Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 02 - Selepas Akad
Selepas kata akad Sean tegaskan beberapa jam lalu, Zalina masih terus meratapi hidupnya. Dia menatap sendu sebuah cermin yang memperlihatkan seberapa menyedihkan dirinya.
Impiannya untuk menjadi istri ustadz Irham pupus sudah, jawaban atas doa Zalina selama ini tampaknya berganti sekejap mata. Tuhan maha membolak-balikan hati hamba-Nya. Meski nyerinya masih terasa, tapi Zalina sama sekali tidak bisa memaksa.
"Mohon maaf sekali, Kiyai ... pernikahan ini kita batalkan saja, putri Anda telah ternoda dan dalam silsilah keluarga kami pantang menerima seorang wanita bekas pria lain."
Sakit, tutur kata Bramanto masih terbayang begitu jelas di telinga Zalina. Pernikahan yang hanya menghitung hari batal semudah itu, pria asing dengan pakaian yang lebih pantas disebut pembunuh bayaran menghancurkan mimpi Zalina dalam waktu kurang dari 24 jam.
"Buang mimpimu untuk menjadi istri putraku ... wanita murahan sepertimu memang cocok dengan berandal seperti dia."
Zalina ikhlas menerima, mau tidak mau memang harus begitu. Namun, air matanya tidak dapat berbohong dan terus mengalir hingga menetes dari dagunya. Wajah kecewa Irham masih terbayang jelas, dan hal itu membuat Zalina turut kecewa pada dirinya sendiri.
Tangisan pilu Zalina tertangkap juga oleh seseorang yang kini berdiam diri di depan pintu kamar. Sudah lima belas menit Sean berdiri di sana, bingung dan dia kembali merasa bersalah.
Menyesal? Entahlah, Sean juga bingung sendiri. Sejujurnya dia siap-siap saja dilaporkan ke pihak berwajib, kecil kemungkinan Sean mendekam di penjara karena memang dia tidak merasa bersalah.
Namun, yang justru berusaha keras agar Sean jangan sampai berurusan dengan pihak berwajib adalah keluarganya, terutama Zean. Hingga, terpaksa pernikahan menjadi jalan tengah yang harus Sean jalani.
Sementara dia akan memberikan waktu lebih dulu untuk Zalina menangisi takdirnya. Ya, walau sebenarnya Sean juga perlu menangis karena dia korban juga. Hingga, dia memutuskan mendorong pintu itu perlahan kala Suara tangis sang istri tidak lagi terdengar.
.
.
Tatapan Sean sejak tadi tertuju padanya, dia bisa menangkap gerak-gerik Zalina yang tampak mengusap kasar air mata kala dirinya mendekat. Apalagi, dari pantulan cermin terlihat jelas bagaimana wajah sang istri yang tampak sembab itu.
"Ehem, aku ingin bicara."
"Si-silahkan, Mas."
"Mas?"
Sean menggigit bibir mendengar panggilan itu, matanya kini terpejam sebelum kemudian mengusap wajahnya kasar. Hanya karena panggilan, entah kenapa dia gusar sendiri.
"Sean saja."
"Apa sopan hanya Sean saja?" tanya Zalina yang kini memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya.
"Hm, aku tidak terbiasa ... selain itu, tidak cocok dengan namaku," jawab Sean kemudian mengalihkan pandangan.
Zalina hanya mengangguk pelan mendengar alasan Sean. Mungkin memang dirinya yang terlalu kampungan, pikir Zalina yang paham jika Sean bukan orang biasa.
"Oh iya, tadi mau bicara apa ya?" tanya Zalina memecah keheningan yang mendadak tercipta di antara mereka. Entah karena Sean yang lupa, atau karena dia menunggu Zalina bertanya.
"Maaf, aku membuatmu berada di posisi sulit."
Sadar betul bagaimana imbas dari tindakannya. Pernikahan yang dibatalkan sepihak, kekecawaan orang tuanya, caci makin dan hinaan serta kebencian keluarga Zalina terlihat jelas di mata Sean.
Meski dia tidak memiliki niat jahat, tapi pada akhirnya imbas dari tindakan Sean membuat wanita ini benar-benar buruk. Bahkan, tuduhan bahwa Zalina telah hamil anak Sean mereka lontarkan tanpa khawatir akan menyakiti Zalina atau tidak.
"Tidak masalah, kau juga korban di sini," ucap Zalina merasakan sesak seolah terdapat bongkahan batu besar tetap di dadanya.
"Tidak, aku pelakunya. Benar kata mereka ... harusnya kau menikah dengan laki-laki itu, tapi aku mengacaukan semuanya."
Bukan hal mudah bagi Zalina kala mimpinya menjadi istri Irham harus terkubur dalam-dalam. Pria itu cinta pertamanya, dia menyukai Irham jauh sebelum rencana perjodohan kedua orang tua mereka terjadi.
Sungguh, sama sekali dia tidak menyangka bahwa cinta dalam diam yang hampir saja bersatu dalam ikatan halal hancur secepat itu. Zalina ingat betul bagaimana Irham turut menatap jijik padanya, terlalu sakit dia mengingat itu tangis Zalina pecah tepat di hadapan Sean.
Sean tidak salah lihat, istrinya tengah menangisi pria lain. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak karena jika posisi mereka berbalik, mungkin Sean akan gila.
Dia yang selalu tidak tega melihat perempuan menangis, sontak merengkuh tubuh Zalina yang rapuh. Tidak peduli sekalipun tangisan itu untuk pria lain, Sean tetap harus bertanggung jawab atas luka yang dia ciptakan.
"Menangislah, atau jika ingin marah padaku lakukanlah ... aku penyebab utamanya."
Tidak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini. Meski Zalina kehilangan segalanya, bahkan dituduh telah ternoda, tapi dia yakin betul bahwa Sean sama sekali tidak mejamah tubuhnya ketika dia masih dalam keadaan terpejam malam itu.
"Kenapa mas Irham tidak percaya padaku? Dia bahkan menuduhku telah berzina sampai hamil, kenapa, Mas?"
Selang beberapa saat Zalina meratap seolah tengah berada dalam pelukan Irham, tapi dia lupa jika saat ini tengah berada dalam pelukan Sean. Entah kenapa, dia merasa tersayat, padahal wajar saja jika Zalina menangisi pria itu.
"Jangan khawatirkan soal itu, aku tidak akan menyentuhmu ... jika suatu saat dia memintamu kembali, maka kau bisa pergi dalam keadaan masih suci, Zalina."
Deg
Baru Zalina sadar, dia membuka mata dan benar saja yang saat ini memeluknya adalah Sean, pria asing yang dengan lantangnya mengucapkan sighat akad tanpa tersendat.
"Maaf, bu-bukan begitu maksudku."
"Seseorang yang meracau biasanya jujur, aku tidak becanda ... kau jangan khawatir, aku tidak akan menjeratmu dalam pernikahan ini. Jika kau ingin kembali mencari imammu dan pria itu menerimamu. Kau boleh pergi, Zalina."
Mungkin karena belum ada cinta, yang Sean lihat saat ini baru tanggung jawab. Terlebih lagi, kala dia menyaksikan wanita ini tampak tersiksa berpisah dengan cintanya.
"Kenapa begitu? Bukankah saat ini kau sudah menjadi imamku?"
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." Sean tersenyum getir seraya menyeka air mata Zalina untuk kesekian kalinya.
.
.
- To Be Continue -