Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Gosip yang Menyebar
Hawa, yang biasanya tenang, merasa seluruh perhatian tertuju padanya saat Malika menatapnya penuh selidik. Bahkan Nikki, yang biasanya hanya sibuk dengan urusannya sendiri, terus berbisik kepada Emma, seolah merencanakan sesuatu.
Suasana di restoran terasa sunyi meski dipenuhi pelanggan. Hawa duduk dengan gugup di kursinya, dikelilingi oleh orang-orang yang terlihat penasaran. Malika, duduk di seberangnya, menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap dengan alis terangkat.
“Hawa, aku nggak tahu kamu dan Tuan Harrison sudah sedekat itu. Jadi, apa sebenarnya hubungan kalian?” tanya Malika, nada suaranya setengah menggoda namun penuh rasa ingin tahu.
Hawa menunduk, mencoba mencari jawaban yang tepat. “Tidak ada hubungan apa-apa, Kak. Aku hanya membantu menjaga Emma selama ini, itu saja.”
“Tapi kalau cuma itu, kenapa Emma sampai minta kamu jadi ibunya?” lanjut Malika, kali ini dengan nada lebih serius.
Hawa membuka mulut untuk menjawab, tapi Harrison tiba-tiba menyela. “Emma masih kecil. Dia hanya merasa nyaman dengan Hawa. Itu tidak berarti lebih dari itu.”
Namun, jawaban itu tidak memuaskan Malika. “Kamu yakin, Tuan Harrison? Karena Emma sepertinya serius. Bahkan Nikki saja mendukung ide itu.”
Di sudut meja, Nikki tersenyum lebar sambil melirik Emma, yang hanya mengangguk penuh keyakinan. “Aku setuju, Tante Hawa cocok jadi mamanya Emma,” ujar Nikki polos, membuat suasana semakin panas.
“Cukup,” ujar Hawa akhirnya, mencoba mengendalikan situasi. “Kak Malika, ini semua hanya salah paham. Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Tuan Harrison, dan aku rasa ini nggak perlu dibesar-besarkan.”
“Tapi kamu nggak menolak juga, kan?” tanya Malika, mencoba memancing lagi.
Hawa terdiam. Jawaban itu tidak mudah baginya. Ia tahu betapa Emma menyayanginya, tapi situasi ini lebih rumit dari yang terlihat.
***
Saat kembali ke mansion Harrison, suasana di mobil terasa lebih tenang, tapi juga penuh dengan pikiran masing-masing. Nikki terus berbisik kepada Emma, menyusun rencana untuk langkah berikutnya.
“Kak Hawa pasti setuju, Emma. Kita tinggal cari waktu yang tepat,” bisik Nikki.
Emma mengangguk penuh semangat, membuat Hawa hanya bisa tersenyum kecil tanpa mengetahui apa yang mereka rencanakan.
Setelah sampai, Hawa menidurkan Emma di kamar. Gadis kecil itu memeluk Hawa erat sebelum tidur, seolah takut kehilangannya. “Kak Hawa, jangan pergi, ya. Aku ingin Kak Hawa di sini terus,” gumam Emma sebelum akhirnya terlelap.
Hawa mengelus rambut Emma dengan lembut. “Kak Hawa selalu ada untukmu, Sayang. Tidur yang nyenyak, ya.”
Ketika Hawa keluar dari kamar, ia mendapati Harrison menunggunya di ruang tamu. Pria itu terlihat lelah, namun tetap berdiri tegap, seperti sedang berusaha menyusun kata-kata.
“Hawa, aku ingin minta maaf atas kelancangan Emma tadi,” ujar Harrison akhirnya. “Dia masih kecil, dia belum paham kalau ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan.”
Hawa tersenyum tipis, mencoba menenangkan pria itu. “Tidak apa-apa, Tuan Harrison. Aku paham Emma hanya mengatakan apa yang dia rasakan.”
“Tapi aku juga tidak ingin kamu merasa terbebani. Aku tahu ini tidak mudah untukmu, terutama dengan gosip yang mulai menyebar,” lanjut Harrison, nadanya penuh penyesalan.
Hawa menggeleng pelan. “Aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Tapi aku harap, Emma tidak terlalu kecewa jika keinginannya tidak terpenuhi.”
Harrison menatap Hawa dengan intens, seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya hanya mengangguk. “Terima kasih, Hawa. Untuk semuanya.”
***
Sementara itu, di rumah keluarga Harper, suasana tidak kalah tegang. Malika menceritakan semua yang terjadi di restoran kepada suaminya, sementara Dylan Harper, ayah Hawa, hanya bisa terdiam mendengarkan.
“Jadi, Hawa benar-benar dekat dengan pria itu? Sampai anaknya meminta dia jadi ibunya?” tanya Dylan, wajahnya tampak syok.
Tamara, ibu Hawa, mencoba menenangkan suaminya. “Pa, jangan langsung berpikir yang tidak-tidak. Kita belum dengar penjelasan dari Hawa. Dia anak yang bijaksana, dia tidak akan melakukan sesuatu yang melukai keluarga kita.”
“Tapi, Ma, ini bukan masalah kecil! Kalau memang Hawa serius, dia harus memberi tahu kita,” ujar Dylan dengan nada tegas.
Malika, yang duduk di dekat mereka, hanya mengangguk setuju. “Aku juga penasaran, Ma. Selama ini, Hawa selalu menutup diri soal hubungan. Tapi sekarang, tiba-tiba ada anak kecil yang minta dia jadi ibu. Ini pasti ada sesuatu.”
Tamara menghela napas panjang. “Kita tunggu Hawa pulang. Dia pasti akan menjelaskan semuanya. Mama yakin dengannya, Pa.”
Pagi harinya, suasana mansion Harrison lebih tenang. Emma masih tidur nyenyak setelah malam yang melelahkan, sementara Hawa sudah bersiap-siap untuk kembali bekerja di rumah sakit.
Namun, sebelum Hawa sempat pergi, ponselnya berbunyi. Nama papanya, Dylan Harper, muncul di layar. Hawa menjawab dengan hati-hati.
“Hawa, pulanglah malam ini. Kita perlu bicara,” suara Dylan terdengar tegas di seberang telepon.
Hawa merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia hanya mengiyakan. “Oke, Papa. Aku akan pulang setelah selesai kerja.”
Malam itu, Hawa pulang ke rumah keluarganya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu topik pembicaraan yang akan mereka bahas, dan ia tidak yakin apa yang harus ia katakan.
Di ruang makan, seluruh keluarga sudah berkumpul. Malika menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya, sementara Dylan dan Tamara terlihat serius.
“Hawa,” mulai Dylan, “Kami dengar tentang apa yang terjadi kemarin. Kamu tahu, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Jadi, kami ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara kamu dan Harrison Noah?”
Hawa menatap mereka satu per satu, mencoba menemukan cara untuk menjelaskan situasinya tanpa menimbulkan salah paham.
“Papa, Mama, Kak Benji,” ucap Hawa akhirnya, “Tidak ada apa-apa antara aku dan Tuan Harrison. Emma hanya anak kecil yang merasa nyaman dengan saya. Itu saja. Tidak seperti yang Kak Malika bilang.”
“Tapi dia bilang ingin kamu jadi ibunya,” sela Malika, nada suaranya penuh skeptis.
Hawa menghela napas. “Itu hanya permintaan polos dari seorang anak yang merindukan sosok ibu. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu.”
Dylan menatap putrinya dengan tajam, mencoba membaca ekspresinya. “Kamu yakin tidak ada yang kamu sembunyikan dari kami, Hawa?”
Hawa mengangguk tegas. “Aku tidak akan melakukan sesuatu tanpa memberi tahu keluarga. Aku tahu posisiku disana, Pa. Jika nanti ada lelaki yang menginginkanku jadi istrinya, pasti Papa dan Mama adalah orang yang pertama yang tahu.”
Tamara tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Kita percaya padamu, Hawa. Tapi tolong, kalau ada sesuatu, jangan ragu untuk bicara dengan kami.”
Hawa mengangguk lagi, merasa sedikit lega. Namun, ia tahu pembicaraan ini belum benar-benar selesai.
Di sudut pikirannya, ia juga mulai bertanya-tanya tentang perasaannya sendiri terhadap Harrison dan keluarganya. Mungkinkah ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan membantu? Atau ini hanya ilusi yang diciptakan oleh kedekatannya dengan Emma?
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya buat kasih like dan komentarnya.
Terima kasih.