar dari rumah sakit ini. Kemudian dia mengambil air wudhu, lalu keluar dari kamar menggelar sajadahnya tanpa sedikitpun melihat ke arah Reffan.
Safira tidak menyadari sepasang mata elang sudah terbangun dan memperhatikan gerak gerik dalam solatnya. Reffan tersenyum menatap bagian belakang tubuh gadis yang dibalut mukena putih yang seakan bersinar dalam ruangan yang hanya diterangi lampu tidur. Selalu saja ada kedamaian yang menjalar di hati Reffan saat menatap Safira. Semalam Reffan memang sengaja keluar menghindari Safira agar tidak berdebat dengan Safira, dia baru kembali setelah merasa Safira sudah tidur.
Reffan berdiri dari sofa tempatnya tidur semalam menuju ke arah pintu. Dia memilih untuk keluar ke mushola dan menunggu adzan subuh di sana. Safira yang mendengar suara pintu di tutup tidak bisa menghentikan rasa pensarannya, diapun menoleh ke sumber suara dan sofa tempat Reffan berbaring tadi. “Dia pergi.” Gumam Safira di dalam hatinya.
Ada dua rasa hinggap di hati Safira, rasa yang saling bertolak belakang. Safira merasa senang Reffan keluar tapi ada rasa penasaran juga di hatinya kemana Reffan, apakah Reffan menghindari bertatap langsung dengannya, karena tadi malampun dia pergi dan kembali setelah Safira terlelap. Dan saat ini dia pergi saat Safira sudah terjaga.
“Ah, apapun itu aku harus mengakhiri hari ini juga!” Safira sudah bertekad di dalam hatinya.
secara pasangan menikah itu halal tp BKN muhrim jd ttp membatalkan wudhu...
pasal 2 boss salah, kembali ke pasal 1
wkwkwkwk
makasi yaa....
sukses terus utk outhorx semangat selalu utk berkarya lbh baik lg
next kisah anak² reffan lagi ya thor😁
Terimakasih semua sudah mendukung dan membaca hingga akhir.
Sempetin nengok novel Jejak di Pipi Membekas di Hati ya 😉