FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Yang gak kuat skip aja!! Bukan novel tentang poligami ya, tenang saja.
Pernikahan sejatinya terjadi antara dua insan yang saling mencinta. Lalu bagaimana jika pernikahan karena dijodohkan, apa mereka juga saling mencintai. Bertemu saja belum pernah apalagi saling mencintai.
Bagaimana nasib pernikahan karena sebuah perjodohan berakhir?
Mahira yang biasa disapa Rara, terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan almarhum kakeknya bersama temannya semasa muda.
Menerima takdir yang sang pencipta berikan untuknya adalah pilihan yang ia ambil. Meski menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.
Namun, Rara ikhlas dengan garis hidup yang sudah ditentukan untuknya. Berharap pernikahan itu membawanya dalam kebahagiaan tidak kalah seperti pernikahan yang didasari saling mencintai.
Bagaimana dengan Revano, apa dia juga menerima perjodohan itu dan menjadi suami yang baik untuk Rara atau justru sebaliknya.
Tidak sa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Menunggu Hingga Lelah
°°°
Rara menunggu diparkiran setelah ia selesai dengan mata kuliahnya, dia tidak tau di mana kelas suaminya dan jam berapa ia pulang.
Salahku kenapa tidak bertanya tadi.
Huft, Rara menghela nafas.
"Hai, kau menunggu siapa?" tanya Lia yang baru tiba diparkiran.
"Ohh, itu... sepupuku."
Rara tidak ingin berbohong, tapi ia juga tidak ingin mengumbar aib suaminya yang nyatanya sudah menikah tapi masih mempunyai kekasih.
"Apa dia kuliah disini juga?"
Rara mengangguk.
"Apa masih lama, biar aku temani. Bisa gawat kalau gadis cantik duduk sendirian, banyak kumbang-kumbang yang suka sekali dengan bunga yang cantik." Lia terkekeh sendiri dengan kalimat yang baru saja ia ucapkan.
Sementara Rara tidak mengerti apa maksud teman barunya itu, hanya menatap datar.
Lia itu teringat kehebohan di kelasnya tadi saat Rara memperkenalkan diri. Semua laki-laki dikelas menatapnya penuh ingin, tapi sayang gadis itu mengabaikan mereka. Saat itulah Lia mengagumi sosok Rara, kecantikan tidak membuatnya menjadi sombong dan suka tebar pesona.
"Apa yang lucu Lia?" Rara mengerutkan keningnya melihat Lia cekikikan sendiri.
"Ehhh... tidak, hehehe..." jawab Lia memamerkan deretan giginya.
"Kau itu, aneh sekali."
Ternyata Revan tidak kunjung datang hingga Rara menunggu hampir satu jam lamanya. Untunglah ada teman barunya yang menemani, kalau tidak banyak laki-laki yang sedari tadi mencoba menggodanya. Lia yang berani dan sedikit ajaib mengusir mereka semua dengan caranya.
"Jam berapa sepupumu selesai kuliah, Ra?"
Hari semakin siang dan Lia harus segera pergi ke tempatnya berkerja paruh waktu, tapi ia tidak tega jika meninggalkan Rara sendirian.
"Aku tidak tau, tadi aku lupa bertanya padanya." Rara sebenarnya juga merasa tidak enak pada temannya karena harus ikut menunggu karenanya.
"Kenapa kamu tidak menelepon nya untuk bertanya."
"Aku tidak punya nomor teleponnya," ujar Rara menunduk.
"Bagaimana bisa kau tidak mempunyai nomor telepon saudaramu. Apa kalian tidak akur." Lia mencoba menebak.
"Tidak, tidak, kami baik-baik saja hanya saja tidak terlalu akrab karena selama ini kami hidup berjauhan. Aku di desa bersama orang tuaku."
"Ya ampun, tapi bertukar nomor telepon itu kan penting Ra. Seperti tadi saat tersesat, dengan mudah kamu bisa menemukan jalan jika menelepon saudara mu itu. Kamu bisa meneleponnya jika dalam keadaan darurat."
"Maaf, aku tidak berpikir sampai kesitu. Apa yang harus aku lakukan sekarang, aku pun juga tidak tau dia di mana."
Rara panik, ada rasa takut sedikit di hatinya. Bagaimana kalau ternyata suaminya itu sudah pulang.
"Tenang Ra, tidak apa-apa ada aku disini. Coba kamu katakan siapa nama sepupumu mungkin aku mengenalnya."
"Namanya Revan...," ujar Rara.
"Revano?" Lia membulatkan matanya, setau dia hanya ada satu Revano di kampus ini.
"Iya apa kamu mengenalnya?"
"Tentu saja kenal, eh tidak maksudnya aku tau dia jika benar itu Revan yang sama dengan idola kampus ini karena dia cukup terkenal."
"Benarkah." Rara tidak terkejut mendengarnya karena memang suaminya itu tampan pasti banyak yang tertarik padanya. Hal itu yang mungkin membuatnya menjadi idola di kampus itu.
,,,
"Sayang, hari ini kamu anterin aku pulang ke rumah kan seperti biasa."
Febby ternyata tidak beranjak sedikitpun dari Revan sejak di kelas tadi, bahkan dia bolos dari kelasnya.
"Hmmm..." jawab Revan sekenanya, toh ia juga tidak bisa menolaknya. Sudah jadi rutinitas jika pulang kuliah mereka akan pulang bersama sejak resmi berpacaran.
"Apa perempuan itu juga pulang bersama?" Febby ingin memastikan jika istri dari kekasihnya itu pulang bersama atau tidak, kalau tidak tentu Febby senang kalaupun ada ini kesempatan untuk menunjukkan jika Revano adalah miliknya.
Revan hanya mengedipkan bahunya, ia sendiri tidak tau Rara menunggunya atau tidak. Tadi dia lupa tidak memberi tau jam berapa ia selesai kuliah.
Sepanjang perjalanan menuju parkiran Febby terus menempel pada Revan.
"Ra, apa itu sepupumu?" ujar Lia yang melihat Revan berjalan kearah parkiran.
Rara pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh temannya, suaminya berjalan dengan seorang gadis yang menempel padanya. Mungkin itu adalah kekasih yang dimaksud oleh suaminya waktu itu.
Revan yang melihat keberadaan Rara sebenarnya ingin menjauhkan Febby dari tubuhnya, tapi gadis itu semakin mengeratkan pelukan di lengannya. Sampai di depan Rara, mereka masih saja menempel.
"Kau sudah lama menunggu?" tanya Revan pada istrinya.
"Sudah hampir dua jam kami menunggu Kak, sebaiknya Kakak bilang pada Rara agar dia bisa pulang duluan. Ya kan Ra?"
Lia ikut kesal pada Revan padahal dia tidak tau jika Rara adalah istrinya, mungkin dia kesal karena wanita yang ada bergelayut di lengan pria itu.
"Maaf," ujar Revan menatap istrinya.
"Tidak apa-apa." Rara mencoba tersenyum meski hatinya terluka.
"Jadi kau sepupunya Revan." Febby sengaja menekankan kata sepupu, seolah mengejek istri dari kekasihnya itu. Ingin menunjukkan jika Revan tak mau mengakui hubungan mereka.
Rara hanya mengangguk kecil.
"Sayang, apa kau tidak ingin memperkenalkan kami." Febby mulai sengaja memperlihatkan kemesraannya.
Sementara revan sedari tadi menatap istrinya penuh rasa bersalah.
"Sayang..." Febby mengguncang lengan Revan karena tak kunjung mendapat respon.
"Kenalkan ini Rara dan Rara ini Febby." Revan tidak menyebutkan jika Febby adalah kekasihnya.
"Aku Febby kekasihnya Revan," ujar Febby mengulurkan tangannya.
"Rara." Menjawab dengan singkat.
"Ayo kita pulang," ajak Revan dan memasuki mobilnya. Disusul Febby yang memilih duduk di kursi depan.
"Karena sepupumu sudah datang, aku pergi dulu ya Ra. Sampai ketemu besok. Daahhh..."
"Terimakasih karena kamu mau menemaniku tadi dan hati-hati di jalan."
Mereka saling melambaikan tangan.
Rara menatap kepergian temannya dengan sedikit tawa. Untunglah ia bertemu dengan teman yang baik dihari pertamanya di kampus itu.
Kemudian, Rara masuk ke mobil di kursi belakang tentunya karena di depan sudah ada Febby yang sudah duduk manis disana.
"Sayang, bagaimana kalau kita makan siang dulu."
Sejak tadi Febby berusaha menarik perhatian Revan untuk membuat Rara kesal, tapi sepertinya dia yang kesal sendiri karena pria itu sama sekali tidak meresponnya. Hanya 'hmm, ya, mengangguk atau menggeleng saja respon yang Revan berikan.
Febby tidak tau saja jika Revan sejak tadi tidak fokus mendengarkan celotehan nya. Dia sesekali melirik spion untuk melihat wajah Rara, gadis itu bersikap seolah tidak mendengarkan apa yang Febby dan Revan bicarakan.
"Sayang... Revan," teriak Febby.
Ciiittt.
Revan hampir saja menabrak orang yang sedang menyeberang di jalan karena tidak fokus. Febby dan Rara pun kaget dan hampir saja kepalanya terpental ke depan.
"Ada apa Febby, kenapa kau terus mengganggu? Aku sedang menyetir, hampir saja menabrak orang yang tidak bersalah jika tidak segera menginjak rem."
Revan meluapkan kekesalannya pada Febby.
"Kau menyalahkan aku, kau sendiri yang tidak fokus dari tadi tapi sekarang kau malah menyalahkan orang lain." Mata Febby mulai berkaca-kaca.
Bugg
Revan memukul setir mobilnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud memarahimu. Tapi bisakah kau diam dan duduk dengan benar, aku sedang menyetir bahaya kalau kamu terus mengajak mengobrol dan tidak memperlihatkan jalan."
Revan selalu saja kalah jika Febby sudah menampakkan wajah sedihnya.
Rara hanya menghela napas panjang di belakang, dia sengaja diam dari tadi dan tidak menghiraukan dua manusia di depannya. Walaupun hatinya sakit tapi dia tidak bisa marah pada Febby. Semua itu karena suaminya yang memperumit hubungan diantara mereka. Kalau saja dia bisa tegas dan tidak memberikan harapan pada Febby, pasti mereka bisa saling menerima dalam menjalani pernikahan itu.
to be continue....
°°°
Salam goyang jempol guys.
Like, komen jangan lupa.
Vote, hadiah boleh banget.
Yuk berikan komentar kalian agar author bisa lebih banyak belajar, kasih tau author jika ada typo. Komentar apa aja juga boleh kok.
Sehat selalu pembacaku tersayang.